Konten dari Pengguna

Membangun Ketahanan Sistem Kesehatan Nasional

Rudi Hartono
Pengurus Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
14 Juli 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Obat-obatan kesehatan (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Obat-obatan kesehatan (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Setahun lebih wabah menerjang kehidupan manusia. Mobilitas tampak terkekang lantaran rasa cemas akan keselamatan diri. Perekonomian terjebak ke dalam minus pertumbuhan. Sehingga pemangku kepentingan di sejumlah negara mendiktumkan prahara resesi. Pada saat yang sama, kabar duka datang silih berganti. Tidak gampang menghadapi kondisi yang menyerupai force majeure ini. Sebab pandemi Covid-19 tak hanya memantik krisis kesehatan an-sich, melainkan perekonomian pun dibuat tak berdaya.
ADVERTISEMENT
Situasi ini membuat banyak orang makin dilema. Pemerintah, yang notabene memiliki surplus sumber daya, tampak bimbang dalam mengambil keputusan, antara memprioritaskan ekonomi atau kesehatan. Jikalau memilih ekonomi, maka konsekuensinya kesehatan menjadi terancam. Begitu pun sebaliknya: mengutamakan kesehatan, maka ekonomi terancam kolaps. Karenanya, antara ekonomi dan kesehatan harus dilakukan secara bersamaan agar tercipta ekuilibrium. Ini yang tampaknya dilakoni pemerintah selama setahun terakhir.
Kebijaksanaan harus di kedepankan semua pihak. Karena kemunculan pandemi, semestinya, menjadi momentum untuk menurunkan ego dan bersolidaritas atas nama kemanusiaan. Apalagi dalam perkembangannya, WHO, setidaknya mencatat varian baru coronavirus dengan tingkat penularan 97 persen lebih tinggi dari varian aslinya. Sala satu di antaranya adalah varian Delta, yang oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dikatakan 90 persen kasus Covid-19 di Jakarta adalah varian delta.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan tingginya penambahan jumlah kasus, dipelbagai kanal informasi, muncul kabar yang memotret kerentanan sektor kesehatan nasional: dari, ruang perawatan di sejumlah rumah sakit yang makin terbatas; tenaga kesehatan yang menjadi korban; perbekalan kesehatan seperti ventilator dan oksigen yang mulai menipis. Di tengah keterbatasan, penambahan jumlah kasus diproyeksikan bakal bertambah selama beberapa waktu mendatang. Untuk mitigasi krisis perlu dilakukan dalam bentuk ketahanan sistem kesehatan.
Konsepsi ketahanan memang berbeda dengan konsepsi kedaulatan. Dalam kondisi sulit seperti sekarang, yang penting adalah memastikan ketersediaan barang sehubungan dengan kebutuhan sektor kesehatan dan masyarakat. Ini bukan waktunya mendebat siapa dan dari mana ventilator itu diproduksi dan didapat, melainkan memastikan jaminan akan kesehatan dan keselamatan lebih berguna ketimbang larut ke dalam perdebatan yang tidak berpangkal.
ADVERTISEMENT
Kesehatan Yang Rapuh
Munculnya pandemi telah membuat orang semakin sadar akan pentingnya membangun sistem kesehatan nasional yang tangguh dan bekertahanan. Jika sebelumnya diskursus ketahanan lebih banyak diletakkan dalam kerangka pertahanan-keamanan, termasuk pangan, maka merebaknya virus telah menggeser perhatian orang. Tak dapat disangkal bila industri farmasi dan kesehatan masih perlu pembenahan. Tujuan utama tidak mesti menyaingi industri di negara maju, namun cukup memastikan kapasitasnya dalam menjawab kebutuhan di kala genting.
