Hatta Tidak Menolak Papua

Rudi K Dahlan
Pekerja porfesional Mantan aktivis kelompok studi mahasiswa UI 90-an dan Himpunan Mahasiswa Islam. Ketertarikan pada masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
Konten dari Pengguna
1 Desember 2020 7:50 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi K Dahlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa kalangan terutama aktivis dan kelompok pro-kemerdekaan Papua, percaya Moh. Hatta sesungguhnya mendukung kemerdekaan Papua serta tidak menjadi bagian dari Indonesia. Pandangan ini ditulis di dalam Historia.id tanggal 17 Mei 2019, Ketika Hatta Menolak Papua.
ADVERTISEMENT
Bung Hatta menolak Papua sebagai bagian Indonesia. Selain berbeda etnis, dia mengkhawatirkan Indonesia akan dicap negara imperialis”. Demikian sebuah pembuka dalam tulisan tersebut.
Mohammad Hatta (foto public domain)
Menyimpulkan penolakan Hatta memasukkan Papua dalam wilayah Indonesia adalah kesimpulan yang terlalu simplistik. Apalagi persoalan ras sebenarnya persoalan yang dibahas secara tidak mendalam. Bahkan salah tangkap Hatta atas pernyataan M. Yamin mengenai isu ras ini dalam konteks ke- Indonesiaan. Saat itu Hatta terlibat polemik tentang Papua dengan Moh. Yamin dan Bung Karno. Hatta menyangkal pernyataan M. Yamin yang sepertinya menganggap Papua adalah sebangsa dengan bangsa Indonesia.
Pertanyaannya, benarkah M. Yamin menyatakan demikian? Benarkah pandangan Hatta ini genuine hanya karena adanya perbedaan ras? Adakah hal lain yang melatarinya? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Bila kita baca dengan seksama argumentasi yang diungkapkan oleh Hatta dalam sidang BPUPKI sebenarnya bukanlah menolak sama sekali, tetapi belum mau menerimanya saat itu. Hal ini bisa tergambar jelas dalam banyak bagian pendapat Hatta yang memungkinkan bahwa Papua bisa menjadi bagian wilayah Indonesia.
Artikel ini akan membahas soal-soal yang diangkat oleh Hatta mengenai Papua, terutama mengenai isu perbedaan ras dan juga hal yang lebih strategis dan substansial yang melatari “penolakan” tersebut. Ada juga tulisan lainnya secara terpisah mengenai perjuangan Ketika Hatta Memperjuangkan Kedaulatan Indonesia atas Papua. Dalam tulisan ini Hatta memperjuangkan Papua dengan menggugat negara Amerika dan barat yang pada saat itu cenderung memihak Belanda dan kurang mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua.
ADVERTISEMENT
Dalam dua artikel terpisah ini, selain referensi notulensi sidang BPUPKI, juga bersumber dari tulisan Hatta sendiri yang pernah dimuat dalam jurnal Foreign Affairs Vol.36, yang dimuat pada bulan April 1958.
Salah Menanggapi
Seperti sudah disinggung di atas, Hatta salah dalam menangkap pernyataan M Yamin terkait dengan Ras. Memang Hatta sendiri mengatakan,
Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,”
Dalam konteks ini Hatta sedang menanggapi Moh. Yamin hari sebelumnya, yang mendefinisikan siapa saja yang bisa menjadi bagian Indonesia. Hatta salah menangkap apa yang dikatakan Yamin sehari sebelumnya tanggal 10 Juli 1945 itu.
ADVERTISEMENT
Kata Hatta, “Papua, seperti dikatakan kemarin oleh Mr. Muhd Yamin, menurut penyelidikan akhir tentang ethnologie adalah sebangsa dengan bangsa Indonesia.
Sementara itu Yamin berpendapat tidak demikian. Sebaliknya Yamin berpendapat, bahwa sejak perkataan “Indonesia” itu ada, dia sudah melingkupi wilayah Malaya dan Polinesia.
Perkataan Indonesia dibuat oleh orang yang mempunyai paham yang mengatakan bahwa Indonesia melingkupi Malaya dan Polinesia. Jadi dengan sendirinya pada waktu perkataan Indonesia lahir, dimaksudkan bahwa tanah Papua masuk kedalam daerah Indonesia”. Demikian lengkapnya pernyataan M. Yamin.
