Konten dari Pengguna

Akulturasi Peranakan di Pameran Solo "Are You A Peranakan?" oleh Bibiana Lee

Rully Restiana
A Master of Science graduate in Japanese Area Studies. Currently a lecturer and freelance writer. Officially a multidisciplinary nut.
5 Januari 2025 13:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Restiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peranakan, sebuah istilah yang merujuk pada proses percampuran budaya, menjadi pusat perhatian dalam pameran tunggal Bibiana Lee, "Are You a Peranakan?", yang diselenggarakan di Mon Decor Gallery/Art: 1 New Museum, Jakarta (10/10/2024). Melalui kanvas batik tiga warna yang penuh warna dan makna, seniman muda ini mengajak kita merenung lebih dalam tentang identitas yang kompleks dan dinamis. Bagi Bibiana Lee, peranakan bukan hanya sekadar label, melainkan sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan nuansa dan lapisan. Ia melihat batik tiga warna sebagai medium yang sempurna untuk mengeksplorasi identitas peranakan yang kaya akan simbolisme dan sejarah. Dengan menggabungkan teknik tradisional batik dengan elemen kontemporer seperti augmented reality, Bibiana Lee berhasil menciptakan karya-karya yang relevan dan menggugah. Dirinya juga berhasil menyatukan tradisi dan inovasi dalam pameran terbarunya. Dengan menggabungkan keindahan batik tiga negeri yang kaya akan simbolisme dengan kecanggihan teknologi augmented reality, Bibiana Lee mengajak penonton untuk melakukan perjalanan visual yang tak terlupakan. Karya-karyanya bukan hanya sekadar lukisan, tetapi juga sebuah pengalaman interaktif yang mengundang penngunjung untuk merenung tentang identitas, sejarah, dan masa depan.
ADVERTISEMENT
Batik tiga warna adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan makna. Nama "tiga warna" merujuk pada dominasi tiga warna utama dalam batik ini, yaitu merah, biru, dan cokelat soga. Lahir dari akulturasi budaya Tionghoa, Belanda, dan Jawa, batik ini menjadi cerminan dari keberagaman dan keindahan Indonesia. Terlihat dari motif dan teknik pembuatan batik yang khas Jawa Terlihat dari penggunaan warna merah yang kuat, yang dalam budaya Tionghoa melambangkan keberuntungan dan kemakmuran. Terlihat dari pengaruh warna-warna cerah dan motif-motif yang lebih modern. Batik tiga warna pertama kali muncul di wilayah Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Wilayah Lasem pada masa itu merupakan pusat perdagangan yang ramai, sehingga banyak pengaruh budaya asing yang masuk, termasuk budaya Tionghoa dan Belanda. Pada masa kolonial, peranakan Tionghoa pernah mengalami kerja paksa bersama pribumi tanpa ada perbedaan. Bibiana Lee dalam "Sejahtera" (2004), melambangkan lukisan burung Phoenix yang terbang gagah sebagai simbol kaum peranakan masa kini, yang menjadi tumpuan harapan agar dapat melanjutkan dan menjaga kesejahteraan yang diperoleh dari para leluhur.
ADVERTISEMENT
"Sejahtera" (2024). Burung Phoenix di atas motif parang beras dan batu, merupakan simbol kerja keras guna mengumpulkan uang untuk kesejahteraan keluarga. Foto: Dok. pribadi.
