Survei Politik: Dilema Netralitas dan Objektivitas

Rudi Hartono
Pengurus Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
Konten dari Pengguna
25 Mei 2022 22:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Survei Politik (Sumber:Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Survei Politik (Sumber:Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagelaran politik elektoral 2024 masih jauh dipandang. Namun lakon politik di kalangan elite tampak kian gencar dilakukan sejak dini. Ruang-ruang publik semakin ramai dihiasi wacana pencapresan hingga pelbagai ukuran baliho yang berisikan foto dan kalimat bijak yang penuh bujuk rayu. Sulit rasanya untuk tidak mengatakan gejala tersebut merupakan desain politik menyambut Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Walaupun rakyat geram dengan kemunculan aneka baliho politik yang cenderung kurang berempati atas kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan akibat terjangan pandemi yang mematikan. Namun apalah daya, ambisi mencatatkan nama guna bertengger di papan survei, jelas telah menyilaukan pandangan sejumlah pihak. Sehingga apa pun yang dianggap menghambat, hendak dilewati begitu saja.
Memang dalam kurun dua tahun terakhir, arena politik tidak hanya mengekspos langgam politik elite yang sarat dengan gimmick. Kemunculan lembaga-lembaga survei, layaknya jamur di musim hujan, adalah faktor penting yang turut menambah hangatnya perpolitikan di Indonesia menuju 2024.
Kendati lembaga survei dalam ranah politik elektoral bukan hal yang baru terjadi saat ini. Melainkan telah berlangsung semenjak diterapkannya sistem Pemilu langsung di tahun 2004 silam! Namun yang jelas, seiring dengan menguatnya antagonisme di kalangan elite politik, kiprah lembaga survei tampak mulai "diragukan" kredibilitas dan integritasnya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, "keraguan" terhadap survei politik tidak datang hanya dari kalangan masyarakat semata. Bahkan di kalangan elite politik sekalipun, juga cenderung "ragu" akan kredibilitas dan integritas lembaga survei yang belakangan ini marak bermunculan. Munculnya sikap skeptis seperti ini pada dasarnya mencerminkan legitimasi lembaga survei yang keropos. Sehingga mencari legitimasi, dengan cara mendiskreditkan lewat narasi independensi dan netralitas, adalah konsekuensinya.

Berebut Legitimasi

Survei politik telah menjadi perdebatan hangat di masyarakat semenjak beberapa tahun terakhir. Dalam Pemilu 2014, semisal, baik pasangan Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla sama-sama tercatat menang berdasar hasil quick count dari sejumlah lembaga survei. Begitu pula dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, di mana prediksi survei terkait kemenangan Basuki Tjahaja Purnama meleset.
ADVERTISEMENT
Melesetnya prediksi survei politik telah menimbulkan keraguan dan kecurigaan. Lembaga survei yang hasil surveinya berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU memberikan klarifikasi dengan menggunakan dalih-dalil saintifik. Menurut mereka perlu dibedakan antara metode exit poll, quick count, dan real count. Aneka peristiwa penting menjelang hari pemilihan juga dipandang patut menjadi pertimbangan mengapa hasil survei itu berbeda dengan hasil akhir di KPU.
Dalil semacam itu memang logis. Karena metode exit poll, quick count, dan real count yang kerap kali digunakan itu berbeda. Secara sederhana, quick count adalah metode verifikasi hasil Pemilu yang dilakukan dengan menghitung persentase hasil Pemilu pada TPS yang dijadikan sampel. Sedangkan exit poll adalah survei yang digelar di hari pemungutan suara dan dilakukan setelah pemilih meninggalkan TPS. Dan, real count adalah hasil perhitungan di seluruh TPS di Indonesia atau wilayah yang menggelar Pilkada.
ADVERTISEMENT
Perkara lain yang perlu dipahami adalah terkait waktu pelaksanaan survei. Survei politik biasanya dilakukan dalam rentang waktu tertentu sebelum memasuki masa tenang dan hari Pemilihan. Sehingga besar kemungkinan hasil survei politik itu berbeda dengan hasil akhir di KPU – jika, dalam waktu menjelang hari pemilihan terdapat insiden-insiden yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Oleh karenanya persoalan survei politik yang mengekspos hasil yang berbeda antara satu dengan lainnya tidak bisa dipahami secara politis. Perspektif yang politis selalu bertumpu pada pertanyaan tentang keberpihakan survei politik. Sehingga tidak heran jika masing-masing pihak – apakah itu kandidat ataupun pendukung – cenderung ragu terhadap survei-survei politik yang hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Persoalan seperti ini pula yang mewarnai pagelaran Pemilu 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Kita perlu beranjak dari persoalan-persoalan terkait netralitas survei politik menuju soal yang lebih relevan, yakni objektivitas. Sehingga tidak perlu lagi menaruh distingsi antara lembaga survei yang tergabung dengan wadah perhimpunan resmi dengan lembaga yang tidak tergabung dalam wadah tersebut. Suka tidak suka, distingsi semacam ini hanyalah upaya mengukuhkan posisi hegemoni di satu sisi, sembari mendiskreditkan pada yang lain.
Prinsipnya, survei politik dapat objektif. Hasil yang objektif itu dapat diperoleh melalui proses yang objektif, memenuhi standar penelitian yang memadai, serta dapat merujuk pada data-data yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kalau persoalan ini yang dilihat, sudah tentu, perbincangan terkait survei politik tidak akan larut ke dalam debat yang penuh curiga, apalagi sampai menaruh distingsi antara lembaga survei.
ADVERTISEMENT