Jadi Yamin justru menegaskan bahwa bangsa Indonesia itu punya keberagaman etnis. Dan ras melanesia ada dalam rentang wilayah dari ras melayu hingga polinesia yang lebih jauh.
Bila dikaji, Hatta sebenarnya ingin mengatakan agar dalam mendefinisikan wilayah Indonesia pakailah kondisi yang pasti-pasti saja, yang aman diakui penguasa Jepang dan bukan dengan argumentasi yang mengundang perdebatan apabila dibawa ke masalah etnis. Hal ini jelas dikatakan Hatta dalam argumentasi lanjutannya
ADVERTISEMENT
Mungkin kalau kita mencari persatuan asal, kita tidak melihat Melanesia, tetapi Polinesia, yang lebih jauh letaknya, di tengah-tengah kepulauan Pasifik. Maka saya katakan disini, bahwa baiklah kita mengambil pendirian yang doelmatigheid saja dahulu, yang tepat dengan politik internasional dan tepat juga dengan pengakuan Pemerintah Dai Nippon, dan bahwa yang akan dimerdekakan ialah apa yang disebut To Indo, yaitu Indonesia yang dahulu dijajah oleh Pemerintah Belanda
Sehingga kini jelas bahwa posisi Hatta menempatkan ras, bukanlah sesuatu yang utama dalam mendefinisikan wilayah Indonesia. Hatta lebih bersifat pragmatis dan menginginkan yang lebih pasti, yaitu bekas wilayah yang dahulu dijajah oleh Belanda. Mengapa demikian? Paparan berikut akan lebih menjelaskan.
Kondisi Objektif
Sebelum memulai paparan ini, perlu diingatkan kembali bahwa pada tahun 1949, kenyataannya Hatta-lah yang memimpin delegasi Indonesia di dalam KMB yang memperjuangkan agar Papua masuk dalam wilayah Indonesia. Untuk itulah pendapat Hatta harus dilihat sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
pertama, kita perlu menilai dari situasi dan kondisi politik “negara Indonesia” saat dilangsungkannya sidang BPUPKI antara bulan Mei hingga Juli 1945. Tanda petik dalam kata “negara Indonesia” ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia belumlah resmi sebagai negara merdeka. Saat itu para pendiri negara masih menggantungkan kemerdekaan pada janji Jepang yang menguasai Indonesia. Jadi masa sidang BPUPKI adalah momentum penyusunan dasar-dasar calon sebuah negara merdeka dan pengakuannya dari penguasa Jepang bukan pengakuan dari Belanda.
Sementara posisi Papua bersama dengan Halmahera, Morotai dan Tarakan pada masa yang sama masih dikuasai oleh Belanda beserta sekutu (Inggris). Jadi secara hukum perang, ini adalah wilayah-wilayah yang berada pada teritori kontrol kekuasaan yang berbeda. Sehingga menyusun wilayah sebuah negara yang baru merdeka akan sangat tergantung pada siapa yang menguasai dan mengontrolnya. Hal ini akan menjadi faktor kesulitan sendiri untuk memaksakan wilayah Papua termasuk tiga wilayah lainnya (Morotai, Halamahera dan Tarakan) masuk ke dalam wilayah negara Indonesia bila di luar kuasa pemberi kemerdekaan tersebut, yaitu Jepang.
ADVERTISEMENT
Hatta sangat memahamai syarat ini. Dia paham karena proses kemerdekaan sebuah negara memerlukan sekali pengakuan dunia internasional dengan ditandai tidak adanya konflik politik teritori dari wilayah negara yang baru merdeka. Sementara Papua masih berada di luar jangkauan yuridiksi "hukum" perang pada masa itu.
Para founding fathers kita sangat tergantung pada janji kemerdekaan yang akan diberikan Jepang di kemudian hari. Untuk menunjukkan keseriusan tersebut, maka dibentuklah BPUPKI. Badan ini yang akan merumuskan cikal-bakal bentuk dan batas-batas wilayah negara Indonesia.
