Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Makna Jihad Saat Ramadhan di tengah Laut
22 Juni 2017 5:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Rulli Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
“Dia sudah mulai tak bisa diam sekarang, giginya sudah tumbuh 4. Jadi suka gigit benda apa saja.”
Begitu kabar dari istri saya di telepon satelit saat menceritakan soal putra kami yang baru berusia 10 bulan. Saat itu sudah memasuki bulan Ramadhan 1432 H, tepatnya pada Agustus tahun 2011. Kami hanya bisa berkomunikasi via telepon satelit yang ada di operator room, itu pun tidak bisa lama-lama. Telepon satelit adalah satu-satunya media komunikasi karena penggunaan handphone dilarang disini.
Perbincangan ini terjadi 6 tahun silam, saat itu saya sedang bertugas di anjungan lepas pantai milik salah satu perusahaan gas dalam negeri. Lokasi tempat kerja berada di Laut China Selatan, tepatnya di kepulauan Natuna. Itu adalah pertama kalinya saya menunaikan ibadah puasa Ramadhan di lokasi offshore (lepas pantai).
ADVERTISEMENT
Saya begitu excited saat mengetahui dapat kesempatan untuk bekerja di offshore. Bekerja di sektor migas – minyak dan gas - yang notabene tidak sembarang orang bisa bekerja disitu. Kenapa? Karena industi ini menyangkut tentang pengelolaan asset Negara yang vital. Industri yang menuntut faktor keselamatan (safety) yang tinggi. Sedikit kesalahan bisa berakibat fatal. Ilustrasi yang bagus untuk menggambarkan mengenai sisi keselamatan ini bisa kita lihat di film Deepwater Horizon, film yang diangkat dari kisah nyata tentang keteledoran yang mengakibatkan ledakan besar di salah satu drilling rig milik Transocean pada tahun 2010.
Makanya saya begitu penasaran seperti apa rasanya bekerja di lingkungan dengan faktor keselamatan yang tinggi ini. Setelah menyelesaikan beberapa kewajiban administrasi dan persyaratan seperti sertifikat Sea Survival (sertifikat pelatihan untuk bertahan hidup di laut), sertifikat HUET (Helicopter Underwater Escape Training), berangkatlah saya ke lepas pantai. Lokasi kerja dicapai dengan 2 kali moda transportasi. Yang pertama dengan naik pesawat berangkat dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju ke lokasi shore base. Dari sini perjalanan disambung lagi dengan naik helicopter.
ADVERTISEMENT
Minggu pertama di lepas pantai masih terasa nyaman. Karena perusahaan menginginkan kinerja yang optimal dari masing-masing pekerjanya, maka fasilitas di anjungan pun diusahakan selengkap mungkin. Menu makanan yang beraneka ragam dari mulai sayuran, buah-buahan, lauk pauk yang lebih dari satu varian, belum termasuk hidangan pencuci mulut. Ruang televisi dilengkapi dengan saluran satelit yang menyediakan beragam pilihan channel.
Perjuangan yang sesungguhnya bisa dirasakan saat memasuki bulan Ramadhan. Jam sahur tetap mengikuti waktu sebagaimana lazimnya. Setelah sahur kami tidak banyak memiliki waktu istirahat karena harus menunaikan sholat shubuh dan berkumpul lagi untuk safety meeting pada jam 06.00 pagi. Setiap pekerja wajib menghadiri safety meeting ini. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas satu per satu pekerjaan yang akan dilaksanakan pada hari itu, kesiapan peralatan berikut pemeriksaan kelengkapan Alat Pelindung Diri (APD). Setelah itu masing-masing dari kami bekerja hingga jam 17.30 sore hari, dengan diselingi istirahat siang jam 12. Karena tidak ada ritual makan, jam istirahat siang selama satu jam ini kami gunakan untuk sholat dhuhur dan rehat sejenak (tidur).
