Konten dari Pengguna

Menyikapi Polemik Penahanan Ijazah Oleh Sekolah dan Maraknya Pengangguran

Khairul Azzam El Maliky
Novelis muda Indonesia yang juga sekaligus staf pengajar di sebuah Madrasah Aliyyah di Jatim yang menyukai artikel. Sudah 70 karya buku yang telah diterbitkan di play store. Penulis dapat disapa di posmail: bahterawrittingschool@yahoo.com.
6 Mei 2025 11:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Azzam El Maliky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Khairul A. El Maliky
Ilustrasi: Mahasiswa Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Mahasiswa Sumber: Pixabay.com
Selamat datang di Indonesia, negeri dengan dua musim: musim hujan dan musim lowongan kerja tipu-tipu. Di sini, ijazah dianggap lebih sakral dari surat nikah, dan sekolah bisa lebih kejam dari rentenir keliling. Kenapa? Karena kalau kamu belum lunas SPP, ijazahmu bisa disandera sampai Tuhan menjemput atau kamu tiba-tiba viral di TikTok dan bisa bayar lunas tunai.
ADVERTISEMENT
Pernah dengar cerita tragis anak yang sudah lulus, tapi ijazahnya dikandangkan di lemari kepala sekolah karena nunggak uang komite? Atau siswa SMK yang harus setor sepeda motor buat bisa ambil ijazah? Ini bukan sinetron Indosiar, tapi kenyataan hidup yang bikin miris sekaligus absurd.
Sementara itu, di sudut kota yang lain, ada ribuan anak muda pengangguran yang menganggur bukan karena malas, tapi karena ijazah mereka tertahan di sekolah. Mau daftar kerja? Gagal. Mau kuliah? Nggak bisa. Mau kawin pun mikir dua kali—masa ngelamar pakai akta kelahiran?
Sekolah di Indonesia punya peran ganda. Selain sebagai tempat menuntut ilmu, dia juga diam-diam belajar jadi debt collector. Bayangkan, seorang anak dari keluarga tidak mampu sudah bersusah payah menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun, eh ujung-ujungnya ijazahnya disandera karena belum bayar uang pembangunan toilet baru yang katanya "mengalami pembengkakan anggaran".
ADVERTISEMENT
Penahanan ijazah ini sering kali terjadi di sekolah-sekolah negeri sekalipun, apalagi swasta. Alasannya klise: uang belum lunas. Tapi tidak pernah ada transparansi: uang itu sebenarnya buat apa? Apakah benar untuk operasional? Atau buat beli AC baru di ruang guru yang entah kenapa dinginnya melebihi ruang pendingin daging di supermarket?
Padahal menurut konstitusi (yang dibacanya pas ujian saja), pendidikan itu hak setiap warga negara. Tapi pada praktiknya, seolah-olah ijazah adalah barang dagangan. Mau ijazah? Bayar dulu. Kalau tidak, ya sudah—seperti hubungan tanpa status, kamu sekolah, tapi tidak pernah benar-benar diakui negara.
Ijazah Ditahan, Masa Depan Ditendang
Ilustrasi: lulus-pendidikan-pencapaian-diploma Sumber: Pixabay.com
Ijazah adalah simbol bahwa seseorang telah menyelesaikan proses pendidikan formal. Tapi begitu ijazah ditahan, seolah-olah perjuangan itu tidak sah. Anak-anak muda yang seharusnya bisa langsung melangkah ke dunia kerja, malah harus putar otak cari kerja sambilan demi menebus selembar kertas yang diakuinya lebih mahal dari skripsi dan air mata.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah. Bukannya kerja sesuai passion, malah jadi buruh serabutan. Dari ngamen di lampu merah, jaga warnet tengah malam, sampai jadi dropshipper skincare yang tidak pernah dipakai sendiri.
Dan yang paling menyedihkan: karena tidak punya ijazah, mereka jadi tidak punya identitas profesional. Padahal gelar “lulusan SMA” itu cukup untuk melamar banyak pekerjaan sederhana. Tapi sekarang, bahkan untuk jadi pegawai toko pun, ijazah wajib disertakan. Kalau tidak, ya dianggap “tidak valid”, seperti mantan yang suka ghosting.
Pemerintah, seperti biasa, datang dengan solusi semi-fantastis: bagi-bagi kartu. Ada KIP (Kartu Indonesia Pintar), ada KIS (Kartu Indonesia Sehat), dan tentu saja yang paling hits, Kartu Prakerja. Tapi tidak ada satu pun yang spesifik menyentuh masalah penahanan ijazah oleh sekolah.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan logika ini: pemerintah bangga bikin program digitalisasi sekolah, tapi masih membiarkan sekolah menahan ijazah karena alasan “tunggakan administrasi”. Jadi sebenarnya ini digitalisasi atau kapitalisasi?
Kementerian Pendidikan pun kadang lebih sibuk ngurus lomba menggambar atau launching aplikasi belajar daring baru, daripada menyelesaikan perkara anak-anak yang ijazahnya masih nyangkut di sekolah desa karena ortunya tidak bisa bayar uang seragam.