Saat itu Moh. Yamin mengkategorikan Papua bersama-sama dengan Morotai, Halmahera dan Tarakan sebagai wilayah perang. Karena keempat wilayah itu masih dikuasai oleh Sekutu/Belanda dan sedang diperangi oleh Jepang. Sementara daerah di luar itu, yaitu Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Nusatenggara dan Bali, Maluku, disebut sebagai daerah Occupationis Terra Belli atau wilayah yang dikuasai Jepang. Karenanya wilayah-wilayah ini disebutkan sebagai kategori pertama (utama) bakal wilayah yang akan menjadi negara Indonesia. Sementara empat wilayah lain daerah perang tersebut yang dikuasai Belanda dimasukkan M. Yamin sebagai kategori ke dua dalam prioritas. Jadi pada dasarnya tiga daerah lain di luar Papua, juga masih belum dapat dipastikan akan menjadi bagian negara Indonesia karena status penguasa teritorinya ada pada Belanda pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Kategori pertama sebagai bakal wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang berada di bawah kekuasaan Jepang saat itu. Wilayah tersebut yakni Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusatenggara dan Bali. Itulah sebabnya di dalam sidang tersebut Hatta mengatakan:
"waktu itu saya katakan, bahwa saya tidak minta lebih dari pada daerah Indonesia yang dahulu dijajah oleh Belanda. Kalau itu seluruhnya diberikan kembali kepada kita oleh pemerintah Dai Nippon, saya sudah senang."
Bila melihat pendapat ini, maka terlihat Hatta memahami aturan main hukum internasional yang ada antara penguasa Jepang dengan Belanda terhadap calon sebuah negara merdeka, Indonesia. Maka Hatta berkehendak tidak memasukan wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda sebagai bagian negara Indonesia, karena memelukan pengakuan dunia internasional. Maka Hatta kembali berpendapat,
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu bagi saya, batas negara bukanlah suatu soal yang dapat ditetapkan secara eksak, tetapi hanya soal opportunity, yakni tujuan yang tepat. Tujuan yang tepat itu adalah lingkungan Indonesia yang dahulu dijajah oleh Belanda. Itulah yang tepat, pun berhubungan dengan politik internasional. Itulah suatu kebulatan yang harus diakui lebih dahulu".
Jadi Hatta menekankan strategi membentuk sebuah negara dengan peluang yang lebih besar untuk cepat mendapatkan pengakuan internasional. Bila Papua coba dimasukkan saat itu, diperkirakan akan menjadi masalah dan lemah di mata internasional karena wilayah yang diklaim di luar kekuasaan Jepang.
Demikian pula Hatta juga memandang penting untuk tidak memasukkan Pulau Timor (Timor leste sekarang) karena merupakan wilayah kekuasaan Portugal. Sehingga akan sulit untuk memasukannya dalam wilayah Indonesia sekalipun berada pada wilayah yang satu. Sebagaimana Hatta berpendapat,
ADVERTISEMENT
Sukar juga soal Pulau Timur yang sebagian dikuasai Portugal tidak bisa itu kita putuskan disini, kita tidak mau bertindak begitu. Kita turut status internasional”.
Dari sini kita bisa melihat secara utuh pikiran Hatta. Bahwa dia lebih mementingkan negara Indonesia berdiri atas dasar aturan dan pengakuan internasional. Dan sekali lagi, itu bisa tercapai bila wilayah Indonesia hanya terdiri dari wilayah-wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang sudah berpindah tangan dalam kekuasaan Jepang.
kedua, terkait dengan ungkapan imprealistik bila Indonesia memasukan Papua. Ini bukan merupakan rangkaian jawaban Hatta dalam konteks masalah ras. Tetapi merujuk dari argumen Yamin yang melihat Papua dari strategi geopolitik untuk mempertahankan ancaman dari luar. Dasar alasan ini tidak bisa diterima oleh Hatta. Alasan ini bagi Hatta terlalu mengada-ada. Di sinilah kemudian Hatta menyebut bila diteruskan cara pandang seperti ini, maka akan membawa pada cara pandang imprealistik. Dan bisa membawa kemungkinan perluasan terus-menerus jauh pada wilayah yang tidak direncanakan.
