Kepemimpinan yang Melayani: Melayani dengan Hati, Melebihi Ekspektasi

Akbar Mia
ASN Kemenpora yang juga seorang adventurir. Menyukai kegiatan luar ruang, hiking, beladiri dan olahraga, terutama Aikido, jogging dan memanah. Alumnus program pascasarjana UI konsentrasi Kajian Stratejik Pengembangan Kepemimpinan
Konten dari Pengguna
14 Juni 2022 13:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Mia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peta pikiran Servant Leadership (Kepemimpinan yang Melayani) (Gambar: dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peta pikiran Servant Leadership (Kepemimpinan yang Melayani) (Gambar: dok. pribadi)

Seri The Art of Leadership

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita mungkin pernah mendengar, melihat, atau bahkan merasakan langsung praktik di mana seorang pemimpin dilayani oleh orang para anggotanya. Bentuk pelayanan yang diterima dapat dalam beragam bentuk, mulai dari yang terlihat jelas seperti membukakan pintu, membawakan tas atau berkas, hingga yang samar, seperti menyiapkan tempat khusus bagi mereka yang terlambat datang ke tempat ibadah, atau bahkan menyisihkan tempat presensi bagian teratas bagi para pemimpin tersebut.
ADVERTISEMENT
Praktik seperti itu sebetulnya sah-sah saja. Tidak ada yang salah dari tindakan para anggota organisasi yang bermaksud memuliakan pemimpin mereka. Namun praktik tersebut dapat berubah menjadi kurang sehat, apabila hal tersebut dimaksudkan untuk mengambil hati atau mencari perhatian sang pemimpin, atau sebaliknya, sang pemimpin yang meminta untuk dimuliakan, mendapat kekhususan ataupun keistimewaan.
Dalam teori kepemimpinan, diketahui bahwa model pemimpin yang meminta dilayani dianggap sudah sangat ketinggalan zaman. Kemampuan keterampilan kepemimpinan lebih banyak dinilai dari pengaruh yang dimiliki. Ini karena kepemimpinan secara umum dianggap sebagai suatu keterampilan, bukan posisi formal. Meminta kekhususan atau keistimewaan tidaklah menjadikan pengaruh seseorang semakin kuat, sebaliknya malah menjadi melemah. Ketika sudah tidak memiliki jabatan formal, sangat bisa jadi fasilitas dan keistimewaan yang dimilikinya, juga akan menghilang.
ADVERTISEMENT
Menurut John C. Maxwell, ketika seseorang dapat membuat orang lain atau anggotanya untuk melakukan sesuatu, meskipun sang anggota tidak memiliki kewajiban untuk itu, di saat itulah kualitas kepemimpinannya terlihat. Kualitas kepemimpinan seseorang baru akan teruji ketika pengaruhnya sebagai seorang pemimpin masih dimilikinya, meski ia tidak memiliki jabatan formal atau kuasa atas anggotanya.
Di sisi lain, kajian ilmu kepemimpinan menunjukkan bahwa kualitas keterampilan kepemimpinan seorang pemimpin justru akan semakin menguat ketika ia mempraktikkan keterampilan servant leadership, atau kepemimpinan yang melayani. Praktik kepemimpinan yang melayani ditandai dengan antara lain dengan struktur organisasi yang terdesentralisasi, selain juga adanya interaksi dua arah oleh para individu yang terlibat.
Berbeda dengan kepemimpinan gaya lama di mana dalam banyak praktik sang pemimpin mendapat pelayanan, dalam praktik kepemimpinan yang melayani justru sang pemimpin yang terlebih dahulu memberikan pelayanan. Praktik ini muncul dari naluri dan pemikiran bahwa agar seseorang mendapat pelayanan yang baik, maka ia harus terlebih dahulu melayani. Menempatkan diri pada posisi orang lain, seringkali memberikan pandangan mengenai bagaimana cara melakukan sesuatu, bagaimana perasaan dan pikiran orang lain, bagaimana orang lain memandang kita sendiri, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dalam kepemimpinan yang melayani, muncul pilihan secara sadar membawa seseorang untuk memimpin dengan cara menempatkan kebutuhan karyawan sebagai prioritas, mengenal kehormatan dan pentingnya nilai bagi setiap individu, dan membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama. Agar seseorang mendapatkan pelayanan yang terbaik, tentunya orang yang akan melayani (yaitu pengikut atau anggota) perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai, sehingga anggota atau karyawan juga perlu dipenuhi haknya untuk tumbuh dan berkembang, agar dapat mencapai potensinya secara optimal.