Medium Pendidikan Politik

Menurut hemat saya, kemunculan lembaga survei politik dalam ranah politik elektoral patut disambut tanpa harus dilihat dengan penuh curiga. Eksistensi lembaga survei harus diletakkan ke dalam upaya penguatan demokrasi. Yang perlu dilakukan saat ini adalah mendorong lembaga survei menjadi medium pendidikan politik dan partisipasi publik untuk memperbaiki mutu demokrasi, yang dalam beberapa tahun ini dipandang tengah mengalami stagnasi – kalau bukan regresi.
Bagaimana juga, kemunculan lembaga survei tidak terlepas dari proses demokratisasi yang berlangsung semenjak 1998. Sejak itu, survei politik telah menjadi cara saintifik dalam menyampaikan realitas politik seperti, opini; fakta; isu; sikap; prefensi; dan sebagainya. Pemilu adalah syarat prosedural yang harus dipenuhi dalam setiap negara demokrasi guna mendorong pergantian pemimpin nasional maupun daerah secara adil melalui partisipasi politik yang bebas dari tekanan.
ADVERTISEMENT
Lembaga survei dapat mengambil peranan dalam konteks itu. Dengan menjadi medium pendidikan politik, lembaga survei dapat menanamkan nilai-nilai pada masyarakat yang memungkinkan kesadaran politik mereka berkembang. Dengan begitu masyarakat dapat menilai lakon politik di kalangan elite, apakah sekadar pencitraan belaka atau murni karena ketulusan? Masyarakat akan menjadi pemilih rasional atau justru irasional dalam Pemilu, tergantung dari kesadaran politik mereka.
Sebaliknya, manakala peran lembaga survei tereduksi hanya sebatas unjuk elektabilitas semata, sudah tentu kesadaran politik masyarakat tidak akan tumbuh berkembang. Jadi peran semacam inilah yang harus dibenahi demi pembangunan demokrasi di Indonesia yang lebih bermutu. Dengan begitu, elite politik tidak lagi larut dengan praktik politik yang sekadar unjuk kekuatan di ruang-ruang publik demi elektabilitas belaka.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, tumbuh berkembangnya demokrasi di suatu negara berbanding lurus dengan tumbuh berkembang kesadaran masyarakat. Semakin maju budaya politik masyarakat di suatu negara, maka penerapan demokrasinya akan semakin tinggi. Tingginya penerapan demokrasi dapat diukur melalui partisipasi publik dengan nalar yang logis dalam setiap praktik kenegaraan, seperti Pemilu.