Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Wajah Suram Sektor Pertanian
21 Agustus 2021 21:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini presiden Jokowi kembali mengutarakan harapannya agar bertani dapat menjadi profesi yang menjanjikan dan menyejahterakan, sehingga tumbuh minat bertani generasi mudah. Harapan ini disampaikan di acara pengukuhan duta petani milenial di Kementerian Pertanian, pada Jumat (6/8) lalu. Setidaknya, ada dua alasan utama yang melatarinya. Pertama, mayoritas petani di Indonesia atau setara 71 persen telah berusia di atas 45 tahun. Kedua, selama pandemi sektor pertanian terbukti menjadi tumpuan perekonomian nasional melalui pertumbuhan 1,75 persen di tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya memupuk minat bertani generasi muda, menurut presiden Jokowi, pemerintah sedang mengupayakan agar sektor pertanian bisa lebih menguntungkan dan menyejahterakan. Caranya adalah meningkatkan profesionalisme dan daya saing. Sepintas, cara yang digunakan terbilang menjanjikan pembenahan. Namun kalau dicermati dengan saksama, sejatinya, profesionalisme dan daya saing masih parsial serta luput menyasar pada problem esensial. Apalah artinya profesionalisme dan daya saing, kalau dalam kenyataannya, masih banyak orang yang terpisah dari lahan garapan?
Dorongan untuk bertani tidak dapat dipisahkan dari konteks membangun kemandirian pangan nasional. Kemandirian adalah cita-cita dan visi yang selama ini diperjuangkan presiden Jokowi, sala satunya, lewat program kebijakan food estate. Hanya saja secara konseptual, kemandirian cukup problematik lantaran bertumpu pada aspek ketersediaan atau ketercukupan. Tidak penting siapa memproduksi beras, sejauh itu menjawab kebutuhan pangan domestik jelas bukan persoalan – sekalipun dengan jalan pintas impor. Padahal impor merupakan persoalan serius yang acapkali membuat petani lokal merugi.
ADVERTISEMENT
Karenanya itu, presiden harus jeli melihat persoalan di sektor pertanian yang terlampau serat. Selain karena sektor pertanian kurang menjanjikan dan menyejahterakan akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih bertumpu terhadap impor ketimbang memaksimalkan potensi domestik, rendahnya minat bertani generasi muda juga mesti dilihat dalam konteks akses dan kepemilikan sumber-sumber agraria, seperti tanah. Mengingat di tengah gempuran industrialisasi, dengan problem yang tampak terawat, tentunya menggantungkan hidup dengan bertani dapat dikatakan bukan pilihan yang tepat.
Problem Struktural
Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Namun kehidupan petani, boleh dibilang, masih jauh dari kata sejahtera. Kesejahteraan petani selama ini baru menggema sebatas slogan di kalangan pemangku kebijakan. Kebijakan impor yang kerap dilakukan, bahkan ketika musim panen tiba, turut menyumbang kerugian bagi petani lokal sekaligus menggambarkan rendahnya komitmen membangun sektor pertanian yang lebih mandiri. Setiap wacana impor menggema, pada saat yang sama, ancaman kerugian turut membayang-bayangi petani. Sedangkan pemburu rente justru berpesta pora menyambut untung.
ADVERTISEMENT
Bertani dalam ancaman kerugian tidak jarang membuat petani harus mengambil pilihan berat – entah itu beralih tanaman, atau menjual tanah garapannya untuk kehidupan yang lain. Inilah potret suram petani kita. Ada banyak kisah di mana para petani menyekolahkan anak-anaknya dengan harapan, kelak tidak menjadi petani seperti orang tuanya. Hal ini bukan karena profesi petani itu buruk. Melainkan, sektor pertanian kurang begitu menjanjikan dan menyejahterakan buat masa depan anak-cucunya. Artinya, rendahnya minat bertani generasi muda merupakan konsekuensi logis dari kebijakan yang kurang memihak.
Wajah suram sektor pertanian tidak hanya disebabkan oleh persoalan kebijakan impor semata. Fenomena penyusutan lahan dan penguasaan lahan pertanian yang berlangsung masif seiring dengan masifnya industrialisasi, turut menambah kesuraman. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), di tahun 2019, mencatat ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, 1 persen penduduk yang menguasai 68% tanah. Penguasaan lahan dalam jumlah besar ini makin memperlebar ketimpangan agraria. Karenanya ajakan presiden untuk bertani menjadi paradoks buat mereka yang terpisah dari tanah garapan.
ADVERTISEMENT
Karpet merah agenda pembangunan yang bernaung di bawah bendera pasar bebas atau dikenal dengan istilah neoliberalisme membawa dampak destruktif bagi perkembangan pertanian. Hal ini tergambar terang dalam kasus perampasan dan/atau alih fungsi lahan untuk pembangunan sektor industri dan infrastruktur penunjang: jalan tol, bandara, dan lain sebagainya. Fenomena perampasan/alih fungsi lahan, di satu sisi berdampak pada hilangnya masyarakat dari tanahnya. Namun pada sisi yang lain, perampasan lahan telah membuat minoritas orang kaya menguasai lahan dalam jumlah yang fantastis.
Perampasan/alih fungsi lahan sama halnya dengan memisahkan masyarakat dari alat produksi. Mereka yang terpisah dari tanah garapannya, selanjutnya, harus berjuang mencari peruntungan dalam moda produksi formal. Tidak semua orang beruntung bekerja di sektor formal. Mereka yang tidak terserap, lantaran pekerjaan yang minim, dengan terpaksa harus menggantungkan hidup di sektor informal dan masuk dalam barisan pekerja rentan yang di tandai oleh upah renda, jam kerja yang panjang, minim jaminan sosial dan perlindungan hukum. Tahun 2020 lalu, muncul kebijakan omnibus law dengan dalih pertumbuhan dan lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Sekalipun omnibus law dibuat pemerintah-DPR dengan semangat meningkatkan pertumbuhan dan penciptaan lapangan pekerjaan, namun secara prinsip, kebijakan ini turut menggelar karpet merah untuk kepentingan investasi. Sehingga keberadaannya turut mengancam sektor agraria. Pengaturan mengenai izin konversi tanah pertanian ke non-pertanian, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jangka waktu hak pengelolaan atas tanah yang diatur dalam omnibus law dapat memperlebar gap ketimpangan agraria. Karenanya kebijakan tersebut menjadi ancaman terhadap eksistensi kelompok tani.
Penutup
Mengajak generasi mudah untuk bertani adalah ajakan yang baik dan patut di apresiasi. Namun ajakan tersebut bisa menjadi tidak bermakna kalau tidak disertai dengan penyelesaian persoalan ketimpangan agraria melalui redistribusi lahan, serta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan impor yang kerap membuat petani merugi. Selagi ketimpangan agraria masih terjadi dan impor pangan menjadi tumpuan pemerintah, maka berharap akan lahir minat bertani generasi muda sama seperti mengharapkan matahari terbit di malam hari.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa menumbuhkan minat bertani hanya dengan mengandalkan peningkatan daya saing dan profesionalisme, sedangkan pada kenyataan masih banyak orang yang terpisah dari tanah garapan? Di ruang akademik, mahasiswa seringkali mendapat wejangan dari dosennya agar kelak, setelah lulus kuliah dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Inilah yang membuat mata kuliah kewirausahaan dijarakkan di banyak fakultas. Akan tetapi, tanpa kepemilikan alat produksi dan modal, yang terjadi justru setelah lulus mereka masuk dalam barisan para pencari kerja – bukan pencipta lapangan kerja!