Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
PP 35/2021: PESANGON PHK LEBIH RENDAH DARI UU 11/2020 CIPTA KERJA
21 Mei 2021 11:20 WIB
Tulisan dari Rudi K Dahlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yang dikhawatirkan khalayak terjadi. PP 35/2021 sebagai aturan pelaksana UU No. 11/2020 lebih tidak memihak pada pekerja, bahkan lebih buruk dari landasan dalam UU itu sendiri. Rupa-rupanya pemerintah benar-benar menutup mata dan telinga atas keberatan terhadap UU Cipta Kerja (UU No. 11/2020) atau lebih dikenal omnibus law dan tercermin dalam PP yang mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Pekerja tidak banyak yang mengetahui terutama sekali terkait pesangon bagi pegawai yang terkena PHK berdasarkan PP tersebut. PP ini tidak banyak disosialisasikan dan dibicarakan seperti halnya dengan UU cipta kerja itu sendiri. Salah satu tuntutan buruh terkait UU Cipta Kerja ini karena adanya perubahan yang merugikan para pekerja atas pesangon yang akan mereka terima bila terkena PHK bila dibandingkan dengan UU No.13/2003 dan PP yang mengikutinya.

Dalam UU No.13/2003, pesangon PHK besarannya adalah paling sedikit satu kali gaji dikali jumlah tahun masa kerja kecuali bila PHK terkait dengan tindakan kriminal atau pelanggaran peraturan. Atau menjadi dua kali bila atas inisiatif perusahaan dan tidak disebabkan karena tindak kriminal atau pelanggaran peraturan. Jadi secara normalnya pekerja akan mendapatkan paling sedikit perkalian satu atau dua kali dari hitungan tersebut dan tidak lebih kecil dari itu.
ADVERTISEMENT
Sementara revisinya di dalam UU No. 11/2020, pesangon mempunyai dasar hitung satu kali gaji dikali jumlah tahun masa kerja apabila namun tergantung sebab PHK terhadap kondisi perusahaan. Walaupun dasar hitung adalah sama satu kali gaji dikali jumlah tahun masa kerja, namun karena frasa kata paling sedikit telah dihilangkan, maka pemerintah merasa berhak untuk membuatnya menjadi lebih rendah. Dalam hal ini PPNo.35/2021 mencerminkan hal tersebut. Seorang pekerja bisa mendapat setengahnya saja dari ketentuan dasar uang pesangon bila alasan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi karena kerugian. Tentu ini merugikan pekerja dan besarannya menyimpang dari undang-undangkarena artinya pekerja mendapatkan nilai kompensasi yang lebih rendah dibandingkan dasar hitung di dalam UU itu sendiri.
Seorang rekan saya mengadukan pada saya, ketika dia mengatakan bahwa dia akan di-PHK dan diberitahu bahwa jumlah pesangon yang didapat diluar dugaan rekan saya.. Setelah dijelaskan oleh bagian HRD bahwa ketentuan PHK diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah dan alasan PHK yang diajukan perusahaan karena alasan efisiensi dengan faktor adanya kerugian.
ADVERTISEMENT
Rekan saya pun terkejut. Dia membandingkan peristiwa yang terjadi pada perusahaan yang sama tempat dia bekerja yang menimpa rekan kerja lainnya dua tahun lalu, 2019. Saat itu dengan alasan yang sama perusahaan mem-PHK karyawannya dan memberikan uang pesangon dengan fator pengali dua kali gaji dikali masa kerja. Sehingga rekan tersebut membandingkan bahwa besaran pesangon yang dia dapat sekarang hanya seperempat dari yang didapat temannya dua tahun lalu. Dia pun merasa telah dirugikan tetapi tidak tahu harus mengadu dan menyalahkan kepada siapa.
Di dalam UU No.13/2003 PHK dengan alasan efisiensi tidak mengaitkan faktor-faktor penyebab rugi atau tidaknya perusahaan dalam membayar pesangon kepada pekerja yang di PHK. Kini PP No. 35/2021 untuk menjabarkan UU No.11.2020, tiba-tiba memunculkan PHK dengan alasan efisiensi dengan faktor penyebab rugi atau tidak ruginya perusahaan.
ADVERTISEMENT
Bila terjadi PHK dengan alasan efisiensi karena disebabkan kerugian maka dasar hitung uang pesangon dikalikan kembali dengan nilai 0,5 atau setengahnya. Jadi alih-alih pemerintah memihak kepada pekerja, yang ada malah memperburuk nasib pekerja yang di PHK dengan nilai pesangon 4 kali lebih kecil dibandingkan UU No.13/2003.