Wabah menerjang tanpa memandang status sebuah negara. Di negara-negara tempat vaksin di produksi sekalipun, Covid-19 masih bisa menular. Hanya saja, untuk negara dengan kapasitas kesehatan yang relatif kuat, disertai dengan konsistensi kebijakan, relatif lebih siap menghadapi ancaman wabah virus. Mengapa bisa begitu? Karena mereka mampu menjawab kebutuhan dalam negeri tanpa harus menunggu lama nomor antrean impor. Dengan trayek kemandirian di bidang kesehatan dan farmasi, minimal, korban jiwa relatif dapat diminimalisir.
ADVERTISEMENT
Industri farmasi dan kesehatan Indonesia masih tergolong jauh dari kata mandiri, apalagi harus berdaulat. Hal ini menimbulkan ketergantungan yang besar terhadap produk impor bahan baku obat-obatan. Menurut data Menkes Budi Gunadi Sadikin, 97 persen obat-obatan di Indonesia masih impor. Sedangkan sebanyak 3 persen adalah produksi dalam negeri. Begitu pun dengan belanja impor buat alat kesehatan (Alkes) mencapai Rp12,5 triliun. Sedangkan belanja Alkes di dalam negeri baru Rp2,9 triliun.
Bahkan dari 10 bahan baku obat terbesar di Indonesia, yang baru diproduksi sendiri hanya dua jenis, yakni Clopidogrel dan Paracetamol. Ketergantungan terhadap impor obat-obatan dan Alkes mencerminkan “lemahnya” sektor farmasi dan kesehatan. Padahal pemerintah semenjak beberapa tahun terakhir, atau lebih tepatnya saat presiden Jokowi membuat Inpres No.6/2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, tampak belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik – sebagaimana terlihat pada masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Kendati kini belum menuai hasil yang memuaskan. Sebab membangun industri membutuhkan waktu yang tidak singkat. Yang jelas, kehadiran Inpres No.6/2016 merupakan keputusan tepat sebagai langkah awal dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor, sekaligus mengejar ketertinggalan. Dengan kebijakan itu, ada asa dan usaha mewujudkan kehidupan warga bangsa yang sehat. Hanya saja kebijakan tanpa disertai aksi konkret hanya menuai kesia-siaan belaka. Oleh karenanya, perlu memperkuat bidang ristek, farmasi dan kesehatan adalah keharusan.
Waktu Yang Tepat
Pandemi adalah momentum pembelajar bersama. Waktu yang tepat dalam membangun sektor kesehatan yang mandiri. Mengingat bukan kali pertama dunia diterjang wabah virus, melainkan sudah menjadi kasus yang terjadi untuk keberkian kalinya. Bukan kemustahilan jika di masa mendatang, akan muncul kasus serupa yang dampaknya bisa saja berlipat ganda. Kemunculan bencana selalu mendadak, karena itu, tidak ada salahnya untuk merumuskan langkah-langkah antisipatif sedini mungkin demi meminimalisir kemungkinan buruk di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah pandemi, manakala wabah mencuat ke permukaan, selalu saja penyelesaiannya berujung pada vaksin! Vaksin merupakan obat mujarab, sekaligus kunci menghadapi pandemi. Hanya saja tak semua negara mampu memproduksi vaksin untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di Indonesia, pemerintah sudah mulai berusaha memproduksi vaksin sendiri demi mengurangi ketergantungan terhadap impor. Vaksin merah putih dan vaksin Nusantara adalah contoh akan usaha mewujudkan kemandirian produksi vaksin. Kendati yang terjadi sekarang ada tendensi komersialisasi vaksin.
Terlepas dari pro dan kontra, sehubungan dengan kedua vaksin tersebut, yang jelas Indonesia memiliki modal menuju kemandirian dalam bidang farmasi dan kesehatan. Tinggal bagaimana sikap pemerintah memanfaatkan sumberdaya potensial yang sudah ada. Akhirnya membangun kemandirian dan kedaulatan industri farmasi dan kesehatan haruslah ditopang ekosistem riset dan pengembangan yang terintegrasi di antara akademisi, swasta, dan pemerintah dengan tetap melakukan kolaborasi lintas negara. Dan, yang tak kalah penting adalah konsistensi kebijakan pemerintah!
ADVERTISEMENT