Penelitian menunjukkan praktik kepemimpinan yang melayani memiliki beberapa hal yang menjadi karakter utamanya, yaitu:
1. Menghargai orang. Pemimpin yang melayani melihat orang atau anggotanya sebagaimana adanya, seorang individu atau sosok manusia, bukan hanya atas apa yang dapat ia berikan bagi organisasi.
ADVERTISEMENT
2. Rendah hati
Kerendahhatian pemimpin yang melayani benar-benar terinternalisasi, bukan hanya sekadar citra belaka. Mereka mendukung orang-orang, tidak lagi hanya menunjukkan diri sendiri.
3. Mendengarkan
Pemimpin yang melayani mau mendengarkan dengan segenap jiwa raga, karena mereka memang benar-benar menyelami perkataan anggotanya. Mereka mau mendengarkan dengan saksama, tanpa menghakimi, dan berkeinginan untuk mengerti sepenuhnya apa yang disampaikan.
4. Menebar rasa percaya
Kepercayaan dalam praktik kepemimpinan yang melayani berjalan dua arah. Pemimpin yang melayani mau memberikan kepercayaan kepada para anggota atau pengikutnya, sebaliknya para pemimpin yang melayani juga dipercaya karena otentisitas dan tanggung jawabnya.
5. Peduli dan memberi
Sesuai dengan namanya, pemimpin yang melayani hadir untuk memberikan pelayanan, bukan menerima pelayanan. Mereka benar-benar memiliki kepedulian terhadap yang mereka layani, dan mereka memberikan yang terbaik dalam pelayanannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada perkembangannya kemudian, para pemimpin yang melayani ini kemudian memberikan pengaruh kepada para pengikut atau anggotanya, untuk melayani dengan sepenuh hati. Baik pemimpin maupun pengikut, memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya, bahkan melebihi ekspektasi. Kondisi ini biasa dikenal dengan istilah pelayanan prima.
Pelayanan prima adalah bentuk pelayanan yang diberikan dalam bentuk yang tidak hanya terbaik, tetapi juga melebihi ekspektasi pelanggan, apabila memungkinkan. Pelanggan dalam hal ini diartikan bukan hanya sebagai pembeli atau pengguna produk dalam dunia bisnis, namun juga dapat diterapkan pada semua bentuk. Dalam dunia pemerintahan misalnya, pelanggan adalah mereka yang menggunakan atau memerlukan layanan atau jasa dari lembaga pemerintah tersebut. Para pemangku kepentingan (stakeholder) juga dapat dianalogikan sebagai pelanggan. Tujuan dari pemberian pelayanan yang terbaik tersebut tentunya untuk memberikan kepuasan yang sebaik-baiknya bagi para pelanggan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kepemimpinan yang melayani, pelayanan prima dapat diberikan oleh sang pemimpin kepada para anggota atau pengikutnya, dari anggota atau organisasi kepada pelanggan, dari sang pemimpin kepada organisasi, ataupun dari sang pemimpin kepada pelanggan.
Dalam memberikan pelayanan prima, terdapat beberapa konsep utama yang perlu diperhatikan, yaitu
1. Sikap
2. Perhatian
3. Tindakan
4. Kemampuan
5. Penampilan
6. Tanggung jawab
7. Merasakan (simpati)
Dalam karakteristik kepemimpinan yang melayani, pelayanan yang diberikan adalah merupakan suatu hal yang sangat krusial. Pemimpin yang melayani hidup untuk memberikan pelayanan, karena mereka berprinsip untuk dapat meraih tujuan bersama yang ditetapkan, memberikan pelayanan adalah keharusan.
Pemimpin yang melayani merupakan pribadi yang menarik bagi para pengikutnya, karena mereka merasakan pemimpin hadir langsung di tengah mereka, memberikan teladan, dukungan dan dorongan agar mereka semua juga ikut tumbuh dan berkembang. Hakikat praktik kepemimpinan yang melayani dapat terlihat hadir dalam kalimat Ki Hajar Dewantara yang sering kita dengar, “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Seorang pemimpin yang melayani berada di depan untuk memberikan teladan, dan arahan, berada di tengah para pengikutnya untuk membimbing, menggugah, dan membangkitkan semangat, dan berada di belakang untuk mendukung dan memberikan dorongan yang diperlukan para pengikutnya.
ADVERTISEMENT
~ A.M, 26.04.2022 ~