news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Apa yang Terjadi Jika Kita Takluk Pada Rasa Takut?

Ruang Damai
Ruang Damai adalah LSM yang bergerak dibidang Counter Violence Extremism (CVE)
Konten dari Pengguna
25 November 2022 12:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruang Damai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi rasa takut. Foto: Pixabay - Mohamed Hassan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rasa takut. Foto: Pixabay - Mohamed Hassan
ADVERTISEMENT
Bagaimana seharusnya masyarakat sipil menanggapi teror?
Mengacu pada UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, “Terorisme merupakan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Dok. pribadi
Berdasarkan nukilan di atas, dapat dipahami bahwa ancaman dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teror sejatinya dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan dan ketidakberdayaan komunal.
ADVERTISEMENT
Ketakutan merupakan respons alamiah ketika manusia menginternaliasi ancaman. Artinya, rasa takut dapat meningkatkan kewaspadaan dan mendorong manusia untuk mengambil tindakan yang diperlukan.
Adapun ketidakmampuan dalam pengelolaannya akan berdampak pada munculnya emosi negatif intens yang bersifat snowball (bagai bola salju yang bergerak liar, terus membesar bahkan melebihi sumber ketakutan/ancaman), sehingga berpotensi menimbulkan masalah lain.
Meski demikian; danger is real, fear is choice. Semua tergantung pilihan kita, apakah takluk atau bangkit dari ketakutan?

Rasa Takut yang Berbuah Petaka

Ilustrasi rasa takut. Foto: Pixabay-Benzoix
Sangat penting bagi pemangku kebijakan dan masyarakat sipil untuk tetap berpikir kritis di tengah krisis. Pasalnya, ketakutan terhadap terorisme berpotensi memantik kecurigaan, stereotipe, dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu (Bakker & Veldhuis, 2012).
Serangan teror pada 11 September 2001 di Amerika Serikat telah mengilustrasikan hal ini. Di mana penggunaan istilah “perang” dalam Global War On Terror (GWOT) untuk menggambarkan tragedi memilukan tersebut banyak dikritik oleh pengamat di tahun-tahun setelahnya.
ADVERTISEMENT
Sebab, istilah alarmis semacam itu dapat menyebabkan kebingungan mengenai seberapa besar ancaman yang dihadapi dan membuat kelompok teroris tampak lebih menakutkan dari yang sebenarnya (Furedi 2009). Tentu saja hal ini justru menambah kecemasan masyarakat.
Ground zero tragedi 9/11. Foto: Pixabay-Armelion
Bermula dari rasa takut terhadap ancaman teror, gelombang kejahatan bermotif kebencian terhadap warga keturunan Arab dan Muslim di Negeri Paman Sam juga muncul pasca serangan 11 September. Berdasarkan laporan Human Rights Watch pada 2002, beberapa korban bukanlah Muslim, melainkan Sikh—yang dianggap Muslim karena turban yang mereka kenakan (outfit stereotype).
Selain itu, menurut riset dari Institute for Social Policy and Understanding pada 2020, 51% keluarga Muslim Amerika melaporkan bahwa anak-anak mereka mengalami perundungan bermotif agama di sekolah.
Ilustrasi eksklusi sosial. Foto: Pixabay-Gerd Altmann
Dari kasuistik di atas, dapat dilihat bahwa rasa takut yang tidak dikelola dengan baik justru menimbulkan masalah baru, yakni polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi yang meluas melahirkan ketidakpercayaan dan mengikis potensi kerja sama dan semangat gotong royong dari berbagai segmen masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada skenario terburuk, individu yang merasa termarginalisasi dapat berpaling dari komunitas dan negaranya, serta mendorong terjadinya self-radicalization (Mucha 2017).

