Pentingnya Representasi Maskulinitas Positif di Media untuk Cegah Ekstremisme

Ruang Damai
Ruang Damai adalah LSM yang bergerak dibidang Counter Violence Extremism (CVE)
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2022 12:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruang Damai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menonton televisi. Foto: Pixabay/Victoria_rt
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton televisi. Foto: Pixabay/Victoria_rt
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran ketika mendengar kata “lakik”? Apakah sosok pria berbadan kekar, pemberani, tidak cengeng, dan dihormati laki-laki lainnya? Maskulinitas sejatinya memiliki “wajah” yang jamak. Namun, umumnya terdapat bentuk maskulinitas normatif yang dijunjung oleh suatu kultur masyarakat. Beberapa karakteristik di atas adalah sebagian contohnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, citra “laki-laki sejati” banyak diperkuat dan dilanggengkan melalui media seperti iklan, komik, film, dan gim. Fakta sejarah menunjukan bahwa kelompok ekstremis/teroris dengan berbagai atribusi (apakah itu ideologi, supremasi ras, atau agama) turut memanfaatkan imaji maskulinitas ini dalam propaganda mereka.

Propaganda Kelompok Ekstrem Sasar Maskulinitas Laki-laki

Ilustrasi ekstremisme kekerasan. Foto: Pixabay/Kris
Dalam film dokumenter “Jihad Selfie” yang disutradarai Noor Huda Ismail, kita diperkenalkan dengan sosok Teuku Akbar Maulana, remaja asal Aceh yang tertarik bergabung dengan kelompok ekstremis setelah melihat unggahan Facebook salah satu temannya.
Dalam postingan tersebut, sang teman yang telah menjadi militan berpose dengan senapan AK 47. Sebagai remaja galau yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri (Identitiy vs Confusion), hal tersebut diinterpretasikan Akbar sebagai hal yang “keren”.
ADVERTISEMENT
Propaganda kelompok ekstremis/teroris memang salah satunya ditujukan untuk menyasar sisi maskulinitas laki-laki. Hal ini terjadi pada hampir seluruh bentuk gerakan ekstremis, di mana kelompok ekstrem sayap kanan Eropa juga menggunakan imaji hipermaskulinitas tentang heroisme dan semua atribut yang dianggap mampu mendongkrak status sosial laki-laki untuk merekrut anggota (Dier & Baldwin 2022).
Ilustrasi maskulinitas. Foto: Unsplash/KirstenMarie
Kelompok ekstremis yang merepresentasikan dirinya sebagai kelompok pejuang elit nan gagah ditampilkan melalui visual senjata dan seragam. Hal ini membuat seolah-olah mereka mampu memberikan ruang bagi kaum Adam untuk menjadi signifikan di mata banyak orang. Kebutuhan untuk menjadi signifikan dan dihormati inilah yang menjadi salah satu motivasi untuk bergabung dalam kelompok ekstrem (Kruglanski dkk, 2014).
Dalam beberapa video propaganda kelompok ekstremis, kita juga dapat melihat bahwa ajakan berjuang ditampilkan dengan visual anak-anak dan perempuan memegang senapan. Hal ini seakan mengisyaratkan pesan bahwa mereka akan berada di garis depan jika laki-laki tidak cukup jantan untuk melakukannya (Bloom, dalam Bahun & Rajan: 2016).
ADVERTISEMENT
Secara psikologis, propaganda visual tersebut akan membuat laki-laki mempertanyakan maskulinitasnya dan membangkitkan rasa malu (tidak mampu menjadi pelindung).

Representasi Maskulinitas Positif di Layar Lebar

Ilustrasi menonton film. Foto: Freepik
Dibutuhkan narasi tandingan mengenai maskulinitas positif di mana laki-laki dapat menjadi sosok yang kuat dan hebat tanpa harus mengekspresikan kekuatan melalui dominansi dan kekerasan.
Media visual seperti sinema dapat menjadi sarana yang efektif untuk menghidupkan paradigma tersebut. Berikut beberapa tokoh dalam film yang dapat dijadikan contoh perwujudan dari maskulinitas positif yang seharusnya lebih banyak ditampilkan, yakni model maskulinitas yang memungkinkan laki-laki untuk mengekspresikan semua sisi manusiawinya tanpa dipermalukan:

