Mengapa Mengucilkan Mantan Narapidana Terorisme Bisa Menjadi Bumerang?

Ruang Damai
Ruang Damai adalah LSM yang bergerak dibidang Counter Violence Extremism (CVE)
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2022 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruang Damai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengucilkan mantan napiter. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengucilkan mantan napiter. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dapat menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun terkurung dalam sel tahanan pengap merupakan hal yang diidamkan para narapidana.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian dari mereka justru mengalami kecemasan menjelang kebebasannya. Sebab mereka harus menghadapi stigma dari masyarakat dan terdapat kemungkinan mereka akan kesulitan untuk mendapat pekerjaan (Kusumawardani & Astuti, 2016).
Tantangan yang sama juga akan dihadapi oleh mantan narapidana terorisme (napiter). Rasa takut dan curiga terhadap mantan narapidana merupakan hal yang dapat dipahami. Namun mengucilkan mereka tidak akan membawa dampak positif, malah justru menjadi bumerang.

Mengasingkan Mantan Napiter Dapat Menghambat Reintegrasi

Ilustrasi mengucilkan mantan napiter. Foto: Pixabay
Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil telah menjalankan berbagai program untuk mempersiapkan narapidana agar dapat hidup kembali secara wajar di tengah masyarakat. Salah satu yayasan yang turut andil dalam upaya ini adalah Ruang Damai. Program pemberdayaan seperti pelatihan kewirausahaan dan pendampingan psikososial bertujuan untuk membina para napiter agar menjadi individu yang produktif, berdaya, dan memiliki peran di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, proses reintegrasi akan terhambat jika masyarakat terus menstigmatisasi dan menjauhi mantan napiter. Penting untuk mengingat bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Keberadaan kelompok dukungan (support group) dapat membantu individu mengatasi tantangan sulit dengan bersama-sama memecahkan masalah. Jika kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi, kita akan limbung.
Ilustrasi mantan narapidana terorisme. Foto: Pixabay
Bagi sebagian napiter, memutuskan hubungan dengan rekan-rekan lama bukan perkara yang mudah, bahkan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sebab kelompok ekstrem telah menjadi “rumah spiritual” di mana mereka merasa dilindungi dan diperhatikan (Ismail & Sim, 2016).
Maka dari itu, pemahaman publik tentang pentingnya memberikan kesempatan kepada mantan narapidana terorisme perlu dikembangkan. Sebab adanya lingkungan yang positif sangat penting untuk mencegah agar mereka tidak lagi bergabung dengan jaringan lamanya (Radicalisation Awareness Network, 2017).
ADVERTISEMENT

Lingkungan Sosial yang Positif Mampu Cegah Residivisme

Ilustrasi kerja sama. Foto: Pixabay
Menurut Noor Huda Ismail dan Susan Sim (2016), salah satu faktor penarik yang membuat mantan napiter kembali ke jalur ekstremisme adalah loyalitas terhadap kawan dan kelompok. Terlebih jika kelompok tersebut merupakan satu-satunya pihak yang mendukung mereka.
Ke mana para mantan napiter akan pulang jika tidak ada lengan-lengan yang merangkul mereka? Skenario terburuknya adalah mereka akan kembali ke kelompok lama. Oleh sebab itu, selain upaya untuk mengubah pola pikir individu, mengusahakan perubahan pada jaringan sosial mantan napiter juga perlu. Dengan kehadiran komunitas di luar kelompok ekstrem yang mau menerima mereka, potensi untuk melepaskan diri dari militansi akan semakin baik.
Di sisi lain, kekhawatiran masyarakat dapat dipahami. Banyak orang beranggapan bahwa mantan narapidana membawa ancaman terhadap keamanan komunitas mereka. Keresahan ini sepatutnya tetap diperhatikan dengan saksama oleh penegak hukum.
Ilustrasi resiliensi. Foto: Pixabay
Namun, pada saat yang sama perlu juga untuk mengembangkan pemahaman bahwa apabila program reintegrasi berhasil dan mantan napiter mampu membentuk identitas positif yang baru, mereka memiliki peran kuat untuk membantu meningkatkan ketahanan komunitas terhadap ekstremisme kekerasan.
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti nyatanya adalah pelibatan mantan narapidana terorisme dalam sejumlah program pemberdayaan Yayasan Ruang Damai. Mereka turut menyumbangkan pengetahuan kepada para narapidana terorisme di sejumlah lembaga pemasyarakatan, mulai dari pelatihan kewirausahaan hingga pendampingan. Mereka juga menjadi pembicara di seminar dan membagikan kisahnya di media sosial untuk menyebarkan kewaspadaan terhadap bahaya ekstremisme kekerasan.