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Ilustrasi berani. Foto: Pixabay-Gerd Altmann
Menjadi waspada tentu diperlukan, namun janganlah tunduk pada rasa takut.
Pada dasarnya, ketika stimulus ancaman mengaktifkan amigdala dalam otak sehingga menimbulkan respons takut, tubuh dipersiapkan untuk menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi. Proses ini berlangsung sangat cepat.
Namun, konsekuensi dari dominansi amigdala sebagai primitif respon (kemampuan melakukan respon instingtif secara rapid) berdampak pada terjadinya penyempitan kesadaran pada manusia. Northwestern Medicine (2020) menyatakan bahwa saat beberapa bagian otak sedang aktif, kinerja bagian otak lainnya berkurang. Korteks serebral (area otak yang berfungsi untuk penalaran dan penilaian) melemah, sehingga terkadang sulit bagi seseorang untuk berpikir jernih atau membuat keputusan dengan baik.
Ilustrasi rasa takut berlebihan. Foto: Pixabay-Stefan Keller
Menurut Paul Thagard, Profesor Filsafat University of Waterloo, emosi saling berhubungan. Ketakutan dapat melahirkan kemarahan. Misalnya apabila seseorang membuat Anda takut (menjadi penyebab dari perasaan negatif yang Anda rasakan), maka Anda bisa merasa marah pada orang tersebut karena telah mengganggu dan mengancam kenyamanan Anda.
ADVERTISEMENT
Riset Skitka dkk (dalam Kelber dkk 2010) menemukan bahwa rasa takut yang disebabkan oleh tragedi 11 September membuat persepsi ancaman meningkat (keadaan ketika individu mempersepsikan sebuah situasi secara negatif dan merasakan perlunya melindungi diri). Pada gilirannya, hal ini menyuburkan intoleransi terhadap Muslim, orang keturunan Arab, dan imigran. Intoleransi ini salah satunya mewujud dalam bentuk dukungan untuk mendeportasi kelompok-kelompok tersebut.
Ilustrasi persatuan. Foto: Pixabay-Khan Avi
Menariknya, pada 2011 survei Public Religion Research Institute menunjukkan tujuh dari 10 orang Amerika mengaku jarang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan Muslim dalam satu tahun ke belakang.
Apa yang bisa kita pelajari? Meskipun tulisan ini menyoroti kasus di Amerika Serikat sebagai ilustrasi, terdapat pesan universal yang dapat kita pelajari bersama: ketakutan dan kecurigaan bisa bersumber dari ketidaktahuan; karena tidak tahu, kita menjadi tidak tenang.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, rasa persaudaraan harus senantiasa dipupuk dengan berusaha mengenal orang lain yang berbeda dengan kita, dengan tulus memahami budaya mereka, dan berdiskusi secara sehat. Dengan demikian, kita mampu meningkatkan resiliensi komunitas dalam melawan kekerasan.
Penulis: Haryanto Putra & Era Yusnita Febrianti – Yayasan Ruang Damai
Referensi:
Bakker & Veldhuis. 2012. “A Fear Management Approach to Counter-Terrorism”. International Centre for Counter-Terrorism – The Hague Discussion Paper.
Furedi, Frank. 2009. Invitation to Terror: The Expanding Empire of the Unknown. Bloomsbury Academic
Kelber dkk. “Fear and Anger as Predictors of Motivation for Intergroup Aggression: Evidence from Serbia and Republika Srpska”. Group Processes Intergroup Relations (2010) 13:725
Mucha, Witold. “Polarization, Stigmatization, Radicalization, Counterterrorism and Homeland Security in France and Germany”. Journal of Deradicalization (Spring 2017 Nr. 10 ISSN: 2363-9849)
ADVERTISEMENT
Northwestern Medicine. “5 Things You Never Knew About Fear”, Oktober 2020, diakses dari https://www.nm.org/healthbeat/healthy-tips/emotional-health/5-things-you-never-knew-about-fear
Thagard, Paul. “How Fear Leads to Anger”, 9 November 2018, diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/hot-thought/201811/how-fear-leads-anger