Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dua Kali Melilit di Sumatera
28 Desember 2017 15:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Rulli Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu, akhir bulan November yang lalu, salah satu stasiun televisi menayangkan klip video Boy Meets Girl – Waiting For a Star to Fall. Saya lupa-lupa ingat lagu yang dinyanyikan oleh duet George Merrill dan Shannon Rubicam ini. Rasanya saya pernah mendengarkan lagu ini tapi dalam versi yang lebih oke sound-nya. Oh saya ingat. Sound oke itu karena saya dengar lagu ini di salah satu apartemen teman yang mana ia memiliki perangkat home theatre yang mumpuni. Saya memang agak kesulitan mengingat kapan dan dimana lagu ini pernah saya dengar, tapi saya masih ingat betul bagaimana malam sebelum pagi itu perut saya meradang.
ADVERTISEMENT
Pukul dua dini hari saya terbangun. Kepala pusing tiba-tiba entah kenapa. Tak cukup bagian atas yang meronta, bagian bawah pun – perut juga ikut berpartisipasi. Isi di dalamya terasa diaduk-aduk, menuntut untuk dikeluarkan segera. Seperti ada sejuta topan badai yang berputar di dalam. Tak berlama-lama, saya bergegas menuruti apa yang dikehendaki oleh perut. Satu sesi ternyata tidak cukup. Diperlukan beberapa sesi bolak-balik ke toilet untuk sekedar meredakan badai di dalam lambung, entah berapa kali saya lupa. Dan saya tidak berminat untuk menghitung. Puncaknya adalah saya memuntahkan kembali beberapa isi pencernaan saya. Barangkali termasuk mie aceh dengan potongan-potongan daging cumi, udang termasuk kepiting yang saya santap sore sebelum malam itu.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelumnya saya melakukan kunjungan ke salah satu lapangan produksi gas tempat saya bekerja. Saya pergi ke Lhoksukon Selatan yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Lhokseumawe. Perjalanan darat saya tempuh sekitar dua jam. Adalah suatu hal yang menyenangkan setiap kali melakukan perjalanan di daerah seperti ini. Saya bisa menikmati pemandangan yang tidak bisa dijumpai di daerah asal. Seperti misalnya saat menyaksikan beberapa hewan ternak bebas berkeliaran di tengah jalan raya. Pemandangan ini terjadi bukan karena penduduk setempat menganggap hewan seperti sapi, kerbau dan kambing adalah hewan suci seperti halnya di Bali atau India. Tapi karena memang dibiarkan seperti itu oleh sang pemilik ternak.
demikian penjelasan yang saya dapatkan dari warga lokal yang menemani perjalanan saya.
ADVERTISEMENT
Ini adalah trip kedua saya mengunjungi lokasi tersebut. Selain pengetahuan soal hewan ternak, lewat beliau saya bisa bertanya-tanya banyak hal. Termasuk pengetahuan baru saat saya mengetahui bahwa areal perkebunan kelapa sawit Cot Girek yang terhampar luas di tengah perjalanan yang kami lintasi dulunya adalah perkebunan tebu. Disana juga pernah berdiri dengan megah Pabrik Gula Cot Girek. Sayangnya pabrik gula ini sudah lama tidak beroperasi, entah apa penyebabnya. Penasaran dengan cerita soal pabrik gula Cot Girek ini, saya coba mencari tahu lewat internet.
Pabrik gula ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Mei tahun 1970. Luas konsesi lahan pada saat diresmikan mencapai 7.890 Ha, dengan penggunaan untuk areal tanaman tebu seluas 2.500 Ha dan areal pabrik pengolahan seluas 40 Ha. Pabrik ini menampung sebanyak 1.145 orang tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Tidak jelas apa penyebab ditutupnya pabrik gula Cot Girek ini. Salah satu alasan yang banyak disebut adalah bahwa pabrik tutup akibat dari tingginya beban pokok penjualan gula. Tingginya beban pokok ini disebutkan karena kurangnya subsidi dari pemerintah yang dianggap terlalu kecil, sehingga mengakibatkan ongkos produksi gula tidak ekonomis.
Alasan ini cukup diragukan, mengingat pada tahun 1982 telah berdiri PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Lhokseumawe yang hanya berjarak 35 kilometer dari Cot Girek. Dengan hadirnya PIM, seharusnya pupuk urea bisa diperoleh dengan mudah dan harga murah. Alasan lain menyebutkan bahwa gagalnya pabrik gula ini bertahan adalah karena melesetnya perhitungan dalam kajian kelayakan (feasibility study) yang dilakukan oleh tim CEKOP dari Polandia pada tahun 1963 dan oleh American Factors Associate dari Amerika Serikat pada tahun 1970.
ADVERTISEMENT
Saya terhenyak saat membaca beberapa artikel tentang penutupan pabrik gula Cot Girek ini. Apapun alasannya, penutupan pabrik gula ini cukup disayangkan. Karena masyarakat sekitar sudah terlanjur berharap banyak dari pabrik ini. Mereka berpikir bahwa dengan adanya pabrik gula ini maka akan menyerap banyak tenaga kerja, termasuk nantinya akan mendongkrak perekonomian Aceh khususnya Aceh Utara.