ADVERTISEMENT
"Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang agak mengkhawatirkan, oleh karena dapat menimbulkan kesan keluar, bahwa kita seolah-olah mulai dengan tuntutan yang agak imperialistik. Kemarin saya dengar teori bahwa Malaka dan Papua diminta supaya masuk tanah-air Indonesia berdasarkan strategi. Pembacaan saya tentang politik internasional, saya mengerti itu tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada konstelasi politik dalam lingkungan Internasional……. Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi Salomon masih pula kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut pasifik
Dari pendapat Hatta ini kita bisa menangkap, Hatta percaya bahwa pertahanan geopolitik lebih tergantung dari konstalasi politik internasional. Sehinga dia menentang bila wilayah Indonesia dibuat atas dasar strategi geopolitik. Hatta menentang pula keinginan Yamin untuk memasukan wilayah Malaya, dia mengatakan,
ADVERTISEMENT
"Bagi saya, saya lebih suka melihat Malaka menjadi negara yang merdeka sendiri dalam lingkungan Asia Timur Raya. Akan tetapi sekiranya rakyat Malaka sendiri ingin bersatu dengan kita, saya tidak melarang".
Sehingga tampak sekali Hatta tidak menjadikan faktor strategi geoplitik dalam pertimbangan jangka panjangnya dalam kasus Malaka ini. Kenapa Hatta berpendapat seperti ini? Tampaknya Hatta sadar bahwa rakyat Malaka bukan wilayah pendudukan Belanda, tetapi Inggris. Sehingga baginya tetap akan menyulitkan dalam aturan pengakuan dunia internasional. Namun Hatta mau menerimanya bila itu datang dari keinginan rakyat Malaka sendiri. Atau diserahkan oleh Jepang bila mereka memenangi peperangan dengan sekutu.
Dari sini kita bisa memahami, Hatta lebih rasional dalam membuka peluang kemerdekaan Indonesia untuk bisa diakui secara internasional. Pertimbangan tidak memasukan Papua, Malaka dan juga Timor leste bisa menggambarkan dengan jelas hal tersebut. Dan sekali lagi jelas ini bukan karena pertimbangan ras tetapi kedudukannya dalam politik internasional.
ADVERTISEMENT
Hatta Tidak Menolak Papua
Lantas apakah dengan demikian Hatta benar-benar tidak menginginkan Papua menjadi bagian wilayah Indonesia? Tidak demikian. Hatta tetap membuka ruang itu. Dia melihat sebagai sebuah kemungkinan yang bisa saja terjadi dan tidak perlu ditolak terlepas dari perbedaan etnis. Bila Jepang mampu mengalahkan Belanda di Papua, dan kemudian Jepang mau menyerahkan Papua ke Indonesia, maka Hatta bersedia menerimanya.
"Saya kira prajurit Nippon, juga banyak mengurbankan darahnya untuk mengusir imprealisme barat dari Papua, Solomon, dan daerah-daerah lain. Jangan kita memikirkan diri sendiri saja, berikan Nippon hak untuk menentukan bagaimana status daerah tersebut. ...... akan tetapi kalau pemerintah Nippon memberikan Papua yang dulu di bawah pemerintah Belanda kepada Indonesia saya tidak keberatan."
ADVERTISEMENT
Jelas di sini, bagi Hatta perbedaan ras bukan hal yang diutamakan Hatta dalam membentuk negara. Baginya tidak ada masalah untuk menerima Papua sepanjang punya legitimasi. Hatta bisa menerima Papua atas dasar pertimbangan politik bila Jepang memenangkan perang dan menyerahkan Papua, maka hal itu tidak menjadi masalah.
Jadi Hatta seolah terlihat ambigu. Tentu saja bila yang dijadikan sandaran karena masalah ras, maka akan ambigu. Oleh karenanya, kita tidak bisa melihat penolakan Hatta terhadap Papua atas dasar perbedaan ras. Seperti sudah diterangkan sebelumnya, isu ras sendiri dimunculkan oleh Hatta karena ada salah tangkap terhadap pendapat Moh. Yamin. Hatta mengira, Yamin mengatakan bahwa orang-orang Papua adalah sama ras dengan masyarakat daerah Indonesia lainnya. Tetapi justru Yamin menekankan bahwa Indonesia terdiri dari ras melayu hingga polinesia yang lebih jauh lagi letak wilayahnya dari ras melanesia.
ADVERTISEMENT
Penolakan Hatta terhadap Papua adalah lebih pada sisi pragmatisme politik, berupa kebutuhan pengakuan internasional seperti yang sudah ditekankannya berkali-kali. Hatta lebih mendasarkan argumentasinya pada aturan main hukum perang dan pengakuan internasional serta kemungkinan kesempatan kemerdekaan berikut wilayah yang diberikan oleh Jepang.
Demikianlah membaca pikiran Hatta dalam perdebatannya mengenai Papua dalam sidang BPUPKI.