Mengapa tidak dibuat kebijakan nasional yang melarang semua sekolah menahan ijazah atas nama kemanusiaan dan keadilan pendidikan? Oh iya, lupa—kemanusiaan dan keadilan itu hanya muncul di lirik lagu kebangsaan, bukan di regulasi nyata.
Kita masuk ke bagian yang lebih menyayat: pengangguran. Mereka ini sebenarnya makhluk luar biasa. Bangun siang, tidur pagi, tapi tetap berusaha. Dari buka jasa edit foto, nulis blog dengan harapan viral, jualan stiker WhatsApp, sampai jadi admin akun meme.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sebagian besar dari mereka harus menganggur karena ijazah tertahan. Padahal lowongan kerja menuntut lampiran dokumen lengkap. Bahkan untuk kerja sebagai penjaga konter pulsa pun, kadang minta fotokopi ijazah terakhir. Lucunya, untuk jadi anggota DPR, ijazahnya bisa palsu tapi tetap lolos verifikasi. Aneh? Tidak. Itulah Indonesia.
Dan yang lebih ironis, pengangguran bukan lagi soal tidak punya skill. Banyak dari mereka jago ngoding, desain, bahkan bisa tiga bahasa. Tapi sistem kita masih menilai seseorang berdasarkan ijazah, bukan kompetensi. Ini seperti menilai masakan dari bentuk piringnya—kalau pakai piring mewah, pasti enak. Padahal bisa aja isinya cuma mie instan.
Yang sering membuat geleng-geleng kepala adalah ketika pihak sekolah berkata, “Kami mendidik karakter.” Tapi ketika siswanya kesulitan bayar, tidak ada karakter empati yang muncul. Tidak ada kebijakan afirmatif, tidak ada diskon, tidak ada fleksibilitas. Yang ada cuma: “Kalau belum bayar, ijazah kami tahan. Maaf, itu aturan.”
ADVERTISEMENT
Jadi, pendidikan karakter macam apa yang mereka maksud? Mendidik siswa untuk disiplin? Baik. Tapi kalau disiplin diartikan sebagai menagih utang ke anak-anak miskin, itu namanya bukan pendidikan—itu pelecehan struktural.
Dan yang paling nyebelin: kadang guru atau kepala sekolah yang menahan ijazah itu dulunya juga anak miskin. Mereka lupa bahwa mereka bisa naik derajat karena dulu ada guru yang membiarkan mereka lulus meski nunggak. Tapi setelah punya jabatan, mereka lupa sejarah. Karena begitulah kekuasaan: suka membuat orang amnesia.
Harapan belum mati. Beberapa daerah sudah mulai melarang sekolah menahan ijazah. Tapi masih banyak yang pura-pura tuli. Alasannya: “Kalau nggak ditahan, anak-anak nanti malas bayar.” Ini logika yang sama seperti orang tua yang tidak mau bayar uang makan anak karena takut anaknya manja. Tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Solusi seharusnya sederhana: Pertama, Larangan nasional penahanan ijazah oleh sekolah: Sekolah boleh menagih tunggakan dengan mekanisme terpisah, tapi ijazah harus tetap diberikan.
Kedua, Subsidi silang atau dana darurat untuk siswa tidak mampu: Kalau negara bisa beli jet tempur, masa bantu lunasi SPP siswa tidak bisa?
Ketiga, Revitalisasi kurikulum dan empati: Ajarkan bahwa pendidikan itu bukan bisnis. Sekolah bukan mall, dan siswa bukan pelanggan.
Di Antara Tertawa dan Menangis
Ilustrasi: lulus-siswa-kelulusan-pendidikan Sumber: Pixabay.com
Akhirnya, kita cuma bisa tertawa sambil sedikit menangis. Tertawa karena semua ini lucu, tapi menangis karena semua ini nyata. Kita hidup di negeri yang katanya menjunjung pendidikan, tapi kenyataannya pendidikan dijadikan alat kapitalisme kecil-kecilan oleh institusi yang seharusnya jadi pelindung anak-anak miskin.
ADVERTISEMENT
Kita punya sistem yang menilai prestasi lewat selembar kertas, tapi lupa menilai kemanusiaan lewat perbuatan.
Kalau sekolah ingin dihormati, jangan menahan ijazah. Tahanlah ego dan nafsu mencari untung. Kalau negara ingin dihargai, jangan diam melihat anak-anaknya putus masa depan hanya karena tunggakan SPP. Kalau masyarakat ingin berubah, mari kita bersuara. Karena ijazah bukan sekadar dokumen, tapi pintu menuju kehidupan yang lebih baik.
Dan untuk kamu yang ijazahnya masih ditahan, jangan menyerah. Hidup bukan ditentukan selembar kertas. Tapi kalau kamu bisa bikin dunia heboh dengan cerita perjuanganmu, bisa jadi ijazahmu akhirnya dikirim via pos karena takut viral.
Ingat, negara ini mungkin tak selalu berpihak pada kebenaran. Tapi rakyatnya punya suara. Suara yang jika dinyalakan bersama, bisa membakar lemari tempat ijazahmu disandera.[]
ADVERTISEMENT