Bila perusahaan mem-PHK dengan diikuti tutupnya perusahaan dengan alasan force majeur maka dikalikan 0,75 kali gaji dikali masa kerja.
Sementara pesangon diberikan 1,75 kali gaji dikali masa kerja bila pegawai pensiun. Kemudian 2 kali bila pekerja meninggal dunia atau sakit berkepanjangan hingga 12 bulan. Tentu saja status pekerja untuk dua kondisi terakhir ini masuk dalam kategori bukan angakatan kerja atau tenaga kerja produktif lagi.
ADVERTISEMENT
Dalam UU No.11/2020 dan PP No.35/2021 yang baru ini juga tidak ada uang pengganti perumahan pengobatan dan perawatan yang besarnya 15% dari total uang pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja.
Jadi benar kata pepatah barat, bahwa the devil is in the detail. Dalam konteks UU cipta kerja ini, PP yang mengaturnya jauh lebih tidak mengenakan bagi para pekerja. Dan PP ini minim sosialisasi akibatnya luput dari tanggapan para pekerja.
Bercermin dari banyak kasus PHK, umumnya terjadi karena alasan kerugian tetapi besaran kerugian perusahaan tidak pernah diatur seberapa besar agar boleh melakukan PHK. Begitu juga perhitungan pesangon dengan alasan efisiensi karena kerugian tidak diatur berapa besarnya kerugian tersebut sehingga uang pesangon boleh dihitung setengah dari ketentuan dalam Undang-undang. Pada akhirnya kententuan yang tidak jelas dan cenderung menyimpang ini bisa menyebabkan pengusaha lebih mudah mem-PHK pekerjanya.
ADVERTISEMENT
PP 35/2021 bertentangan dengan UU No.11/2020
Pekerja harus bersatu kembali mengkritisi dan menggugat isi PP No.35/2021 karena jelas adanya pertentangan dengan UU No.11/2020 terkait yang disebut apa yang disebut ketentuan besaran pesangon. Walaupun dalam UU No.11/2020 frasa paling sedikit telah dihapus dari pasal 156 UU No. 13 / 2003, tetapi tidak serta merta kemudian bisa dibuat lebih rendah.
Dalam UU No. 11/2020 pasal 156 disebutkan bahwa uang pesangon dibuat dengan ketentuan sama dengan atau mengikuti jumlah masa kerja dari pekerja hingga maksimal 9 tahun. Apabila kemudian muncul peraturan yang memasukkan faktor pengali yang pada akhirnya tidak lagi sama dengan ketentuan tersebut apalagi lebih rendah dan merugikan pekerja, maka peraturan ini tidak lagi sesuai dengan ketentuan UU. Ketentuan dasar untuk disebut sebagai uang pesangon telah berkurang dari ketentuan di dalam pasal 156. Ketentuan uang pesangon dalam undang-undang ini seharusnya tidak boleh diubah oleh PP dengan alasan apapun.
ADVERTISEMENT
Definisi uang pesangon dalam UU No.11/2020 dengan ketentuan yang terhubung dengan jumlah masa kerja seharusnya mejadi ketentuan dasar yang mengikat atau setidaknya adalah syarat minimal yang harus dipenuhi oleh peraturan pemerintah yang dikeluarkan sebagai pelaksanaan UU tersebut. Bila tidak, maka ketentuan-ketentan dasar yang tersangkut di dalam undang-undang tidak akan pernah mempunyai kepastian alias bisa diubah-ubah seenaknya dengan memainkan frasa kata sesuai kehendak pemerintah ketika membuat peraturan pemerintah.
Para pekerja harus memperjuangkan dan menggugat isi peraturan pemerintah yang bertentangan dengan UU dan sekaligus telah merugikan para pekerja. Preseden buruk ini tidak boleh dibiarkan karena akan menimbulkan ketidakadilan, menimbulkan penyelahgunaan undang-undang dengan niat jahat yang disembunyikan dalam permainan narasi. Ironi bila UU No.11/2020 itu sendiri sudah menimbulkan keresahan tapi masih ditambah keresahan lainnya melalui peraturan pelaksanaannya. Penderitaan pekerja lengkap dicabik-cabik.
ADVERTISEMENT