Konten dari Pengguna

Pendidikan Bukan Syarat Mencari Kerja

Khairul Azzam El Maliky
Novelis muda Indonesia yang juga sekaligus staf pengajar di sebuah Madrasah Aliyyah di Jatim yang menyukai artikel. Sudah 70 karya buku yang telah diterbitkan di play store. Penulis dapat disapa di posmail: bahterawrittingschool@yahoo.com.
5 Mei 2025 15:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Azzam El Maliky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Khairul A. El Maliky
https://pixabay.com/id/photos/siswa-pendidikan-sekolah-998989/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/siswa-pendidikan-sekolah-998989/
Bayangkan Anda sedang mengisi lamaran kerja di sebuah perusahaan bonafid yang punya jargon: “Kami mendahulukan integritas, bukan ijazah.” Wah, rasanya hati Anda mengembang seperti roti sobek kena ragi. Tapi jangan senang dulu. Begitu sampai wawancara, Anda ditanya, “Kenapa Bapak lulus SMA saja?”
ADVERTISEMENT
Nah, ini dia paradoks dunia kerja kita: pendidikan tinggi digadang-gadang bukan lagi syarat utama mencari kerja, tapi praktik di lapangan berkata lain. Yang tidak punya ijazah S1 seringkali dianggap seperti tukang parkir yang nyasar masuk ruang meeting.
Padahal kalau kita mau jujur—jujur yang sebenar-jujurnya seperti anak kecil yang blak-blakan bilang “Bapak kentut”—fakta di lapangan menunjukkan bahwa ijazah sering kali hanyalah formalitas. Di banyak sektor, terutama yang sedang booming seperti dunia startup, ojek online, sampai pencucian otak lewat iklan TikTok, yang penting adalah skill, bukan gelar. Tapi, kenapa sistem kita tetap keras kepala menuhankan pendidikan formal?
Mari kita bahas ini dengan penuh tawa getir dan renungan tajam. Biar kita sadar: pendidikan memang penting, tapi tidak selalu jadi kunci masuk ke dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Gelar dan Gaji, Antara Mimpi dan Mitos
https://pixabay.com/id/photos/guru-sedang-belajar-sekolah-4784917/
Di kampus, mahasiswa rajin mencatat, membuat presentasi, dan menghapal teori Maslow seolah-olah nanti begitu lulus akan langsung duduk di ruang AC dan digaji 10 juta per bulan. Padahal realitanya, banyak sarjana yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai jurusan. Sarjana pertanian jadi barista. Sarjana hukum jadi admin. Sarjana teknik malah buka bengkel motor sambil bilang, “Daripada nganggur.”
Ini bukan menyalahkan siapa-siapa. Tapi harus diakui, sistem pendidikan kita lebih sibuk meluluskan orang daripada memastikan mereka siap kerja. Banyak lulusan yang hebat di atas kertas, tapi bingung saat disuruh ngisi data Excel atau berhadapan dengan klien galak.
Sementara itu, di luar sana, ada orang yang nggak lulus SMA tapi bisa jadi miliarder lewat jualan online. Modalnya cuma HP, kuota, dan kemampuan memoles caption yang bikin orang percaya bahwa masker spirulina bisa bikin mantan menyesal.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah gelar menjamin pekerjaan? Jawabannya: Tergantung siapa yang nanya dan siapa yang kenal.
Pernahkah Anda melamar kerja lalu ditolak karena “tidak sesuai kualifikasi,” padahal Anda merasa cocok banget dengan pekerjaan itu? Tenang, Anda tidak sendiri. Ribuan pelamar mengalami hal yang sama. Kadang yang diterima bukan yang paling pintar, tapi yang paling dekat dengan orang dalam.
Di dunia kerja modern, HRD tidak selalu berarti Human Resources Department. Dalam praktiknya, bisa juga berarti Harta, Relasi, dan Doa. Yang punya harta bisa lanjut kuliah S2 ke luar negeri biar CV-nya keren. Yang punya relasi bisa titip lamaran lewat WhatsApp sambil kirim emot tangan salam dua jari. Dan yang tidak punya keduanya? Ya, tinggal doa, berharap HRD-nya sedang baik hati dan baru saja kena bonus tahunan.
ADVERTISEMENT
Ada pelamar kerja yang rela kursus ini itu, belajar bikin CV yang eye-catching, sampai beli baju baru buat wawancara. Tapi semua itu tumbang saat saingan dia anaknya bos. Gelar kalah sama kedekatan. Pengetahuan kalah sama koneksi. Lalu kita disuruh percaya bahwa pendidikan adalah segalanya?
Hmmm … pendidikan penting, tapi kayaknya tidak sepenting siapa yang kita kenal.
Menulis CV kadang seperti menulis novel fiksi. Kita hias habis-habisan agar terlihat menarik. “Mampu bekerja di bawah tekanan,” padahal waktu skripsi saja sudah depresi. “Mahir mengoperasikan Microsoft Excel,” padahal baru bisa pakai merge cells dan bold huruf.
Tapi tak mengapa. Di dunia kerja, kemampuan membual elegan adalah salah satu soft skill yang dihargai. Justru orang yang jujur kadang dianggap kurang ambisius. Bayangkan ada pelamar menulis, “Saya belum tahu apa passion saya, tapi saya butuh uang.” Jujur, tapi langsung didepak.
