Problem Vaksinasi Berbayar Individu di Masa Pandemi

Rudi Hartono
Pengurus Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
Konten dari Pengguna
12 Juli 2021 19:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilsutrasi Vaksinasi Covid-19 (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi Vaksinasi Covid-19 (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Semenjak satu tahun terakhir, kabar duka akibat coronavirus datang silih berganti. Penambahan kasus di proyeksi bakal terus bertambah sampai beberapa waktu mendatang. Pemerintah sendiri bahkan telah menyiapkan skenario terburuk jika nanti terjadi lonjakan kasus di luar dari perkiraan. Pada saat yang sama, kabar tentang kelangkaan oksigen medis masih menghantui pikiran masyarakat, termasuk di kalangan pejabat pemerintahan, sampai-sampai seorang politisi mengusulkan supaya ada rumah sakit khusus pejabat.
ADVERTISEMENT
Belum juga terlihat tanda-tandan wabah melandai. Pemerintah justru kembali menerbitkan kebijakan kontroversial. Kebijakan tersebut tertuang dalam PMK No.19/2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK No.10/2021. Semangatnya adalah mendorong percepatan vaksinasi di tengah penambahan kasus yang teramat mengkhawatirkan. Tapi secara substansi, melalui kebijakan ini, pemerintah seakan melegitimasi izin bagi perusahan negara untuk menjual vaksin.
PT Kimia Farma merupakan perusahaan, yang mayoritas saham dimiliki negara, diberikan kewenangan pendistribusian vaksin Covid-19 untuk vaksinasi gotong royong dan bekerja sama dengan pihak ketiga. Persoalannya, dalam PMK No.19/2021 terdapat klausul perihal vaksinasi individu yang pendanaannya hendak dibebankan atau ditanggung oleh yang bersangkutan. Sehingga dari titik inilah tercermin kalau kebijakan tersebut membuka celah terjadinya komersialisasi vaksin.
Adalah sebuah ironi di kala wabah belum menunjukkan tanda-tanda membaik, serta banyak masyarakat masih terjebak dalam kondisi sulit, namun pemerintah malah mengorkestrasi kebijakan yang cenderung diskriminatif dan membuka celah buat komersialisasi vaksin. Padahal jika dicermati, jelas vaksinasi berbayar individu tidak sekadar ditujukan untuk percepatan vaksinasi semata, melainkan ada aroma kepentingan ekonomi yang menyengat dibalik itu.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah dengan hadirnya vaksinasi individu rakyat menjadi diuntungkan? Jawabannya, jelas tidak! Sebab kalau vaksinasi berbayar individu hendak diletakkan dalam kerangka logika untung-rugi, maka jelas yang amat diuntungkan adalah elemen industri farmasi dan kesehatan. Sebuah potret ketidakadilan yang berpotensi menjadi sasaran empuk bagi tumbuh suburnya teori konspirasi. Singkatnya, mempertanyakan keuntungan buat rakyat menjadi tidak relevan.

Cenderung Denial

Vaksinasi berbayar individu adalah suatu pengingkaran atas instruksi presiden Jokowi yang sebelumnya sudah tegas mengatakan kalau vaksinasi gratis menjadi prioritas pemerintah dalam anggaran di tahun 2021. Instruksi tersebut serasa menemui jalan buntu tatkala Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menerbitkan PMK No.19/2021 yang di dalamnya mengatur perihal, di antaranya, peranan PT Bio Farma dan vaksinasi individu.
ADVERTISEMENT
Memang aroma diskriminasi cukup menyengat dalam kebijakan tersebut. Sukar membayangkan bagaimana nasib masyarakat rentan kalau nantinya vaksinasi program, yang secara pendanaan hendak ditanggung atau dibebankan kepada pemerintah, itu dihapuskan. Tentu saja hal ini akan melahirkan persoalan baru yang lebih bersifat struktural, ketimbang sekadar mereduksi hanya sebatas persoalan alamiah. Dengan kata lain, problematika wabah yang sebelum dipicu oleh masalah alamiah berpotensi bergeser menjadi persoalan yang berdimensi struktural.
Di samping persoalan itu, terdapat persoalan lainnya yang bisa muncul dari kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif. Kita masih ingat sejak awal wabah menerjang Indonesia, pemerintah membuat kebijakan sehubungan dengan surat rapid tes atau PCR antigen yang menjadi syarat untuk melakukan kunjung perjalanan antar kota/provinsi. Kini, pada masa PPKM darurat, syarat tersebut diganti dengan sertifikat vaksinasi. Lantas, apa yang menjadi problem di sini?
ADVERTISEMENT
Ke depan kalau, katakanlah, vaksinasi gratis tidak lagi ada dan tersisa hanyalah vaksinasi berbayar. Tentunya masyarakat tidak punya pilihan lain selain melakukan vaksinasi berbayar. Namun bagaimana dengan nasib orang-orang rentan yang secara ekonomi kurang mampu sehingga berdampak pada akses terhadap vaksin menjadi terputus lantaran biayai yang tergolong mahal. Kemudian, bagaimana kalau sertifikat vaksinasi juga diberlakukan dalam pelayanan publik? Tentu saja hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan menjadi tercederai. Hal-hal semacam itulah yang semestinya dipikirkan!
Bertolak dari perspektif itu tergambar persoalan serius yang tengah menanti masyarakat jika, semisal, pemerintah tidak mengevaluasi, atau membatalkan, kebijakan PMK No.19/2021 yang sejatinya lebih bermuatan bisnis ketimbang sekadar urusan percepatan vaksinasi semata. Pandemi adalah persoalan serius yang membuat kehidupan, termasuk di sektor ekonomi, tampak berada dalam situasi force majeure. Sehingga mengatasinya pun tidak bisa dilakukan secara parsial. Perlu komitmen dan keberpihakan pemerintah, tanpa harus memakai logika bisnis dalam menuntaskan masalah.
ADVERTISEMENT
Menuntaskan persoalan tanpa menimbulkan persoalan lain merupakan prinsip yang seharusnya dipegang. Mendorong percepatan vaksinasi merupakan keharusan. Namun percepatan vaksinasi, seyogyanya tidak harus dilakukan dengan cara-cara bisnis. Pandemi adalah persoalan kesehatan dan kemanusiaan, maka menuntaskannya harus mengutamakan pertimbangan-pertimbangan kesehatan dan kemanusiaan. Alih-alih sekadar ekonomi an-sich. Terlebih kondisi saat ini tidak mudah dihadapi banyak orang.
Konstitusi mengamanatkan pemerintah untuk melindungi rakyat. Maka jalankanlah amanah konstitusi itu sebagaimana mestinya. Pada akhirnya presiden Jokowi harus mengambil sikap yang jelas terhadap kebijakan Menkes yang baru saja dibuat beberapa waktu lalu, agar tidak ada orang yang mendapatkan perlakuan berbeda akibat kebijakan yang kurang berpihak.