Mafia Tanah di Tengah Ketimpangan Agraria

Rudi Hartono
Pengurus Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
Konten dari Pengguna
5 Juni 2021 9:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tanah Gersang (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tanah Gersang (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Di tengah rencana pemerintah mengganti sertifikat tanah berbasis kertas menjadi elektronik, muncul kasus penipuan sertifikat tanah milik ibu dari mantan wakil menteri luar negeri Dino Patti Djalal, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Jika modus manipulasi sertifikat seperti ini bisa menyasar kalangan elite, lalu bagaimana dengan masyarakat rentan? Tentu dengan mencuatnya masalah ini kembali membuka sisi gelap akan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia.
Penguasa sumber-sumber agraria dilakukan dengan beragam cara, mulai dari yang tampak legal hingga yang ilegal. Modus operandi yang tampak legal acapkali dilakukan melalui sistem perkreditan. Sedangkan yang ilegal menjelma dalam wujud mafia tanah yang salah satu hasilnya adalah pemalsuan sertifikat. Pada prinsipnya, apa pun langgam penguasaan, legal maupun ilegal, sejatinya tidak bisa dibenarkan sebab tidak mencerminkan keadilan.
Modus operandi mafia tanah yang menyasar kalangan elite meski tergolong langkah, namun untuk masyarakat rentan persoalan ini kerap kali menerpa mereka. Fenomena pengambil alihan sertifikat tanah secara ilegal bisa ditemukan di banyak peristiwa, utamanya insiden penggusuran masyarakat dari tanah moyangnya. Terdapat perkara di mana status kepemilikan berubah tanpa sepengetahuan pemilik sah maupun ahli waris yang tidak diakui kepemilikannya lantaran tidak mempunyai sertifikat.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementerian Agraria Tata Ruang/badan Pertahanan Nasional (BPN), mencatat, jika setidaknya sejak tahun 2015-2019 menerima sebanyak 9 ribu laporan menyangkut masalah lahan. Dari keseluruhan kasus, sebanyak 50 persen berhubungan dengan mafia tanah (CNBCIndonesia.com, 21/01/2020).
Terkait masalah ini pemerintah memang telah memberikan respons sehubungan dengan mafia tanah. Kapolri Jend. Pol. Listyo Sigit Prabowo tegas memerintahkan seluruh jajaran untuk menindak tegas para mafia tanah.
Sepintas, perintah itu merefleksikan adanya komitmen negara di dalam membelah hak-hak rakyat, sekaligus menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Langkah ini tentunya patut di apresiasi dan didorong agar diejawantah dalam langkah konkret aparat penegak hukum dengan menyasar pada aktor utama (bekingan) dibalik itu semua. Alih-alih hanya sebatas citra semata. Terlebih mafia tanah merupakan masalah kronis yang semestinya ditangani secara imparsial.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Agraria Yang Terabaikan
Ilustrasi Ketimpangan (Sumber: pixabay.com)
Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini masih tergolong jauh dari kata sejahtera. Distribusi sumberdaya negara yang tampak terdistorsi telah memunculkan minoritas orang super kaya menguasai sumber daya dalam jumlah fantastis. Laporan Global Wealth Report, pada 2018 lalu, menunjukkan 1 persen orang kaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional.
Senada dengan laporan tersebut, setahun berikutnya Tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan (TNP2K) merilis laporan yang mengungkap 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Sulit menyebut jika ini sebagai keadilan. Penguasaan sumber daya yang sedemikian besar hanya mungkin dilakukan melalui sistem yang tidak memilik komitmen pada misi keadilan sosial.
Ketimpangan kesejahteraan kendati sudah menjadi rahasia umum, yang tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan hampir dibanyak negara. Namun, problem ketimpangan kesejahteraan ini, rupanya, cenderung ditilik dari dimensi ekonomi. Sedangkan dimensi lainnya, seperti dimensi ketimpangan agraria masih tergolong minim (Shohibuddin 2019: 2).
ADVERTISEMENT
Kurangnya perhatian terhadap ketimpangan agraria di aras diskursus membawa implikasi serius dalam proses perumusan kebijakan terkait pengentasan kemiskinan. Alhasil program kebijakan yang dicanangkan sekadar menyasar pada aspek pendidikan, kesehatan dan standar hidup. Namun untuk redistribusi sumber daya agraria sendiri, tampak tereduksi hanya sebatas sertifikasi lahan tanah.