ADVERTISEMENT
Sistem rekrutmen membuat orang harus terlihat sempurna sejak awal. Seolah-olah yang dicari adalah makhluk dari planet lain yang bisa multitasking, punya jiwa kepemimpinan, loyal, dan tidak butuh gaji tinggi. Dan tentu saja, minimal S1, meskipun pekerjaannya hanya entry data.
Di sinilah pendidikan formal kadang dijadikan tameng. Bukan untuk menunjukkan kapasitas, tapi untuk menyingkirkan yang tidak beruntung sekolah tinggi. Padahal skill tidak bisa dilihat dari selembar ijazah.
Orang tua sering mengorbankan banyak hal demi menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Rela jual sapi, gadai sawah, bahkan ngutang ke koperasi. Harapannya? Anak mereka bisa hidup lebih baik.
Tapi sayangnya, yang mereka tidak tahu adalah bahwa dunia kerja hari ini bukan lagi dunia yang memuliakan ilmu. Ia lebih mirip arena lomba audisi realitas: siapa yang punya "X Factor" lebih, dialah yang dapat panggung. Dan X Factor itu bisa berupa tampang, gaya bicara, akun LinkedIn aktif, atau sekadar viral di media sosial.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, si sarjana cumlaude yang kuliahnya penuh perjuangan harus rela jadi freelance karena perusahaan hanya mencari “anak muda dengan 3 tahun pengalaman kerja.”
Bayangkan: lulusan baru, diminta punya pengalaman. Ini sama seperti meminta bayi baru lahir untuk punya akun TikTok sejak dalam kandungan.
Skill adalah Mata Uang Baru
https://pixabay.com/id/photos/pemuda-siswa-mempelajari-4053324/
Kabar baiknya: kini semakin banyak perusahaan mulai menyadari bahwa ijazah bukan segalanya. Mereka lebih mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah, punya ide segar, dan tahan banting. Dunia startup, misalnya, lebih suka hiring orang yang bisa coding daripada yang punya gelar komputer tapi tidak tahu apa itu GitHub.
Banyak kursus daring, bootcamp, dan pelatihan digital yang menawarkan jalur alternatif. Di sana, yang penting adalah kemampuan, bukan gelar. Anda bisa belajar desain, pemrograman, menulis, bahkan digital marketing hanya dari rumah. Dan banyak dari mereka yang sukses lewat jalur ini, tanpa harus menempuh pendidikan formal yang mahal dan penuh birokrasi.
ADVERTISEMENT
Tapi tetap saja, stigma itu masih ada. Jika Anda bilang Anda tidak kuliah, orang masih akan bertanya dengan nada kasihan, “Kenapa? Nggak mampu, ya?”
Padahal kenyataannya, bisa jadi dia justru lebih mampu mengelola hidup dibandingkan sarjana yang masih tinggal di rumah orang tua dan belum tahu mau ngapain.
Realita kerja di Indonesia tidak selalu relevan dengan mata kuliah. Ada orang yang kuliah empat tahun belajar tentang makroekonomi, tapi saat kerja disuruh handle akun media sosial dan bikin konten TikTok.
Itulah kenapa, kerja sebenarnya lebih butuh nyali. Nyali buat bertahan hidup, belajar hal baru, beradaptasi, dan menyesuaikan diri dengan dinamika dunia yang berubah cepat. Pendidikan formal bisa jadi bekal awal, tapi tidak menjamin Anda siap menghadapi tekanan bos yang suka kirim email tengah malam.
ADVERTISEMENT
Yang dibutuhkan bukan hanya nilai A di ijazah, tapi nilai plus di sikap. Kemampuan bekerja sama, berpikir kritis, dan yang paling penting: tidak gampang baper kalau ditegur.
Di tengah segala tuntutan absurd dunia kerja, yang paling dibutuhkan adalah orang yang waras. Yang tidak hanya pintar, tapi juga tahan mental. Yang bisa tertawa di tengah deadline mepet. Yang bisa menyapa OB dan CEO dengan senyum yang sama.
Kadang yang membuat orang tidak bisa kerja bukan karena tidak punya pendidikan, tapi karena tidak tahan tekanan. Ada yang punya gelar tinggi tapi tidak sanggup dimarahi. Ada juga yang cuma lulusan SMP tapi bisa handle tim dengan tenang.
Pendidikan tidak mengajarkan Anda untuk jadi manusia tangguh. Ia hanya memberi Anda teori. Tapi realita kerja mengajarkan Anda bahwa kadang Anda harus pura-pura senyum walau hati menggerutu, “Ini kerja apa siksaan?”
ADVERTISEMENT
Mari kita sudahi ilusi bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Iya, pendidikan itu penting. Tapi bukan syarat mutlak mencari kerja. Kalau Anda tidak punya ijazah, bukan berarti Anda gagal. Dunia ini luas, dan kerja bisa datang dari banyak arah.
Jangan takut mencoba. Jangan malu kalau belum S1. Jangan minder kalau ijazah Anda hanya dari paket C. Dunia tidak bertanya Anda lulusan mana, tapi apa yang bisa Anda lakukan.
Dan kepada para perusahaan, mari kita buka mata: ijazah itu hanya secarik kertas. Yang menentukan kinerja adalah otak dan hati. Kalau mau cari pekerja yang andal, lihatlah apa yang bisa mereka lakukan, bukan sekadar gelar yang mereka bawa.
Karena pada akhirnya, kerja itu bukan soal Anda kuliah di mana, tapi Anda bisa apa.[]
ADVERTISEMENT