Motif-motifnya yang sarat simbolisme, serta menyimpan kisah-kisah yang menarik tentang kehidupan dan filosofi masyarakat Nusantara. Parang misalnya, merupakan simbol kekuatan, kesatuan, dan perlindungan. Kawung, bermakna kesuburan, kemakmuran, dan ketentraman. Ceplok, yang menyimbolkan kesempurnaan dan keindahan. Kemudian Sidomukti, memiliki arti harapan dan cita-cita yang tinggi. Keunikan dari batik ini terletak pada proses pembuatannya yang melibatkan tiga kota berbeda di Jawa, yaitu Lasem, Pekalongan, dan Solo. Masing-masing kota memiliki keahlian khusus dalam menghasilkan warna tertentu. Proes pembuatan batik tiga warna sangatlah rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Dimulai dari pembuatan motif, kemudian dilanjutkan dengan proses pencelupan. Warna merah yang diperoleh dari akar mengkudu, dihasilkan di Lasem. Warna biru (indigo) yang dihasilkan di Pekalongan, didapat dari tanaman nila. Sedangkan warna cokelat soga yang didapat dari kayu tegeran, dihasilkan di Solo. Setiap warna memiliki karakteristik dan teknik pewarnaan yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Dalam "Metamorphosis", Bibiana Lee menghadirkan pesona estetika dengan dominasi warna merah yang khas Tionghoa, dipadukan dengan motif bunga-bunga yang lembut dan kupu-kupu yang menari, sehingga menciptakan harmoni visual yang memukau. Lebih dari sekadar keindahan, karya ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang identitas budaya dan transformasi yang terjadi di era digital. Dirinya menggunakan teknik layer pada kain organdi untuk menciptakan efek transparan dan elegan. Teknik ini memberikan kesan klasik yang mewah, sekaligus menyiratkan kedalaman dan kompleksitas identitas Peranakan. Karya berjudul "Metamorphosis" ini seolah menjadi cerminan dari perjalanan panjang identitas Peranakan yang terus berevolusi. Karya ini tidak hanya menggambarkan perubahan bentuk, tetapi juga transformasi identitas Peranakan di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi. Generasi muda Peranakan tumbuh dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka hidup di era digital, di mana gadget dan internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Perubahan yang begitu cepat ini membawa dampak yang signifikan terhadap cara berpikir, berperilaku, dan memandang dunia. Generasi muda Peranakan seperti dituntut untuk terus beradaptasi dan bertransformasi agar dapat bertahan dan berkembang.
ADVERTISEMENT
"Metamorphosis" (2024). Foto: Dokumentasi pribadi.
"The Young Ones" mengingatkan saya akan pepatah Tiongkok 声色狗马, yang berarti "Mengejar kedangkalan materialisme tanpa substansi batin yan ing mendalam". Pada gambar "Mata", Bibiana Lee menyoroti fenomena flexing yang marak di kalangan generasi muda, di mana seseorang cenderung memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah melalui media sosial. Gunung Ringgit yang sering dijumpai dalam seni Tionghoa, menyimbolkan ambisi dan harapan. Bunga Krisan, yang juga sangat familiar dalam kebudayaan Tionghoa, melambangkan kemakmuran; dikonstruksikan oleh Bibiana Lee dalam konteks kecantikan (estetika) yang telah mengalami pergeseran makna. Kemudian, motif Gringsing yang rumit, melambangkan keseimbangan sebagai upaya generasi muda Peranakan di antara kehidupan material dan spiritual. Melalui karya ini, Bibiana mengajak kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi Peranakan sebelumnya. Jika generasi pendatang pertama lebih fokus pada upaya bertahan hidup dan membangun kekayaan, generasi muda Peranakan cenderung memiliki gaya hidup yang lebih konsumtif dan individualistis. Di tengah gemerlapnya dunia modern, kita perlu tetap menjaga keseimbangan dan tidak terjebak dalam materialisme semata.
"The Young Ones" (2024). Foto: Dokumentasi pribadi.
