Kepemimpinan, Ketahanan dan Kesehatan Mental

Akbar Mia
ASN Kemenpora yang juga seorang adventurir. Menyukai kegiatan luar ruang, hiking, beladiri dan olahraga, terutama Aikido, jogging dan memanah. Alumnus program pascasarjana UI konsentrasi Kajian Stratejik Pengembangan Kepemimpinan
Konten dari Pengguna
14 Juni 2022 14:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Mia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Otak Sebagai sumber Ketahanan dan Kesehatan Mental (Gambar: Dok pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otak Sebagai sumber Ketahanan dan Kesehatan Mental (Gambar: Dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Seri The Art of Leadership
Rabu, 7 Juli 2021, sore hari, khalayak Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan pasangan figur publik, Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani karena penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu. Nia Ramadhani mengaku mengonsumsi barang haram tersebut karena sedih dan terpuruk saat mengingat mendiang ayahnya yang telah meninggal dunia, sedangkan Ardi Bakrie mengaku menggunakan sabu-sabu agar dapat tetap tenang menghadapi berbagai masalah yang menghadangnya.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin pernah mendengar kabar bahwa Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Ternyata Jepang bukanlah negara dengan tingkat kasus bunuh diri tertinggi di dunia. Dengan angka kematian akibat bunuh diri di Jepang mencapai 18,5 per 100.000 orang (data WHO tahun 2020), Jepang “hanya” menempati peringkat ke-5. Mengungguli Jepang, ada Korea Selatan dengan indeks angka bunuh diri mencapai hampir 26, Guyana (29,2), Rusia (30) dan Lithuania dengan angka mencapai 31,9 per 100.000 orang, hingga negara ini pernah dijuluki sebagai negara paling depresi di dunia.
Pandemi yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 telah semakin menambah beban penduduk dunia. Tekanan dari perekonomian, berpadu dengan tekanan dari kenyataan bahwa gerak mereka sangat dibatasi, menjadikan tingkat stress semakin jauh melambung. Beruntung sejak sekitar awal 2022, sudah banyak terjadi pelonggaran karena pandemi yang dianggap sudah mulai mereda.
ADVERTISEMENT
Saat-saat dimana tekanan sangat tinggi, dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, meskipun tanpa situasi pandemi. Jauh sebelum pandemi melanda, tiap-tiap mungkin pernah merasakan situasi menghadapi tekanan yang hebat, harga-harga bahan pokok yang meroket, hutang yang jatuh tempo, pemutusan hubungan kerja, target pekerjaan yang menggunung, tugas-tugas sekolah/kuliah yang menumpuk, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang pemimpin, ingat bahwa pada hakikatnya setiap kita adalah pemimpin, selaiknya kita semua memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai tekanan. Hidup akan selalu dipenuhi dengan ujian, karenanya tekanan dalam hidup adalah suatu keniscayaan. Sebagai pemimpin, kita semua sepatutnya memiliki kemampuan dan ketahanan untuk menghadapi semua ujian dan tekanan tersebut.
Pemimpin Dengan Ketahanan (Resilient Leader), Mengarungi Lautan Kehidupan Penuh Ketidakpastian
Satu-satunya hal yang pasti dalam kehidupan adalah ketidakpastian itu sendiri. Karena hidup terdiri atas banyak sekali variabel, menghitung seluruh kemungkinan yang dapat terjadi menjadi hal yang hampir mustahil. Seorang pemimpin hanya dapat mengalkulasi berbagai kemungkinan, berdasarkan data-data yang dapat dikumpulkan dan mengambil keputusan terbaik berdasarkan kondisi saat itu. Karenanya diperlukan mental kepemimpinan yang dengan ketahanan untuk dapat menghadapi berbagai ketidakpastian, sekaligus membawa para pengikut atau anggota-anggotanya.
ADVERTISEMENT
Ketahanan (Resilience) sendiri didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari kesulitan atau keterpurukan. Hal ini yang membuat kita mampu untuk kembali dari keadaan terburuk, baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Seorang pemimpin dengan ketahanan dapat dilihat dari ketekunannya melalui masa-masa sulit dan mempertahankan energi semangat dalam menghadapi tekanan. Apabila mengalami kemunduran, mereka mampu untuk kembali melejit menuju posisi semula. Pemimpin dengan ketahanan memiliki kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan yang berat tanpa mengalami perubahan perilaku yang menjadi buruk ataupun mencelakai orang lain.