Kebijakan reduksionis seperti sertifikasi, jelas tak mencerminkan semangat reforma agraria sejati. Alih-alih masyarakat merasakan kepemilikan sumber agaria berupa tanah, semisal, justru gagapnya elite dalam melaksanakan redistribusi sumberdaya kian membuat banyak orang hidup tanpa kepemilikan dan semakin terpinggirkan. Kondisi hidup yang dirasakan masyarakat rentan justru kontras dengan segelintir pemilik modal.
Pemilik modal dengan gampangnya menguasai jutaan lahan tanah melalui konglomerasi bisnis. Bagaimana mereka mendapatkan itu semua? Jawabannya, lewat konsesi perizinan yang oleh penguasa difasilitasi dalam pelbagai kebijakan. Dalam konteks keagrarian, Siscawati dan Rachman (2014) menyebut empat jenis konsesi yang kerap didapat pemodal: konsesi hutan produksi, konsesi restorasi ekosistem, konsesi perkebunan (utamanya kelapa sawit), dan konsesi pertambangan.
ADVERTISEMENT
Organisasi swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk Indonesia) mencatat, dalam konteks penguasaan lahan Sawit, setidaknya 25 konglomerasi bisnis sudah menguasai lahan sawit di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut, total lahan yang dikuasai 25 konglomerat sawit sebesar 5,8 juta hektare yang meliputi 3,4 juta hektare telah ditanami, serta 2,4 juta hektare yang belum tertanam. (Detik.com, 30/01/2019)
Potret penguasaan lahan inilah yang ditandaskan Shohibuddin jika ketimpangan merupakan sebuah atribut yang selalu menyertai ke semua relasi sosio-agraria, yakni relasi antar pihak di dalam aktivitas produksi sumber-sumber agraria. Baginya relasi ini ncerminkan kekuasaan asimetris dari mereka yang berkepentingan atas sumber-sumber agraria.
Kekuasaan asimetris yang ditopang motif penguasaan, akhirnya, akan memperkeras kontestasi dan kompetisi yang menyasar langsung pada konsentrasi sumberdaya agaria. Kondisi ini bukan tanpa konsekuensi. Bagi masyarakat rentan, utamanya yang hidup di sekitaran industri, menjadi terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan ekologi.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itulah, kenapa keberpihakan negara terhadap kepentingan kelompok rentan sangat penting, sebagai penentu terselenggaranya distribusi dan redistribusi sumberdaya secara adil merata: alih-alih terkosentrasi pada minoritas orang pemilik modal.
Ruang Gerak Mafia
Ilustrasi Mafia (Sumber: pixabay.com)
Kasus mafia tanah yang menimpa ibunda Dino Patti Djalal telah terekspos ke hadapan publik. Sebagai suatu kejahatan, kehadiran mafia tanah perlu diantisipasi. Nyaris tidak ada jaminan keamanan bagi sertifikat tanah yang dimiliki tak akan mengalami perubahan status kepemilikan secara ilegal. Selagi mafia tanah masih diberi ruang, maka, alih status kepemilikan ilegal dapat terjadi sewaktu-waktu.
Ada dua problem serius yang mesti dituntaskan pemerintah dalam konteks ini, yakni redistribusi lahan dan legalisasi lahan. Dua hal tersebut mesti dilakukan secara bersamaan, sebab dengan begitu, ruang gerak mafia tanah semakin terbatas. Sulit membayangkan ahli waris, semisal, harus kehilangan tanah warisan hanya karena tidak mempunyai legalitas. Jika pemerintah punya kemauan, tidak sulit rasanya melakukan itu!
ADVERTISEMENT
Apalagi banyaknya tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang terlantar. Pemerintah dapat mengambil alih untuk dimanfaatkan dan/atau di peruntukan buat masyarakat yang lebih membutuhkan. Ketimbang kemudian lahan tanah “tidak bertuan” itu hanya menjadi lahan subur aksi korupsi pertanahan.
Kepemilikan lahan tanpa legalisasi tanah dalam bentuk sertifikat, yang di akui hukum nasional, senyatanya rentan menimbulkan soal, utamanya berkenaan dengan ekspansi bisnis. Menjadi negara penganut model pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada sektor sumber daya alam, lahan tanah menjadi ihwal krusial dari ekspansi bisnis. Pemilik modal butuh kepastian akan kepemilikan lahan. Salah satu jawaban untuk menjawab kepastian kepemilikan lahan tanah adalah sertifikat tanah.
Tetapi tidakkah legalisasi menjadi dilema bagi masyarakat rentan, yang dalam banyak kasus, memilih menjual tanah karena desakan ekonomi? Karenanya, menuntaskan problem ketimpangan agraria hendaknnya diletakkan dalam konteks yang lebih luas.
ADVERTISEMENT