Membangun Resiliensi Komunitas dengan Empati dan Kerja Sama

Ilustrasi persahabatan. Foto: Pixabay/Tanzid Mahmud
“Terkadang orang-orang dengan masa lalu yang suram mampu menciptakan masa depan yang cerah.”
Kata-kata bijak Umar bin Khattab tersebut hendaknya diteladani oleh setiap insan karena nilai universal yang terkandung di dalamnya. Setiap orang memiliki masa lalu yang tidak dapat diubah. Tetapi kita dapat selalu berupaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap waktu. Oleh sebab itu, terkadang kita perlu memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menyusun kehidupan barunya. Hal ini dapat terwujud apabila rasa hormat dan empati dikembangkan oleh semua pihak.
ADVERTISEMENT
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Blueprint Deradikalisasi menekankan bahwa yang perlu diperhatikan ketika memfasilitasi transisi mantan napiter ke komunitas adalah tidak hanya cara mengikis ketakutan masyarakat, tetapi juga bagaimana cara menumbuhkan empati dan sikap saling menghormati (Sumpter 2018).
Ilustrasi masyarakat Indonesia. Foto: Pixabay/Khoirul Maarif
Selain itu, untuk mendorong pembentukan komunitas yang tangguh, nilai dan norma budaya yang mungkin terabaikan atau terlupakan perlu digali kembali. Penghayatan terhadap nilai-nilai ini mampu menjauhkan individu dan komunitas dari dorongan untuk melakukan kekerasan.
Di Maluku, musik digunakan sebagai media komunikasi sosial untuk menyatukan masyarakat. Lirik lagu yang mengandung ungkapan bahasa seperti "ale rasa beta rasa" (kamu rasa saya rasa) menghidupkan kembali memori masyarakat Maluku bahwa katong samua basudara atau kita semua bersaudara. Nilai budaya seperti ini berpotensi untuk menjadi media pembentukan karakter dan rekonsiliasi konflik.
ADVERTISEMENT
Penulis: Era Yusnita Febrianti - Yayasan Ruang Damai
REFERENSI
Ismail, Noor Huda & Sim, Susan (28 Januari 2016). From Prison to Carnage in Jakarta: Predicting Terrorist Recidivism in Indonesia’s prison, https://www.brookings.edu/opinions/predicting-terrorist-recidivism-in-indonesias-prisons/
Kusumawardani, D. A., & Astuti, T. P. (2014). Perbedaan Kecemasan Menjelang Bebas pada Narapidana Ditinjau Dari Jenis Kelamin, Tindak Pidana, Lama Pidana, dan Sisa Masa Pidana. Jurnal EMPATI, 3(3), 52-60. https://doi.org/10.14710/empati.2014.7538
Lestari, Dewi Tika. (2017). Peran Musik Sebagai Salah Satu Media Perdamaian di Maluku (Disertasi). Diperoleh dari database Institut Seni Indonesia (ISI), http://repository.isi-ska.ac.id/2174/1/Disertasi%20Dewi%20Tika.pdf
Radicalisation Awareness Network. (2017). RAN Manual: Responses to Returnees: Foreign Terrorist Fighters and their families.
Sumpter, Cameron. (2018). Returning Indonesian Extremist: Unclear Intentions and Unprepared Responses. ICCT Policy Brief DOI: 10.19165/2018.2.05 ISSN: 2468-0486
ADVERTISEMENT