ADVERTISEMENT
Kami baru bisa benar-benar beristirahat setelah berbuka puasa. Ibadah tarawih tetap kami laksanakan bersama-sama walaupun jamaah tidak banyak. Biasanya kami langsung mengerjakan tarawih selepas isya’ tanpa diselingi kultum. Sesudah tarawih kadang kami melanjutkan untuk tadarus Quran. Begitu seterusnya siklus kehidupan kami selama bulan Ramadhan di lokasi kerja lepas pantai. Saat Lebaran pun tak jauh berbeda. Pada hari raya itu kami diberikan kompensasi untuk mulai bekerja setelah jam makan siang. Pagi hari diisi dengan sholat ied di landasan helicopter dan dilanjutkan dengan bersantap hidangan lebaran bersama-sama.
Yang membuat pekerjaan sedikit terasa berat saat berpuasa adalah karena kami harus berkeliling platform untuk mengambil data pengukuran di beberapa unit mesin. Hawa panas yang berasal dari mesin ditambah dengan teriknya cuaca di siang hari cukup menambah tantangan pekerjaan ini. Selain itu rasa bosan tidak dapat dielakkan. Bagaimana tidak bosan, sejauh mata memandang kiri kanan hanya terlihat lautan biru. Belum lagi suara bising mesin-mesin yang beroperasi penuh selama 24 jam tanpa jeda. Keheningan mungkin sedikit terasa saat ada salah satu mesin yang mengalami kerusakan, itu pun tidak lama karena tim mekanik harus segera menyelesaikan perbaikan. Ini terkait dengan target produksi gas yang harus dicapai.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali saya merasa terenyuh saat menyaksikan liputan Ramadhan yang ditayangkan di televisi. Bekerja di tengah lautan, jauh dari keluarga dengan tak banyak pemandangan yang bisa dinikmati membuat saya merindukan beberapa hal. Saya merindukan suara gendang yang ditabuh sekelompok anak kecil yang bergerilya keliling kampung untuk membangunkan orang sahur. Saya merindukan suasana tepi jalan raya yang mendadak berubah menjadi pasar kaget, sejumlah orang berusaha menambah penghasilan untuk bekal hari raya dengan menggelar lapak macam-macam menu takjil. Saya merindukan saat malam takbiran dimana anak-anak kecil akan bersuka ria pawai keliling kota dengan membawa obor, lampion atau pernak pernik lain.
Perasaan rindu saya mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan mereka yang telah bertahun-tahun menjalani profesi ini. Saya berbicara dengan salah satu supervisor kepala yang mana dia sudah bekerja selama kurang lebih 20 tahun di industi ini. Beliau mengatakan bahwa adalah wajar bila timbul rasa kerinduan seperti yang saya alami. Tapi pengalaman puluhan tahun sudah cukup untuk memberikan semacam ketahanan dan kekuatan pada dirinya. Dia sudah terbiasa merayakan lebaran di tengah lautan, berkali-kali malah.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah bekerja disini dari mulai rig baru beroperasi sampai saat ini. Total saya sudah bekerja pada 4 (empat) perusahaan yang berbeda”. Begitu katanya.
Dari obrolan ini saya bisa melihat ketulusan dan keikhlasan di wajahnya. Keikhlasan untuk berjuang mencari nafkah demi keluarga yang membuatnya bertahan selama ini.
Pengalaman saya selama menjalani Ramadhan di tengah lautan membuat saya melihat arti jihad dalam konteks lain. Jihad perjuangan demi keluarga yang terkadang justru mengurangi waktu kebersamaan. Jihad dalam memaknai bekerja sebagai bagian dari ibadah. Bekerja dalam lingkungan dan kondisi ekstrim, yang tidak mentolerir kesalahan sedikit pun. Pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi dan stamina yang fit walaupun harus tetap menjalankan ibadah shaum.
Saya boleh dikatakan beruntung karena harus berada di lokasi lepas pantai ini selama 3 (tiga) bulan saja. Tapi saya tetap bersyukur diberikan kesempatan untuk merasakan nikmatnya Ramadhan dan Lebaran di tengah lautan. Termasuk kesempatan untuk melihat wajah-wajah yang sumringah dan gembira saat crew change (pergantian personil) karena mereka mengetahui bahwa itu saatnya mereka pulang ke rumah dan kembali berkumpul dengan sanak famili. []
ADVERTISEMENT
*) Artikel pertama kali tayang di situs nu.or.id