Konten dari Pengguna

“Timing” untuk Revisi UU ITE

Rudiantara
Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada Kabinet Kerja.
11 Januari 2017 17:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudiantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rules (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Rules (Foto: Pixabay)
Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU no 19 Tahun 2016 yang belum lama ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk diundangkan kebanyakan disorot hanya pada aspek waktu kehadirannya.
ADVERTISEMENT
Karena diundangkan pada akhir November, dengan suasana politik yang sedang menghangat setelah aksi umat Islam 4 November dan menjelang 2 Desember 2016, UU hasil revisi ini dianggap merupakan produk hukum untuk merespons atau bahkan mengekang penyampaian aspirasi tersebut.
Padahal, namanya saja revisi, revisi UU ITE yang resmi berlaku 25 November lalu bukanlah UU yang sama sekali baru. Apalagi digunakan pemerintah untuk kepentingan politik sesaat saja atau untuk melindungi kepentingan pemerintahan semata.
Jika boleh berkilas balik, UU ITE berangkat dari kenyataan bahwa pemanfaatan teknologi informasi seyogyanya memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi dan mendorong tercapainya cita-cita dari tujuan bernegara.
Namun tidak sedikit juga justru menimbulkan kompleksitas pemasalahan dari sisi teknis, penyebaran pembangunan, ekonomi, hukum dan budaya di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun dalam dinamika penerapannya diperlukan perubahan menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Beberapa kasus hukum yang didasarkan atas pasal 27 ayat 3 banyak digugat dan dipertanyakan terutama mengenai ancaman sanksi pidana yang diatur dalam pasal 45 ayat 1.
Kronologis
Gagasan untuk merevisi UU ITE ini sudah muncul sejak tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Artinya, hanya setahun setelah UU ITE diundangkan sudah muncul gagasan revisi tersebut akibat banyaknya kasus yang memicu kontroversi berkaitan dengan penyampaian pendapat secara digital.
Pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, pemerintah melakukan pembahasan RUU Revisi UU ITE di tim antarkementerian serta proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Proses ini selesai sejatinya telah selesai tahun 2012. Tetapi pada tahun 2013 RUU Perubahan atas UU ITE yang sudah diharmonisasi itu justru dikeluarkan dari daftar prioritas pembahasan pada tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Begitu mendapat amanat, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memandang bahwa revisi harus menjadi prioritas untuk menghadirkan aturan yang lebih berkeadilan dan mencegah kriminalisasi atas kemerdekaan penyampaian pendapat yang sehat.
Alhamdulillah pada tanggal 9 Februari 2015 RUU Revisi UU ITE kembali ditetapkan oleh DPR menjadi RUU prioritas untuk dibahas tahun 2015 bersama dengan 36 RUU lainnya.
Di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili Presiden melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR RI untuk mendapatkan persetujuan bersama.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 14 Maret 2016, seluruh fraksi di Komisi I DPR setuju membahas revisi terhadap UU ITE dan menindaklanjutinya dengan pembentukan Panitia Kerja untuk membahas secara rinci isi revisi.
Ibu Meutya Hafid, Wakil Ketua Komisi I DPR yang mempimpin rapat saat itu menegaskan bahwa semua fraksi telah setuju untuk membahas revisi UU ITE ke tingkat I dan membentuk Panja dengan keanggotaan meliputi perwakilan seluruh fraksi di Komisi I DPR.
Ibu Evita Nursanty dalam pandangan umumnya menyampaikan bahwa dalam revisi perlu didukung pengaturan tentang ancaman hukuman sehingga seseorang tidak bisa langsung ditangkap dan ditahan dengan tuduhan pencemaran.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, tetap harus ada pengaturan tentang pidana minimum bagi pihak yang melakukan pelanggaran sehingga dapat memberikan efek jera.
Setelah itu, serangkaian rapat antara pemerintah dan Komisi I dilaksanakan dalam bentuk rapat kerja, rapat panja (panitia kerja) serta rapat timsin (tim sinergi) dan timus (tim perumus).
Dalam proses ini tim mendapat banyak masukan dan aspirasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, praktisi, dan unsur masyarakat lainnya.
Akhirnya RUU tersebut telah diselesaikan pembahasannya dalam pembicaraan Tingkat I pada tanggal 20 Oktober 2016 dengan keputusan menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu Pengambilan Keputusan atau Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.
ADVERTISEMENT
Situasi Terkini
Menilik situasi terkini, kita bersyukur bahwa kita telah memiliki UU ITE sejak tahun 2008. Mengapa?
Saya rasa akhir-akhir ini kita semua sepakat terhadap situasi sosial media yang sudah dipenuhi dengan caci-maki, hoax, fitnah yang tidak berdasar oleh pihak-pihak yang berseteru pendapat.
Presiden sendiri sampai berinisiatif menggelar rapat kabinet terbatas khusus pada akhir tahun 2016 lalu untuk membahas antisipasi perkembangan media sosial terkait perkembangan mutakhir tersebut.
Selama ini Presiden kita kenal sebagai sosok yang sangat toleran terhadap kebebasan berpendapat di dunia maya, apalagi Beliau sendiri juga sangat akrab dengan, dan merupakan komunikator yang aktif di, media sosial.
Namun, toh, dengan tensi yang makin tinggi dan potensi kebablasan media sosial, Presiden merasa gerah juga dan melihat butuh ketegasan memperkuat penegakan hukum bagi siapapun yang terlibat tanpa memandang pihak.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada lima poin penting dan baru yang membuat UU ITE ini relevan dengan pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat yang menggunakan dunia maya sebagai tempat untuk menyampaikan pendapat, yaitu:
Pertama, menghindari penahanan serta-merta dengan menurunkan pidana penjara dari 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun.
Dengan penurunan ancaman ini, pihak pelapor dan terlapor memiliki kedudukan yang sama hingga dapat dibuktikan di pengadilan siapa yang benar. Terlapor tidak perlu ditahan terlebih dahulu karena ancaman penjaranya di bawah 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Kedua, menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan pasal 26.
Nantinya Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan dan menyediakan mekanismenya.
Ketiga, memberi perlindungan masyarakat dari konten negatif.
Terdapat dua cara, yaitu perlindungan dari segi pembatasan akses penyebaran dan dari segi pendidikan. Dalam hal konten, pemerintah selalu mendapat masukan dari berbagai pihak terutama terkait konten pornografi dan judi.
Keempat, adalah mengakomodir putusan MK dengan mengubah pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan, dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi diatur dalam UU.
Kelima, penegasan bahwa bukti hukum yang sah dari hasil intersepsi adalah intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah acara bincang-bincang televisi beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan “korban” UU ITE yang dilaporkan atas sebuah kasus pencemaran nama baik melalui media sosial.
Saya beri tanda kutip pada istilah “korban”karena sesungguhnya istilah “korban“ tersebut tidak begitu tepat dihadapkan begitu saja dengan UU ITE.
Mendengar hal ini, sang “korban” UU ITE tersebut cukup puas karena yakin bahwa tidak melakukan kesalahan. Lima poin tersebut di atas menjadi pembeda dalam UU ITE yang baru berkat kehadiran tatacara dan substansi baru pencarian rasa keadilan untuk masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, roh untuk memberi bingkai aturan yang jelas agar kebebasan penyampaian pendapat tidak kontraproduktif bagi bangsa kita yang sedang membangun ke dalam sebuah UU ITE, sudah ada sejak tahun 2008. Sama sekali bukan untuk membungkam aspirasi saat ini.