Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Disfungsi Kebijakan Tarif Cukai Rokok
2 Juni 2021 19:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri Hasil Tembakau, disingkat ITH, memegang peran dan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau. Menurut laporan Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Univ. Brawijaya (2020), selama lima tahun terakhir, negara mampu meraup pemasukan sebesar Rp 150 triliun dari cukai tembakau. Angka yang tergolong besar dan cukup untuk mendorong menggerakkan perekonomian nasional.
ADVERTISEMENT
Selain mempunyai kontribusi secara ekonomi, IHT juga membawa dampak secara sosial-budaya. Kehadiran IHT, secara instrumental, dapat digunakan untuk menjalin keakraban, merajut persaudaraan yang harmoni, serta dapat memecah impase sosial. Itulah sebabnya IHT dapat dikategorikan sebagai bagian dari kearifan lokal.
Intelektual ternama, Pramoedya Ananta Toer, menuturkan bilamana rokok–tentu saja dengan ragam varian lain–merupakan bagian penting bagi penguatan ekonomi lokal. Komoditas rokok dipandang sebagai cerminan kedaulatan ekonomi nasional. Dengan demikian upaya pemerintah mengelola IHT, seharusnya ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan. Bukan malah sebaliknya: memperlemah.
Menanggung Beban
Peranan penting IHT dalam ranah ekonomi, sosial dan budaya nyatanya tidak menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang win-win solution. Secara empirik pemerintah sejauh ini cenderung menaruh beban besar terhadap sektor ini. Dalih kesehatan dan pencegahan merokok bagi anak usia dini dijadikan legitimasi dalam mengorbit policy padat aturan demi pengendalian konsumsi dan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Alhasil muncul paradoks antara prosentase jumlah produksi dan pabrikan rokok yang mengalami penurunan dengan angka perokok yang terus bertambah. Studi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Univ. Brawijaya (2020), sekali lagi, menunjukkan dalam rentang 2016-2018, volume produksi menurun sebesar 4,59 persen. Sedangkan jumlah pabrik rokok berkurang dari 4.793 perusahaan pada 2007, menjadi, 487 perusahaan di tahun 2017 atau tersisa 10%. Sialnya, jumlah perokok usia dini justru meningkat dari 7,2% pada 2013, menjadi, 9,1% di tahun 2018.
Data tersebut menegaskan kekeliruan – untuk tidak menyebut kesalahan – pemerintah dalam mengidentifikasi problem, yang berimplikasi pada lahirnya kebijakan "prematur". Faktanya tidak ada korelasi antara menaikkan tarif cukai dan harga rokok dengan pengurangan jumlah perokok usia dini.
ADVERTISEMENT
Mengatasi persoalan membludaknya perokok usia dini dengan cara-cara parsial, tentunya tidak akan membuahkan hasil memuaskan. Alih-alih menuai hasil yang saling menguntungkan pelbagai pihak, justru penanganan parsial mala memperburuk kelangsungan IHT yang terancam oleh kepentingan negara yang sekadar mementingkan diri sendiri tanpa melihat yang lain.
Nasib para petani tembakau dan cengkeh sebagai pihak penting dalam sistem produksi IHT nyaris absen dalam upaya pemerintah merumuskan kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok. Kerugian ekonomi mesti mereka tanggung dan terima secara konsekuen akibat kebijakan yang nir-keberpihakan pada kelompok rentan. Sukar untuk menerima kebijakan semacam itu sebagai solusi. Akan lebih rasional kalau kebijakan itu dipandang sebagai masalah.
Idealnya, kebijakan publik hadir mengatasi masalah tanpa harus menimbulkan soal baru. Namun, nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Sudah sepatutnya pemerintah mengoreksi kebijakan yang tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Jangan sampai harapan untuk mengurangi jumlah perokok, terhenti sebatas angan-angan belaka.
ADVERTISEMENT
Penghisapan Melalui Tarif Cukai
Bersamaan dengan maraknya kampanye anti-rokok yang disusul dengan kenaikan tarif cukai dan harga rokok, sejatinya itu memperlihatkan dengan gamblang posisi pemerintah yang lebih mencari aman di tengah tingginya tuntutan publik agar pemerintah bersikap objektif. Di satu sisi pemerintah menjadikan sektor IHT layaknya ATM berjalan, namun pada sisi lainnya pemerintah sendiri tampak melegitimasi kampanye bahaya merokok. Inilah paradoks yang tampak di permukaan.