Ciri-ciri yang biasa ditunjukkan oleh pemimpin yang dengan ketahanan yaitu:
 Mempertahankan keseimbangan emosi dan penguasaan diri dalam menghadapi tekanan
 Apabila dalam kondisi emosi, tidak menganggu yang lainnya dengan menyebarkan ketegangan dan rasa was-was
ADVERTISEMENT
 Melatih kesehatan fisik dan psikologinya
 Tetap menjaga pola komunikasi yang tenang dan percaya diri meskipun sedang menghadapi masa sulit
 Menyambungkan visi dan tujuan
 Mengelola diri sendiri dalam menghadapi ketidakpastian
 Membangun kesadaran dan antisipasi
 Mengatasi tantangan dengan keuletan
 Menggunakan pola pikir pengembangan
Menurut para ahli, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan agar menjadi pemimpin dengan ketahanan, diantaranya:
1. Mengembangkan ketahanan mental dengan selalu mengembangkan sikap percaya diri dan optimisme.
2. Menjaga daya tahan tubuh, karena untuk menghadapi tantangan yang berat, perlu adanya kerja ekstra yang tentunya akan membuat energi lebih cepat terkuras.
3. Menjaga keseimbangan emosi dengan mengolah perasaan negative.
4. Berpegang teguh pada tujuan yang jelas dengan menyandingkannya pada nilai dan prinsip yang kuat
ADVERTISEMENT
5. Menggunakan pola komunikasi efektif untuk menyampaikan informasi yang penting agar setiap anggota ikut merasakan perjalanan yang sedang diarungi.
6. Menanamkan pola hubungan yang positif berlandaskan saling percaya.
7. Selalu belajar dan bertumbuh secara terus menerus.
8. Selalu penuh perhatian pada segala sesuatunya, yang akan menumbuhkan kesadaran diri, dan membuka perspektif baru.
Menghadapi Tekanan dengan Mental yang Kuat
Salah satu aspek penting ketahanan adalah menghadapi dan mengatasi tekanan. Tekanan dapat muncul dimana saja, baik di dunia kerja, lingkungan sekolah atau pendidikan, kehidupan sehari-hari di rumah maupun bertetangga, dan lain sebagainya.
Kita mungkin mendengar belakangan ini sering disebut istilah kesehatan mental. Generasi milenial sering menggunakan istilah “mental” dalam berbagai kesempatan pergaulan maupun di media sosial mereka. Namun demikian pengamatan sekilas memperlihatkan sepertinya generasi milenial menghadapi permasalahan mental yang cukup berat, banyak diantara mereka yang seakan tidak siap menghadapi dunia dengan segala problematikanya. Data American Psychological Association menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19, terjadi peningkatan gangguan kesehatan mental sebesar 53% terhadap remaja yang tergolong generasi milenial dan Z.
ADVERTISEMENT
Survei WHO (World Health Organization), mengungkapkan bahwa sebanyak 10-20% anak dan remaja di seluruh dunia mengalami gangguan secara psikis. Separuh penyakit kejiwaan ditemukan sejak usia semuda 14 tahun. 5-15% remaja berusia 12-18 tahun memiliki kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh diri, tersebar di negara-negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Di kalangan orang dewasa sendiri (usia diatas 15 tahun), data menunjukkan fakta yang tidak jauh berbeda. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat prevalensi gangguan mental emosional di angkat 11.6% dari populasi orang dewasa. Dengan populasi orang dewasa sebesar 150 juta, berarti penderita gangguan mental emosional mencapai sekitar 1.740.000 orang.
Kenyataan ini tentunya harus mendapat perhatian serius, karena gangguan mental merupakan suatu hal yang serius. Mental illness (mental disorder), disebut juga dengan gangguan mental atau jiwa, adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi diantaranya. Kondisi ini dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama (kronis).
ADVERTISEMENT
Gangguan mental yang tidak diobati, akan dapat menyebabkan berbagai masalah, terkait dengan emosi, perilaku ataupun terhadap fisik. Diantara bentuk komplikasi yang dapat terjadi misalnya, bolos sekolah atau kerja, penyalahgunaan narkoba, ketergantungan minuman keras, ketidakbahagiaan, konflik keluarga, lingkungan tempat tinggal ataupun sekolah/tempat kerja, sulit berhubungan sosial ataupun menarik diri dari pergaulan sosial, melemahnya sistem kekebalan tubuh, penyakit yang menyerang organ dalam tubuh, hingga kecenderungan menyakiti tubuh sendiri atau bahkan timbul keinginan untuk bunuh diri.
