Konten dari Pengguna

Transformasi Pendekatan Emosional dalam Mencegah Tawuran di Era Digital

Ratriastu Ruciswandaru
Penyuluh Sosial di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, saat ini menjalani tugas belajar untuk pendidikan S2 Magister Psikologi Sains di Universitas Indonesia
16 November 2024 16:52 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ratriastu Ruciswandaru tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: AI (Ilustrasi tawuran pelajar di Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: AI (Ilustrasi tawuran pelajar di Indonesia)
ADVERTISEMENT
Tawuran yang dipicu interaksi media sosial semakin marak dan menimbulkan keresahan. Belum lama ini terjadi di Purworejo, Jawa Tengah dimana Live Instagram yang berawal dari ejekan berujung pada bentrokan dua kelompok pelajar hingga terlibat tawuran. Sementara, di Jawa Barat, saling tantang di media sosial, hampir menyebabkan kelompok pelajar bentrok dan terlibat tawuran di Bandung, Subang dan Majalengka. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana pelajar Indonesia dapat "diselamatkan" dari dampak negatif media sosial? Pendekatan intervensi seperti apa yang efektif untuk mencegah akar masalah dari bentrokan antar pelajar?
ADVERTISEMENT
Fenomena tawuran yang dipicu media sosial ini menunjukkan bahwa dunia digital dapat mengubah dinamika perilaku manusia. Oleh karena itu, selain meningkatkan keamanan melalui peran kepolisian untuk mencegah bentrokan yang telah terindikasi, penting juga untuk melihat masalah ini dari sudut pandang yang lebih personal dan psikologis. Pendekatan ini memungkinkan usulan intervensi yang solutif dan berorientasi pada jangka panjang.
Identitas Sosial dan Penularan Emosi di Kalangan Pelajar
Melihat dari perspektif psikologi, khususnya merujuk pada teori identitas sosial, pelajar dapat memperkuat ikatan in-group dengan teman-teman sesama sekolahnya dan memandang pelajar dari sekolah lain sebagai out-group (Steinberg, 2008). Pada usia remaja yang sensitif terhadap tekanan sosial, kebutuhan akan pengakuan sering kali memicu perilaku agresif. Di sisi lain, penularan emosi atau emotional contagion menjelaskan bagaimana emosi negatif, seperti kemarahan atau dendam dapat menyebar dalam kelompok. Penularan ini tidak hanya melalui komunikasi verbal tetapi juga melalui mimicry atau peniruan perilaku nonverbal, di mana ekspresi emosional satu orang ditiru oleh orang lain. Ketika seseorang meniru ekspresi wajah, postur, atau gerakan emosional orang lain, seperti tersenyum atau mengerutkan dahi, ia mengalami refleksi emosi yang sama. Mekanisme ini terjadi karena mirror neurons, yang memungkinkan otak seseorang mencerminkan pengalaman emosional orang lain sehingga terjadi penularan emosi (Hatfield dkk., 1993).
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tawuran pelajar, emosi negatif yang dirasakan oleh beberapa pelajar dapat menyebar dengan cepat ke anggota kelompok mereka dan bahkan memengaruhi kelompok lawan. Efek domino terjadi ketika satu pelajar menunjukkan ekspresi kemarahan melalui bahasa tubuh atau kata-kata kasar, sehingga pelajar lain di sekitarnya terdorong meniru perilaku tersebut. Identitas sosial yang kuat dalam kelompok turut memperkuat keseragaman emosi sebagai cara untuk meningkatkan solidaritas internal (Barsade, 2002). Emosi kolektif, seperti permusuhan, yang dirasakan secara bersama-sama oleh kelompok pelajar meningkatkan konflik untuk melawan pelajar dari sekolah lain dan menjadikan tawuran sebagai ekspresi dari ketegangan sosial yang terpendam (Levine, 2012).
Emosi Menular di Media Sosial
Media sosial mempercepat proses penularan emosi negatif ini, terutama di antara kelompok-kelompok yang homogen, misalnya kelompok pelajar yang berasal dari sekolah yang sama. Dalam penelitian Fan dkk. (2014), yang menganalisis penularan dan penyebaran emosi di platform media sosial Weibo (mirip dengan Twitter), membuktikan bahwa emosi kemarahan menyebar lebih cepat dan luas dibandingkan emosi netral. Selain itu, anonimitas di media sosial dapat memunculkan “deindividuasi”, dimana individu mengekspresikan emosi secara bebas, tanpa rasa tanggung jawab pribadi, mendorong proses ini sehingga berujung pada kekerasan fisik di dunia nyata (Elefant, 2011; Barsade, 2002; Fan dkk., 2014; Hatfield dkk., 1993).
Sumber: AI (Ilustrasi emosi 'marah' di Live Media Sosial)
Fitur visual media sosial, seperti foto atau video, juga meningkatkan intensitas penularan emosi dan dapat membawa dampak lebih besar dibandingkan teks. Hal ini terjadi karena ekspresi emosional seseorang secara visual dapat memicu respons emosional yang sama dari penontonnya, yang lantas diikuti oleh sikap mendukung atau bahkan tantangan dari kelompok lainnya. Penelitian Ferrara dan Yang (2015) menunjukkan bahwa konten visual, terutama yang menonjolkan ekspresi marah atau penghinaan, lebih mudah menimbulkan respons emosional yang serupa pada penontonnya. Di kalangan pelajar, penularan emosi yang lebih cepat ini terjadi ketika melalui fitur visual ini. Pelajar yang terlibat tidak hanya membaca teks atau mendengar ejekan-ejekan verbal yang dilontarkan oleh lawan mereka, tetapi juga menyaksikan ekspresi wajah, gerak postur atau bahasa tubuh, serta isyarat emosional lainnya secara real-time memungkinkan proses mimicry yang lebih cepat dan penularan emosi yang lebih intens.