Hasil riset Wanda Hamilton dalam “Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat” (2010) setidaknya memberikan gambaran utuh akan problem yang tengah menerpa industri rokok. Dalam riset itu dikatakan terdapat pertarungan pasar nikotin antara industri rokok yang merepresentasikan “zat nikotin alami pada Tembakau” dengan industri farmasi yang merepresentasikan “senyawa mirip nikotin” dan “sarana pengantar nikotin”. Persaingan kedua sektor industri itulah yang membuat wacana ancaman rokok terhadap kesehatan semakin menggema di aras regional maupun global.
ADVERTISEMENT
Anehnya di tengah kampanye yang terus menggema dan coba untuk di legitimasi melalui dalih-dalih agama (sekalipun masih jadi perdebatan di kalangan agamawan), tetapi tetap saja, semuanya itu tidak memberi effect signifikan dalam mengurangi jumlah perokok – utamanya perokok usia dini yang makin bertambah. Alih-alih pemerintah melihat fakta tersebut secara objektif sebagai pertimbangan kebijakan, justru pemerintah sendiri bersembunyi dibalik narasi anti-rokok, sehingga merasa pantas mengorbit kebijakan kenaikan cukai dan harga rokok.
Selama pemerintah masih berkutat dengan cara-cara lama yang usang nan kolot, yakni menambah beban IHT dari waktu ke waktu. Tentunya, langkah itu hanya melahirkan kesia-siaan belaka. Bukan mengurangi jumlah perokok, justru perokok akan terus bertambah. Nyaris tidak ada solusi alternatif yang ditawarkan pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah perokok di tanah Air.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya seseorang (individu maupun lembaga) yang hidup dalam tekanan punya tendensi untuk melawan. Asumsi ini menemukan justifikasinya dalam konteks rokok. Perlawanan terhadap pemerintah sering dilakukan dengan cara mengkonsumsi rokok ilegal. Munculnya ragam jenis rokok ilegal yang marak belakangan ini merupakan konsekuensi logis dari kekeliruan pemerintah dalam mengatasi persoalan. Menaikkan tarif cukai sama halnya membuka karpet merah bagi keruntuhan industri rokok dalam negeri.
Dengan menormalisasi kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok mesti dipahami sebagai upaya pemerintah melanggengkan penghisapan nilai lebih (laba). Perekonomian yang dibasiskan pada relasi penghisapan merupakan ekonomi yang keropos. Tidak ada inovasi atau terobosan yang dapat dilakukan agar ekonomi tetap survive. Ekonomi seakan dipandang rasional sejauh mampu melakukan penghisapan seakan terjebak dalam keimanan buta akan pengkultusan pada laba.
ADVERTISEMENT
Apa yang Harus DiLakukan
Studi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Univ. Brawijaya, setidaknya, mengungkap empat penyebab anak usia dini merokok, yakni keluarga merokok; pendidikan ayah; lingkungan sosial sekitar rumah; dan, teman sekolah. Keempat faktor tersebut tidak ada korelasinya dengan kenaikan tarif cukai maupun harga rokok. Mengurangi jumlah perokok usia dini dengan begitu tidak dapat diatasi dengan langkah semacam itu. Sebab 53 persen perokok usia dini berkategori keluarga miskin, sedangkan 47 persen sisanya keluarga non-miskin.
Fakta empiris yang menunjukkan tidak ada korelasi antara kenaikan tarif cukai dan harga rokok dengan pengurangan jumlah perokok usia dini sudah. Maka, sudah semestinya pemangku kebijakan memikirkan ulang kebijakan yang telah diterapkan. Jika pemerintah terus-terusan mempertahankan keputusan semacam itu, padahal tumpuan ekonomi negara salah satunya adalah IHT, justru ini akan menjadi bom waktu di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Sehingga solusi yang semestinya dihadirkan pemerintah adalah berpijak pada keempat faktor tadi. Dengan begitu pemerintah dapat mempertimbangkan langkah-langkah preventif demi mengurangi jumlah perokok usia dini lewat trayek optimalisasi program pendidikan wajib belajar, sekaligus menggalakkan sosialisasi perihal implikasi merokok di usia dini tanpa harus memijakkan dalam konteks moralitas keagamaan - karena, di kalangan agamawan sendiri masih terjadi disputasi pandangan.