Konten dari Pengguna

Haji Machmud Singgirei Rumagesan: Pahlawan asal Papua

Rudi K Dahlan
Pekerja porfesional Mantan aktivis kelompok studi mahasiswa UI 90-an dan Himpunan Mahasiswa Islam. Ketertarikan pada masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
11 November 2020 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi K Dahlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Berjuang melawan kolonialisme Belanda dari penjara ke penjara

ADVERTISEMENT
Tanggal 10 November 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan Haji Machmud Singgirei Rumagesan sebagai pahlawan nasional dari Papua. Sebelumnya tidak banyak yang mengenal beliau. Berikut ini adalah sedikit sejarah beliau.
ADVERTISEMENT
H.Machmud Singgirei Rumagesan, penentang kolonialisme Belanda di Papua
Papua sudah tercatat di tahun 1365 dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca untuk Raja Hayam Wuruk. Dalam syair 14, nama-nama tempat yang disebut dalam kitab tersebut seperti Wwanin (Onin, dekat Fakfak), kemudian Seran (Kowiai, dekat Kaimana) serta Wandan (satu tempat di pulau Nieuw Guinea). Catatan di era Majapahit ini membuktikan bahwa Papua adalah bagian sejarah dari wilayah yang dahulu disebut Nusantara.
Dari daerah Fakfak ini pula lahir seorang pejuang Papua melawan pemerintah Kolonial Belanda dan sekaligus yang memperjuangkan Papua agar menjadi bagian dari negara Indonesia. Orang itu bernama Machmud Singgirei Rumagesan. Sosok pahlawan Papua ini memang jarang sekali diperbincangkan di media massa. Machmud S Rumagesan adalah Raja dari wilayah Sekar, yang bergelar Raja Al-Alam Ugar Sekar, kini berada pada wilayah Fakfak.
ADVERTISEMENT
Kerajaan Sekar sebenarnya bukanlah kerajaan besar baik dari cakupan wilayah kekuasaan ataupun dari jumlah penduduk. Raja-raja di wilayah Papua Barat ini sebenarnya berada di bawah kontrol kesultanan Tidore di Maluku. Mereka mendapatkan gelar Raja dari Sultan Tidore untuk wilayah-wilayah kecil di wilayah kekuasaan mereka sendiri. Raja-raja ini bersifat administratif dan kepanjangan kekuasaan dari kesultanan Tidore yang lebih banyak berfungsi untuk mengutip hasil bumi bagi kesultanan.
Raja Rumagesan beragama Islam. Agama Islam sendiri diperkirakan sudah ada jauh sebelum Belanda masuk menguasai Papua. Interaksi antara penduduk Papua Barat dengan kesultanan Tidore menyebabkan penduduk wilayah ini banyak beragama Islam. Kesultanan Tidore ini menguasai penuh pulau-pulau antara Nieuw Guinea dengan Halmahera. Mereka menanamkan pengaruhnya pada abad ke-16. Sementara itu agama kristen yang dibawa oleh para Zending masuk ke Papua pada tahun 1855 dengan tibanya Carl Wilhelm Ottow dan johann Gottlob Geissler di Manokwari.
ADVERTISEMENT
Menentang Kolonialisme
Pada tahun 1898 adalah awal penegakan kekuasaan Belanda secara langsung di Papua barat. Kesultanan Tidore tidak lagi berperan di sana, bahkan mereka tidak lagi memanfaatkan pajak-pajak dari wilayah Papua Barat ini. Belanda kemudian mencoba membangun perekonomian di sana dengan cara mempekerjakan buruh-buruh pabrik di perusahaan Belanda, Maatschapijj Colijn.
Belanda bersikap sewenang-wenang dalam membayar gaji-gaji buruh. Hal ini membuat Raja Rumagesan berang dan menuntut Pemerintah Kolonial Belanda memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Raja. Tuntutan tersebut di antaranya memintah Maatschapijj Colijn menyerahkan upah buruh kepada Raja Rumagesan untuk kemudian diserahkan langsung kepada rakyatnya. Hal ini dilakukan dengan alasan agar tidak terjadi penyelewangan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat Papua.
Sejak itulah muncul gesekan antara pemerintah Belanda dengan Raja Rumagesan terkait isu upah pekerja. Rakyat ternyata berdiri di belakang Raja Rumagesan. Bahkan pada tahun 1934, Raja Rumagesan berikut 73 orang pengikutnya ditangkap oleh pemeritah kolonial. Raja kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun dan diasingkan ke Saparua. Sementara pengikutnya dipenjarakan di Fakfak dengan masa hukum bervariasi hingga 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Konflik ini bermula ketika pada bulan Mei 1934 rakyat kerajaan Kokas marah mendengar terjadinya konflik antara Raja Rumagesan dengan Kontrolir Maatschapijj yang bernama Van Cen Terwijk. Kemarahan rakyat tidak dapat dikendalikan sehingga mereka berencana membunuh Kontrolir Van Cen Terwijk beserta bestuur hukumnya. Rencana ini kemudian bocor. Akibatnya sebuah kapal yang memuat tentara dari Fakfak dikirim ke Kokas. Tentara kemudian mengepung rumah Raja Rumagesan dan menangkapnya. Tentara kemudian membawanya ke Fakfak serta memenjarakannya tanpa ada pengadilan.