1. Aragorn “Lord of The Rings”

Aragorn. Foto: Youtube/TM & © Warner Bros. (2003)
Dalam film trilogi “The Lord of The Rings”, Aragorn memiliki semua karakteristik “pria macho” dalam pengertian tradisional: pemberani, tangkas, dan pemimpin perang yang hebat. Tak heran banyak kaum laki-laki menjadikannya sebagai role model.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian orang gagal mencerna pesan kemanusiaan dalam film yang diadaptasi dari mahakarya J.R.R Tolkien ini. Terbukti ketika partai sayap kanan Spanyol, Vox, yang terkenal dengan retorika nasionalis, anti-Muslim, dan anti-feminisnya menggunakan gambar Aragorn dalam salah satu kampanye sosial medianya.
Padahal Aragorn tidak pernah merendahkan ras yang berbeda dengan dirinya, menghargai perempuan, rendah hati, lemah lembut, dan tidak malu untuk menunjukkan sisi emosionalnya.
Meski Aragorn merupakan pewaris takhta Gondor yang sah, ia tidak haus kekuasaan. Ia pergi berperang semata-mata untuk melindungi dan mengayomi, bukan karena hasrat untuk mendominasi, apalagi mencari pengakuan.
Aragorn. Foto: Youtube/TM & © Warner Bros. (2003)
Hal ini tercermin dalam adegan ketika Frodo si Hobbit mencoba menawarkan The One Ring kepada Aragorn. Jika Aragorn mau, ia dapat merampas cincin itu dengan mudah dan menjadi manusia paling berkuasa di Middle Earth. Namun, Aragorn berhasil menaklukkan hawa nafsunya dan membiarkan Frodo menyimpan cincin tersebut.
ADVERTISEMENT
Sepanjang film, kita melihat Aragorn bertarung melawan para Orcs ganas. Namun tantangan itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan godaan The One Ring yang kuat. Aragorn menunjukkan bahwa orang yang kuat bukan hanya mereka yang menaklukkan banyak musuh, tapi mereka yang mampu melawan keegoisan, ketamakan, dan amarah dalam dirinya. Ingatlah hadits berikut:
“Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, hasan shahih. Abu Daud No. 1258).

2. Po “Kung Fu Panda”

Po "Kung Fu Panda". Foto: Youtube/TM & © Dreamworks Animation (2008)
Publik telah terbiasa dengan sosok superhero bertubuh kekar dan mempunyai kekuatan super seperti Superman. Karakter Po dalam film animasi "Kung-fu Panda" memiliki sifat yang berkebalikan dengan itu semua. Po digambarkan sebagai Panda berbadan gempal, konyol, terkadang kikuk, dan mempunyai passion kulineran.
ADVERTISEMENT
Tak ayal, ketika ia terpilih menjadi Ksatria Naga, banyak orang meragukannya. Meski sempat merasa rendah diri, ia tetap murah hati. Dengan dedikasi kuat, Po berlatih untuk menguasai jurus-jurus Kung-Fu.
Kung Fu Panda: The Dragon Knight Foto: Dok. Netflix
Ketabahan dan kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia mampu melindungi warga desa dari Tai Lung, macan tutul yang haus kuasa. Menariknya, Po hanya mengeluarkan jurus-jurusnya untuk pertahanan diri. Ia tidak pernah menginisiasi serangan.
Apa resep rahasianya? Tidak ada. Po hanya menjadi diri sendiri dan percaya pada kemampuannya. Film ini mengajarkan bahwa untuk melakukan sesuatu yang besar, mulailah dengan apa yang telah kamu miliki, di mana pun kamu berada saat ini.
Penulis: Era Yusnita Febrianti - Yayasan Ruang Damai
DAFTAR PUSTAKA
ADVERTISEMENT
Bahun, Sanja & Rajan, V.G Julie. 2016. Violence and Gender in the Globalized World: The Intimate and the Extimate. United Kingdom: Taylor & Francis
Beutel, Alejandro & Perez, Krystina. “From WWI to ISIS, Using Shame and Masculinity in Recruitment Narratives”, 1 Juni 2016 https://www.start.umd.edu/news/wwi-isis-using-shame-and-masculinity-recruitment-narratives
Dier, Aleksandra & Baldwin, Gretchen . “Masculinities and Violent Extremism,” International Peace Institute and UN Security Council Counter-Terrorism Committee Executive Directorate, June 2022.
Kruglanski AW, Gelfand MJ, Bélanger JJ, Sheveland A, Hetiarachchi M, Gunaratna R. The psychology of radicalization and deradicalization: how significance quest impacts violent extremism. Polit Psychol. (2014) 35:69–93. doi: 10.1111/pops.12163