Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cinta Tanah Air dalam Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan
19 Agustus 2020 16:44 WIB
Tulisan dari Rudi Pradisetia Sudirdja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum positif Indonesia memberikan posisi yang tinggi terhadap kedudukan warga negara. Penjelasan umum UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menyebutkan bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara.
ADVERTISEMENT
Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik (resiprokal) antara negara dengan warganya. Setiap warga memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya, dan sebaliknya hak dan kewajiban juga melekat pada negara. Negara memiliki hak untuk ditaati oleh warganya, dan memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari segala bentuk ancaman. Sementara, warga negara memiliki hak untuk dilindungi, dan memiliki kewajiban menjaga dan mempertahankan negara atau tanah airnya.
Kewajiban WNI menjaga tanah air diatur secara tegas dalam Konstitusi. Pasal 30 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Tiap – tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Dalam ayat (2) disebutkan “untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
ADVERTISEMENT
Hal itu menunjukkan bahwa kewajiban menjaga, mempertahankan, dan mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari gangguan musuh baik internal maupun eksternal adalah kewajiban konstitusional setiap WNI. Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan refleksi dari cinta, karena cinta pada dasarnya adalah rasa sayang, rasa ingin menjaga, rasa kepemilikan, dan tidak rela apabila sesuatu yang disayanginya diganggu, dirusak dan direbut oleh orang lain.
Perspektif Islam
Dalam Islam, kecintaan terhadap tanah air (negara) telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, suri teladan yang baik bagi umat manusia sekalian alam. Nabi Muhammad lahir di Makkah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Nabi Muhammad sangat mencintai kota Makkah sebagai kota kelahirannya.
Dalam suatu hadis diriwayatkan pada saat Nabi Muhammad hendak hijrah ke Madinah, karena tindakan represif kaum musyrik dan kafir Quraisy, beliau bersabda "alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusir ku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selain mu” (HR Ibnu Hibban).
ADVERTISEMENT
Nabi Muhammad meninggalkan kota yang dicintainya karena keadaan darurat, beliau mendapat intimidasi, ancaman, gangguan, dalam menyebarkan syiar Islam di sana. Oleh karenanya, mau tidak mau beliau harus meninggalkan kota Makkah demi misi yang lebih besar.
Selain mencintai kota Makkah, Nabi Muhammad juga sangat mencintai kota Madinah Al Munawarah, kota di mana peradaban Islam berkembang, kota mulia, tempat turunnya wahyu, kota di mana jasad Muhammad Saw dimakamkan, dan kota yang dihuni oleh masyarakat multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam hidup rukun dan saling menghormati dibawah aturan dasar Piagam Madinah yang dirumuskan oleh beliau sendiri.
Madinah merupakan tempat kedua yang dicintai oleh Nabi Muhammad setelah kota Makkah. Dalam suatu hadis diriwayatkan dari sahabat Anas, “ketika Nabi Muhammad Saw kembali dari bepergian, dan beliau melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah". (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Muhammad Saw juga telah menjadikan Kota Madinah sebagai kota haram, Dalam sebuah hadis disebutkan “Sesungguhnya Nabi Ibrâhîm menjadikan kota Mekah sebagai kota haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram juga”. (HR. Muslim)
Ali Bin Abi Thalib
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib karamallahu wajhah (Imam Ali) orang terdekat Rasullulah, yang merupakan sepupu, sahabat sekaligus menantu Rasul, menjelaskan “Umiratil buldan bihubbil awthan.” Negeri akan dimakmurkan dengan kecintaan pada tanah air.
Ucapan Imam Ali tersebut menggambarkan, suatu Negara dapat makmur apabila warga negara cinta terhadap tanah airnya (negaranya). Ucapan tersebut sangat logis, dengan cinta membuat warga negara peduli terhadap tanah airnya, ia akan memiliki rasa kepemilikan dan berusaha memberikan yang terbaik bagi tanah airnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, kecintaan terhadap tanah air juga harus diwujudkan dengan kesetiaan pada pancasila sebagai dasar negara (philosophischegrondslaag). Pancasila adalah kesepakatan bersama para pendiri bangsa, yang merupakan penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah konsensus nasional semua golongan masyarakat yang berasal dari multi ras, agama, suku dan antar golongan. Oleh karenanya, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara bersifat final yang berarti tidak bisa diganggu gugat dan digantikan oleh apa pun.
Pada kesempatan lain, Imam Ali juga berkata “Min karamil mar’i bukaa`uhu ‘ala ma madha min zamanihi wa haninihi ilaa awthaanihi” yang berarti: di antara kemuliaan seseorang adalah tangisannya akan apa yang lepas dari umurnya, dan kecintaannya pada tanah airnya.
Tangisan yang dilandasi semangat ingin mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran bagi tanah airnya, dan seraya berusaha melakukan yang terbaik sesuai kapasitasnya masing-masing adalah bentuk kemulian manusia.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, kecintaan terhadap tanah air (negara) dan berusaha melakukan yang terbaik untuknya adalah wujud dari melaksanakan nilai-nilai agama. Berwarganegara yang baik merupakan cerminan dari beragama yang baik. Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman).
Dirgahayu Indonesia ke-75
Merdeka
Live Update