Tiga hari kemudian rakyat yang berencana akan memberontak berjumlah 73 orang juga ditangkap dan membawa mereka ke penjara di Fakfak. Tentara kolonial menyiksa mereka di dalam penjara. Setelah peradilan, rakyat itu kemudian dijatuhi hukuman yang berbeda-beda berkisar antara 2 sampai dengan 10 tahun. Sementara Raja Machmud Singgerei Rumagesan dihukum selama 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Berpindah-pindah penjara
Tidak sekali ini saja Raja Rumagesan dijebloskan ke penjara oleh tentara Belanda. Pada masa pendudukan tentara Belanda yang kembali sesudah proklamasi, Raja Rumagesan juga dijebloskan ke penjara. Kali ini bahkan tentara Belanda beberapa kali memindahkannya dari satu penjara ke penjara lain di kota-kota yang berbeda. Tercatat dari penjara di Sorong, kemudian dipindah ke Manokwari. Kemudian penjara Hollandia dan juga penjara di Makasar di luar wilayah Papua.
Ketika pada tahun 1942 Jepang memasuki Indonesia dan mengusir tentara Belanda, seketika itu pula tentara Jepang membebaskan Raja Rumagesan. Pada masa ini Raja Rumagesan memilih untuk berkolaborasi dengan tentara Jepang. Raja terpikat dengan program Jepang yang seolah akan memimpin segala bentuk perlawanan terhadap tentara sekutu yang mereka anggap musuh bagi orang-orang Asia. Tentu saja Raja Rumagesan tidaklah sendiri, bahkan Bung Karno sendiri juga terpikat dengan tentara Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Kekalahan Jepang dari sekutu yang kemudian berlanjut dengan kembalinya tentara Belanda ke Papua membuat konflik kembali terjadi. Raja Rumagesan tidak setuju dengan kembalinya Belanda. Sepertinya momentum ini telah membangkitkan rasa nasionalisme ke-Indonesiaan terhadap Raja Machmud Singgerei Rumagesan. Hal ini bisa dipahami karena pada masa pendudukan Belanda kedua, Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1945. Kemerdekaan Indonesia ini memicu semangat nasionalisme Rumagesan untuk melakukan perlawanan dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1946 raja Rumagesan melakukan penurunan bendera Belanda. Bahkan kemudian berencana melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mengulang apa yang pernah dilakukannya pada tahun 1934. Kali ini bahkan Raja mampu mengumpulkan 40 pucuk senapan untuk melawan Belanda. Sayangnya, Belanda kembali mengetahui rencana ini. Akhirnya Rumagesan kembali ditangkap tentara Belanda saat hendak pergi keluar untuk menunaikan shalat subuh di Masjid.
ADVERTISEMENT
Penjara di Sorong menjadi tempat bagi Raja Rumagesan.Tetapi tidak lama kemudian, Belanda memindahkan Raja Rumagesan ke penjara di Manokwari. Alasan pemindahannya karena Raja mempunyai pengaruh yang kuat terhadap para narapidana lainnya di Sorong dan Belanda menganggap ini satu hal yang tidak baik.
Saat Raja Machmud Rumagesan berada di dalam penjara Manokwari, dia tetap memberikan pengaruh nasionalisme Indonesia pada lingkungan penjara. Bahkan sipir penjara yang bekerja untuk tentara Belanda yang merupakan orang lokal akhirnya memutuskan berhenti sebagai sipir. Pemuda-pemuda ini tercatat bernama Hawai, Kawab dan Nihkawi kemudian merencanakan pembakaran penjara Manokwari. Tapi usaha tersebut bisa digagalkan Belanda.
Dari peristiwa ini Belanda merasa bahwa Raja Machmud Rumagesan harus kembali dipindahkan ke penjara lainnya. Kali ini mereka memindahkan raja ke penjara di Hollandia atau sekarang Jayapura. Harapan Belanda dengan pemindahan ini adalah untuk menghilangkan pengaruh raja terhadap para tahanan lainnya. Tetapi di penjara Hollandia ini, Raja Rumagesan malah diangkat oleh para tahanan lainnya sebagai ketua para tahanan.