Ini adalah kesekian kalinya rakyat Aceh terjebak dalam buaian. Sebelumnya, juga pada tahun 70’an mereka merasakan bagaimana sumber daya alam mereka dieksploitasi oleh pihak luar, Mobil Oil. Saat itu korporasi asing asal Amerika Serikat tersebut menemukan tambang gas melimpah di Arun, termasuk di Lhoksukon yang saya kunjungi. Yang terjadi selanjutnya adalah bahwa mereka merasa minimnya kontribusi perusahaan minyak dan gas tersebut terhadap kemajuan penduduk sekitar. Beberapa sumber yang bercerita kepada saya mengatakan bahwa latar belakang kecemburuan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
ADVERTISEMENT
Selain itu yang saya pikirkan adalah bagaimana nasib mesin-mesin produksi yang terdapat di dalam pabrik pengolahan gula tersebut. Beroperasi sejak 1970 dan resmi ditutup pada tahun 1985, maka mesin-mesin tersebut sudah berumur 15 tahun. Memang bukan waktu yang singkat tapi asalkan terjaga dan teratur perawatannya, bukan tak mungkin kondisi dan kehandalan mesin masih bagus. Apalagi sekarang presiden Jokowi sedang giat melakukan revitalisasi pabrik gula. Tidak tanggung-tanggung, tujuh pabrik masuk dalam rencana revitalisasi yang ditargetkan dapat menggenjot produksi gula nasional menjadi 5 juta ton pada tahun 2019.
Pagi itu saya masih merintih akibat sisa-sisa perjuangan sakit perut semalaman. Hampir dua jam saya tidak bisa tidur karena perut melilit. Sehari sebelumnya, sepulangnya dari Lhoksukon, saya minta untuk diantarkan makan mie Aceh dan minum kopi. Karena jarak ke Lhokseumawe masih jauh maka kami memilih untuk mampir ke salah satu warung makan yang ada di Lhoksukon. Warung ini terletak di samping galon – istilah orang Aceh untuk SPBU. Galon adalah salah satu kosakata lokal yang saya dapatkan. Sebelumnya saya dapatkan kata Gampong yang setara dengan Desa atau Kelurahan. Sedangkan pemuka Gampong biasa disebut dengan Keuchik. Kopi pun tidak disebut dengan huruf ‘o’ sebagaimana lazimnya kita sebut, tapi dengan huruf ‘u’, sehingga menjadi kupi.
ADVERTISEMENT
Saya mulai merasakan kejanggalan saat menyesap kopi hitam yang dihidangkan sebelum makan. Rasanya seperti ada sensasi gosong (terbakar) di dalamnya. Teman saya berpendapat mungkin bijih kopinya kurang bagus. Saya bisa melupakan rasa gosong itu saat mie Aceh pesanan kami dihidangkan. Saya tidak merasakan apa-apa karena memang sedang lapar. Rasanya biasa saja.
Selidik punya selidik, sepertinya sakit perut disebabkan karena daging kepiting yang kurang fresh. Hal ini terbukti dari rekan saya yang juga menyantap mie Aceh warung tersebut tapi mereka tidak mengalami sakit perut seperti saya. Karena memang mereka tidak memesan tambahan kepiting ekstra di mie.
Saya ingat bahwa ini bukan pertama kalinya perut melilit di bumi Sumatera ini. Yang pertama saya rasakan saat pulang kampung ke Sumatera Barat pada tahun 2013 silam. Saat itu saya mengantarkan ayah dan ibu yang berkeinginan untuk pulang ke Kumango, Batusangkar sebelum mereka berangkat menunaikan ibadah haji.
ADVERTISEMENT
Saya senang bukan main karena saat itu adalah pertama kalinya saya pulang ke kampung halaman nenek moyang saya. Walaupun bahasa Minang bukan bahasa sehari-hari yang saya gunakan, saya tetap merasakan ikatan emosional yang kuat dengan daerah asal leluhur ini. Dan tentu saja, selama perjalanan otak saya sudah penuh dijejali keinginan untuk menyantap segala macam hidangan khas Minang yang lamak taraso itu. Sebut saja rendang daging, rendang paru, rendang telur, gulai ayam, sate Padang dan sebangsanya.
Ternyata perut tidak mau berkompromi dengan nafsu makan saya tersebut. Dia – si perut – mulai bergejolak tak lama setelah saya minum Teh Talua, salah satu minuman khas Sumatera di warung kopi kecil di suatu pagi hari yang dingin. Yang terjadi sesudahnya adalah saya harus pergi ke toilet tiap kali selesai menyantap makanan. Masuk keluar masuk keluar, begitu terus. Plesir ke Jam Gadang dan Pasar Atas Bukittinggi pun saya lalui dengan tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Pagi itu saya masih merintih akibat prahara pencernaan. Selepas sholat shubuh memang sudah agak mendingan, walaupun badan masih terasa sedikit lemas. Saya mengganti saluran televisi untuk mencari kabar berita hari itu. Salah satu kanal menayangkan sesi tanya jawab dengan seorang tokoh yang sedang diwawancara perihal kemungkinan penggantian pucuk pimpinan partainya. Tiba-tiba perut saya melilit lagi. []