Karya seni kontemporer terus berevolusi, memadukan tradisi dengan inovasi teknologi. Salah satu contoh yang menarik adalah karya "Warisan" karya Bibiana. Lukisan ini menghadirkan visual yang sederhana namun sarat makna, menampilkan bunga seruni merah yang kontras dengan latar belakang putih bersih. Bukan pertama kalinya Bibiana Lee menggunakan teknologi Augmented Reality (AR). Tahun 2023, dirinya juga menggunakan perpaduan teknologi dan seni dalam pameran "Sum, Absence, and The Shades". Kali ini pun, Bibiana Lee mengajak oengunjung untuk berinteraksi secara langsung dengan seni, menciptakan pengalaman yang unik dan mendalam. Bunga Seruni sendiri, telah lama menjadi simbol keindahan, kecantikan, dan umur panjang dalam berbagai budaya, termasuk budaya Tionghoa. Dalam konteks karya ini, bunga Seruni juga melambangkan harapan. Harapan akan kelanjutan tradisi membatik, khususnya batik tiga negeri, yang merupakan warisan budaya yang kaya dan berharga. Melalui AR, Pengunjung dapat menggunakan perangkat seluler mereka untuk mengambil bunga seruni yang seolah-olah muncul dari dalam lukisan. Bunga tersebut kemudian dapat digerakkan sesuai dengan gerakan tangan, memberikan pengalaman yang imersif dan interaktif, seperti simbolis persuasif kepada generasi muda untuk turut serta melestarikan tradisi batik.
"Warisan" (2024). Foto: Dokumentasi pribadi.
Latar belakang lukisan yang didominasi warna hijau tosca dengan efek bintik-bintik putih seperti pasir, menciptakan kesan yang segar dan kontemporer. Motif pasiran ini melambangkan rezeki, sebuah konsep yang menggambarkan keberlimpahan yang tak pernah habis. Sementara itu, kupu-kupu yang beterbangan melambangkan semangat pantang menyerah dan transformasi, yang merupakan ciri khas generasi pertama Peranakan yang berjuang keras membangun kehidupan baru di tanah leluhur. Ditambah dengan AR yang interaktif, yaitu ketika mengarahkan perangkat pintar ke lukisan, akan muncul teks "Are You a Peranakan?" yang bergulir di layar. Pertanyaan ini mengajak setiap individu untuk merenungkan asal-usul dan identitasnya, serta sejauh mana mereka merasa terhubung dengan warisan budaya Peranakan.
"Are You a Peranakan?" (2024). Foto: Dokumentasi pribadi.
Jika pada karya sebelumnya Bibiana Lee lebih fokus pada eksplorasi identitas Peranakan, kali ini ia menghadirkan sebuah karya yang lebih universal. Lingkaran-lingkaran yang saling tumpang tindih dan memiliki ukuran yang berbeda-beda melambangkan siklus kehidupan yang terus berputar dan tidak pernah berhenti. Setiap lingkaran dengan motif batiknya yang unik menjadi representasi dari beragam budaya dan tradisi yang saling mempengaruhi. Sekaligus bagi Bibiana Lee, Kawung mirip dengan biji kopi, yang identik juga dengan gaya hidup "nongkrong" di cafe, di mana semua evolusi tentang komparatif perbedaan zaman yang terus bergulir layaknya bola.
ADVERTISEMENT
Bibiana Lee lagi-lagi memberi sumbangsih pikiran mengenai pencarian identitas dan keberagaman, terutama peranakan. Walau istilah "Peranakan" identik dengan Tionghoa, namun dalam definisi harfiah, generasi perkawinan campuran antar etnis mana pun dapat dikatakan peranakan. Hakikatnya, pencarian identitas melalui sejarah adalah untuk mengingatkan bahwa kita adalah satu Indonesia dengan warisan budaya Indonesia yang kaya. Seharusnya label identitas tidak menjadikan kita sebagai bangsa yang sukuisme, apalagi bangsa primordialisme yang mengagungkan konsep "darah murni"; yang hanya akan menjadi peluru untuk memecah belah. Di tangan kurator Citra Smara Dewi, pemerhati seni sekaligus akademisi, pameran "Are You a Peranakan?" menjadi ajang refleksi akan ajangi identitas. Punebuah kepentingan yang substansial dalam menyikapi perbedaan melalui ilmu, seni, serta toleransi yang tinggi.
ADVERTISEMENT