ADVERTISEMENT
Jika kamu telah keluar dari tempat ini kelak, sampaikan kepada teman seperjuangan yang cinta akan kemerdekaan agar tetap waspada. Lawan terus Belanda, walaupun engkau akan musnah karenanya. Berjuang terus sampai kita merdeka bersama-sama dengan Indonesia”. Demikian pesannya kepada para narapidana lainnya.
Raja tidak pernah jera membuat propaganda akan pentingnya kemerdekaan dan bergabung dengan saudara-saudara mereka di luar Papua yang juga berjuang untuk merdeka. Semangat perlawanan ini dicatat oleh Kontrolir Onderafdeeling Fakak B.W. van Milligen. Dia menuliskan dalam memori serah terima jabatannya sebagai berikut: Raja dari Sekar (Raja MAchmud Singgirei Rumagesan) merupakan orang yang sangat anti Belanda. Dia tidak pernah bersedia melakukan apa pun untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Belanda pernah juga mengisolasi Raja Rumagesan di dalam penjara khusus. Tidak seorang pun mendapat ijin untuk berhubungan dengan Raja Rumagesan. Hukuman tambahan ini dijalaninya selama 6 bulan. Bahkan kemudian pengadilan sempat menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun kemudian hukuman mati ini diubah menjadi penjara seumur hidup akibat desakan rakyat dan juga perlawanan dari pengacaranya. Kemudian pemerintah Belanda memutuskan untuk kembali memindahkan Raja keluar dari Papua yaitu ke penjara di Makasar pada tanggal 5 Desember 1949.
ADVERTISEMENT
Di Makasar, Raja Rumagesan tidak mendekam lama. Hal ini disebabkan pada akhir tahun 1949, sedang terjadi perundingan antara Indonesia dengan Belanda di Den Haag yang dikenal dengan konferensi Meja Bundar. Pada perundingan ini dicapai kesepakatan mengenai berakhirnya pendudukan Belanda di seluruh Indonesia kecuali di Papua. Dan karena penjara Raja Rumagesan saat berlangsung perundingan ini ada di wilayah Makasar, Sulawesi Selatan maka raja pun bebas.
Masa perjuangan integrasi Papua
Hasil perundingan KMB mesih menyisakan pekerjaan rumah bagi Indonesia karena wilayah Papua masih coba dipertahankan oleh Belanda. Mereka berjanji akan membicarakannya satu tahun kemudian yang akhirnya hal itu tidak pernah terjadi.
Segera setelah Raja Rumagesan keluar dari penjara, dia menemui Bung Karno untuk memberikan dukungannya bagi kemerdekaan Indonesia dan akan ikut memperjuangkan Papua untuk lepas dari penjajahan Belanda sebagaimana wilayah Indonesia lainnya. Tekad ini kemudian menghantarkan Raja Rumagesan untuk mendirikan Gerakan Tjendrawasih Revolusioner Irian Barat atau disingkat GTRIB. Organisasi ini dipimpin oleh ketua umum Machmud Singgirei Rumagesan, A.J Dimara sebagai ketua 1, Andi Baso sebagai ketua 2 dan A. Rambitan sebagai sekretaris.
ADVERTISEMENT
GTRIB menyerukan pemerintah Indonesia untuk membentuk pemerintahan untuk Papua dalam bingkai Negara Indonesia. Usulan ini mereka anggap sangat penting untuk menyaingi pemerintahan Belanda yang masih bercokol di Papua. Bahkan syarat yang dibuat oleh GTRIB agar yang menjadi gubernur Papua Barat dengan jiwa nasionalisme Indonesia adalah putra asli papua masih dipegang oleh pemerintah Indonesia hingga sekarang ini.
Dari jejak perjuangan Raja Machmud Singgirei Rumagesan sejak era Kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan pendudukan Belanda kedua setelah tahun 1945, jelas semangat patriotisme Raja Rumagesan tidak pernah padam hingga dia menutup mata selamanya. Tetapi keinginan beliau untuk kembali melihat tanah Papua Barat bebas dari belenggu penjajahan Belanda berhasil terwujud. Dia kembali ke tanah Papua barat 15 Mei 1964 ke kampung halamannya walau untuk waktu yang tidak terlalu lama. Dua bulan kemudian dia menghembuskan nafas terakhir, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1964.
ADVERTISEMENT
Berbagai perlawanan dan taktik serta jasanya untuk memerdekakan Papua barat dan bergabung dengan Indonesia seharusnya mendapat ganjaran yang setimpal dari pemerintah Indonesia. Sudah saatnya pemerintah mengangkat Raja Machmud Singgirei Rumagesan menjadi pahlawan nasional asal Papua.
(tulisan di atas didasarkan pada buku biograpi Machmud Singgirei Rumagesan, Pejuang Integrasi Papua karya Rosmaida Sinaga dan Abdul Syukur)