ADVERTISEMENT
Fitur komentar, emoji, dan reaksi yang cepat membuat respons emosional dari audiens semakin memperkuat keberanian anggota kelompok untuk menghadapi kelompok lawan. Komunitas di dunia maya yang terus memantau respon dan tindakan pelajar, membuat mereka merasa “terpanggil” untuk membuktikan eksistensi, menambah tekanan sosial untuk bertindak lebih agresif (Hancock dkk., 2008; Cheshin dkk., 2011).
Transformasi Intervensi Berbasis Emosi
Dalam mengatasi tawuran pelajar yang kerap dipicu oleh interaksi di media sosial, pendekatan regulasi melalui penegakan hukum dan pengawasan teknologi telah diterapkan, seperti pemberlakuan sanksi tegas dan pemantauan aktivitas daring. Namun, pendekatan ini perlu dilengkapi dengan intervensi psikologis dan emosional untuk dapat membantu mengidentifikasi akar masalah, seperti tekanan sosial atau emosi negatif yang mendorong perilaku agresif. Pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi faktor-faktor pemicu emosi negatif dan membekali pelajar dengan keterampilan regulasi emosi yang efektif (Santrock, 2019). Misalnya, pendidikan literasi emosi di sekolah dapat memberikan pemahaman kepada pelajar tentang bagaimana mengenali dan mengendalikan reaksi emosional mereka terhadap konten provokatif di media sosial. Pengelolaan emosi ini sangat penting, sehingga pelajar dapat belajar untuk mengendalikan emosinya melalui dialog atau mediasi. Peran pemimpin kelompok, seperti ketua kelas, juga perlu dilatih untuk mampu menyebarkan emosi positif di dalam kelasnya, sehingga menciptakan interaksi yang kooperatif dan sehat. Pendekatan ini tidak hanya menekan potensi konflik, tetapi juga mendorong pelajar untuk lebih bijak dalam mengekspresikan emosi mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, intervensi berbasis kelompok juga penting. Dalam banyak kasus, tawuran pelajar dipicu oleh dorongan kelompok atau dinamika kelompok (Sherif, 1958). Program intervensi yang berfokus pada pendekatan kelompok, seperti latihan kerja sama tim atau diskusi terbuka, dapat membantu mengubah norma kelompok dari perilaku agresif menjadi perilaku yang lebih kooperatif. Pendekatan ini memungkinkan pelajar untuk belajar menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif, sehingga tidak mengandalkan kekerasan sebagai bentuk ekspresi.
Kesadaran Digital: Tanggung Jawab Bersama
Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak bagi generasi muda kita, bukan sekadar untuk tahu cara menggunakan aplikasi, tapi untuk memahami implikasi dari setiap interaksi daring. Hal ini berarti mengajarkan mereka cara mengelola batasan antara identitas digital dan tanggung jawab pribadi mereka. Siswa perlu memahami bahwa tindakan provokatif di media sosial bukan hanya “sekadar bercanda,” tetapi bisa berdampak serius di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Fenomena tawuran pelajar sebagai akibat dari penularan emosi di media sosial adalah masalah kompleks yang memerlukan solusi sistematis. Media sosial memang memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri, tetapi pada saat yang sama, juga beresiko menjadi katalisator emosi negatif yang berdampak pada perilaku destruktif, seperti tawuran pelajar. Oleh karena itu, berbagai pendekatan perlu dikolaborasikan untuk menyusun intervensi yang masif, efektif dan berorientasi jangka panjang.
Kolaborasi antara keluarga, sekolah, pemerintah dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan "lingkungan digital" yang lebih sehat bagi para pelajar. Dengan dukungan dari komunitas, literasi digital dapat menjadi perisai yang membatasi penularan emosi negatif dan mencegah konflik. Tanpa langkah-langkah ini, penularan emosi negatif akan terus menjadi ancaman yang serius bagi stabilitas sosial di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Barsade, S. G. (2001). The Ripple Effect: Emotional Contagion In Groups. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.250894
Cheshin, A., Rafaeli, A., & Bos, N. (2011). Anger and happiness in virtual teams: Emotional influences of text and behavior on others’ affect in the absence of non-verbal cues. Organizational behavior and human decision processes, 116(1), 2-16. DOI: 10.1016/j.obhdp.2011.06.002
Elefant, C. (2011). The power of social media: legal issues & best practices for utilities engaging social media. Energy LJ, 32, 1.
Fan, R., Zhao, J., Chen, Y., & Xu, K. (2014). Anger is more influential than joy: Sentiment correlation in Weibo. PloS one, 9(10), e110184. https://doi.org/10.48550/arXiv.1309.2402
Ferrara, E., & Yang, Z. (2015). Measuring emotional contagion in social media. PloS one, 10(11), e0142390. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0142390
ADVERTISEMENT
Hatfield, E., Cacioppo, J. T., & Rapson, R. L. (1993). Emotional contagion. Current directions in psychological science, 2(3), 96-100. https://doi.org/10.1017/cbo9781139174138
Levine, J. M. (2012). Group processes. Psychology Press.
Santrock, J. W. (2019). Life-Span Development 17th edition. New York: McGraw-. Hill.
Sherif, M. (1958). Superordinate goals in the reduction of intergroup conflict. American journal of Sociology, 63(4), 349-356.
Steinberg, L., Albert, D., Cauffman, E., Banich, M., Graham, S., & Woolard, J. (2008). Age differences in sensation seeking and impulsivity as indexed by behavior and self-report: Evidence for a dual systems model. Developmental Psychology, 44(6), 1764–1778. https://doi.org/10.1037/a0012955