Dalam lingkungan organisasi, seseorang dengan kesehatan mental yang terganggu, dapat saja mengganggu ritme kerja organisasi, atau bahkan memengaruhi kesehatan mental anggota-anggota lainnya, sehingga proses pencapaian tujuan organisasi dapat terganggu. Apalagi kalau yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah sang pemimpin organisasi.
ADVERTISEMENT
Seorang pemimpin harus senantiasa menjaga kekuatan mentalnya, agar dapat membawa anggotanya menghadapi permasalahan yang pasti akan datang. Pemimpin yang mengalami gangguan kesehatan mental, akan kehilangan produktifitas, dan bisa mengganggu penilaiannya dalam mengambil keputusan yang tepat. Dalam tingkatan yang ringan, gangguan kesehatan mental dapat mengakibatkan seseorang kehilangan semangatnya dalam bekerja. Bayangkan apabila kondisi terjadi pada sang pemimpin.
Kondisi pandemi yang melanda dunia turut memberi dampak pada kesehatan mental masyarakat dunia, terutama orang-orang muda. Kebiasaan-kebiasaan yang terpaksa berubah secara drastis mengakibatkan munculnya dinamika emosi seperti stres, frustasi dan kegelisahan. Salah satu peran pemimpin adalah menjaga kesehatan mental dirinya, sekaligus kesehatan mental para anggotanya. Dalam definisi WHO, kesehatan mental dinyatakan sebagai kondisi individu yang yang berada dalam keadaan sejahtera, mampu mengenal potensi dirinya, mampu menghadapi tekanan sehari-hari, dan mampu berkontribusi di lingkungan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Berikut diantara hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental kita;
1. Mengatakan hal yang positif pada diri kita, hal ini dapat terus menumbuhkan optimisme.
2. Fokus pada satu hal dalam satu waktu. Pikiran-pikiran yang bercabang kadang dapat mengakibatkan kita menjadi overthinking, karenanya berfokus pada satu hal dapat membantu kita menghindari hal tersebut.
3. Berolahraga. Banyak manfaat yang dapat dipetik dari olahraga, seperti hormon endorphin yang membantu menghilangkan perasaan stres dan meningkatkan perasaan bahagia, hormone glukagon yang diproduksi oleh pankreas yang berguna untuk membantu mengontrol berat badan, selain juga produksi hormon irisin dan lain-lain.
4. Memakan makanan yang enak, lezat, sehat dan bergizi. Makanan yang tepat dapat meningkakan serotonin yang memiliki efek menenangkan dalam hati, selain juga membuat tubuh sehat dan siap menjalan aktifitas sehari-hari.
ADVERTISEMENT
5. Melakukan sesuatu untuk orang lain. Sikap ini baik untuk membangun harga diri, serta memperkaya pengalaman dan wawasan, sekaligus mengurangi potensi munculnya egoisme.
6. Kontrol emosi, dengan belajar memilih dan memilah perkataan yang akan diucapkan, dan tidak mudah tersinggung terhadap orang lain.
7. Istirahat yang cukup. Kurangnya istirahat dapat mengakibatkan stres meningkat, emosi menjadi kurang stabil. Apabila diperlukan, ambilah waktu untuk beristirahat walaupun hanya sejenak, atau meskipun hanya untuk berbaring dan berlatih menarik napas dalam perlahan-lahan selama hitungan tertentu.
Dalam kondisi dunia yang dilanda pandemi, ditengah hiruk pikuk permasalahan kehidupan sehari-hari, kita semua perlu terus menjaga kesehatan mental kita yang pada akhirnya akan membentuk kita semua menjadi sosok-sosok pemimpin dengan ketahanan yang mampu menjaga anggota timnya.
ADVERTISEMENT
Ternyata selain terus meningkatkan keterampilan, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki, serta menguatkan kemampuan kepemimpinan beserta keahlian-keahlian penunjangnya, seorang pemimpin juga perlu terus menjaga kesehatan mentalnya. Kadang kala gangguan terhadap kesehatan mental datang tanpa diduga atau disadari, bagaikan kayu yang perlahan dimakan rayap. Disinilah peran keterampilan dan keahlian seorang pemimpin dalam mendeteksi berbagai gangguan yang mungkin menghadang, baik gangguan dari luar, maupun gangguan dari dalam seperti gangguan kesehatan mental.
Gangguan kesehatan mental kadangkala memang tidak terlalu krusial, namun apabila didiamkan, dapat mengakibatkan gangguan yang serius, yang tidak hanya berdampak pada individu tersebut saja, namun juga dapat memengaruhi individu-individu lainnya tapi juga organisasi itu sendiri.