Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menilik Ruminasi Hayao Miyazaki
5 Januari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Rully Restiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat staf kantor Studio Ghibli mendengar kabar "The Boy and the Heron" memperoleh Oscar 2024, mereka bersama sang sutradara sedang berada di Nibariki, bangunan seperti rumah sekaligus studio yang dekat dengan studio utama Ghibli, yang berarti “dua kuda” dengan makna filosofis “keluarga berpenghasilan ganda”. Namun saat pengumuman nominasi dan pemenang kategori animasi terbaik, Hayao Miyazaki tidak ditemukan di depan layar bersama pegawai lainnya, ka tengah berada di toilet. Selang beberapa saat, Hayao yang sebelumnya telah mencukur habis jenggotnya, keluar dengan tenang di tengah sambutan meriah. Tanpa senyum sumringah, beliau mengangguk, lalu secara formalitas bertanya dengan tenang, "mengapa menangis?" sambil memeluk para staf wanita yang menangis haru. Pria itu juga telah menerima kabar gembira mengenai penjualan tiket yang luar biasa, dengan total keuntungan global lebih dari 1,5 triliun rupiah. Namun lebih dari itu, kita masih terus melihat kecamuk pikiran dari raut wajah sang sutradara, dan semuanya dituturkan dengan jujur dalam dokumenter "Hayao Miyazaki and the Heron".
ADVERTISEMENT
Bagi para penggemar Ghibli, "The Boy and the Heron" bukan sekedar film animasi biasa, namun juga nostalgia akan film-film Hayao sebelumnya. Sangat diperlukan untuk menonton karya yang rilis tahun-tahun sebelum ini, untuk merasakan perasaan "kolase rindu" dan kekhasan ritme alur serta efek grafis studio Ghibli. Lalu bagi yang belum familiar dengan karyanya, akan disuguhi tidak hanya grafis yang halus nan memberi kesan surealis, namun juga tokoh yang tanpa canggung, secara universal ramah untuk semua umur: tanpa pameran lekuk tubuh terutama untuk tokoh-tokoh wanitanya. Semua film Hayao bukan hanya tentang perjalanan tentang kehidupan, yang tanpa disadari dalam sekali lihat, ternyata merupakan perayaan tentang kehidupan imortalitas yang dekat dengan kematian.
ADVERTISEMENT
Hayao Miyazaki pernah menggarap film dengan tema beragam; realis, realis magis, dan fantasi. Dunia fantasi tanpa realis, misalnya "Princess Mononoke" (1997), "Castle in the Sky" (1986), "Lupin III: The Castle of Cagliostro" (1979), dan film dengan latar pasca apokaliptik "Nausicaä of the Valley of the Wind" (1984). Realis, misalnya "Whisper of the heart" (1995), "From Up on Poppy Hill" (2011), dan "The Wind Rises" (2013). Realis magis tanpa isekai, misalnya "Ponyo" (2008), "Howl's Moving Castle" (2004), "The Cat Returns" (2002), "Porco Rosso" (1992), "Arriety" (2010), "My Neighbour Totoro" (1988), dan "Kiki's Delivery Service" (1989). Realis magis dengan isekai, misalnya "The Boy and the Heron" (2023), dan "Spirited Away" (2001). Walaupun surealisme secara absolut berada dalam perdebatan, sulit untuk menolak konsep mimpi dan realitas yang muncul berulang dan disajikan apik oleh Hayao. Jangan lupa metafora akuatik yang sering muncul di dunia "kakek buyut" dari tokoh utama Mahito, termasuk adegan "meleleh" yang mengingatkan akan aliran Salvador Dali.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam proses menciptakan film animasi terbaru, Hayao Miyazaki beberapa kali membicarakan batas realita dan mimpi. Barangkali faktor senja, barangkali pula berkah sekaligus harga yang dibayar untuk pencipta banyak cerita masterpiece yang berhubungan dengan fantasi. Ia menamakannya sebagai "Katup Kepala". Malam itu setelah menikmati onsen di sebuah penginapan sebagai rutinitas healing miliknya, ia membagikan proses "manufaktur" idenya kepada kameraman dokumenter. Saat "katup" terbuka, ia akan merogoh fragmen-fragmen film dalam kabut hitam, kemudian merangkainya. Adegan ini merupakan pembuka dari dokumenter "Hayao Miyazaki dan the Heron", sekaligus, disclaimer tentang gagasan-gagasan mendalam yang menguak sisi lain dari seniman yang sudah melewati usia 80 tahun itu.
Suasana alam yang berdampingan dengan manusia, atau kadang kerap dibuat kontras dengan perkotaan, menjadi salah satu dari banyak karakteristik karya Hayao. Beberapa media menyebutnya environmentalism, walaupun satu-satunya aktivisme yang ia terlibat secara langsung adalah memimpin dalam perselisihan perburuhan dan menjadi sekretaris serikat buruh perusahaan Toei Animation pada tahun 1964. Alam yang digambarkan oleh Hayao notabene bernilai estetika; riak air, suara jangkrik, deru angin yang membelai pepohonan—memikat penonton dengan penggambaran secara realitas dan magical. Alam yang sebenarnya dekat dengan sekitar kita, disajikan dalam bentuk 2D, bahkan dalam grafik film Hayao yang terbaru, turut mendapat sentuhan immersive.
ADVERTISEMENT
君たちはどう生きるか ("How do you live?") sebagai judul lain dari "The Boy and the Heron" dimulai dari adegan Mahito yang terbangun dari sirine peringatan. Suasana sekitar panik terutama ayahnya, yang memberi kabar bahwa rumah sakit tempat ibunya dirawat, dilalap api. Mahito berlari mengikuti ayahnya menuju rumah sakit, diiringi hiruk pikuk suara orang-orang yang dilaluinya, serta suara gemercik lidah api yang semakin lama semakin membesar. Adegan ini mengingatkan tentang film Studio Ghibli lainnya karya rekan Hayao Miyazaki, Isao Takahata, yang berjudul "Grave of the Fireflies" (1988). Isao, yang berpengaruh besar terhadap karir Hayao, juga menciptakan beberapa masterpiece lainnya; "The Tale of Kaguya" (2013), "Only Yesterday" (1991), dan "Pom Poko" (1994). Seperti simbiosis yang selaras dan saling mempengaruhi, plot "The Boy and the Heron" juga familiar dengan rekan sineas Hayao lainnya yang menciptakan "When Mlarnie was there" (2014), Hirobasa Yonebanashi. Keduanya mencitrakan kehilangan, adaptasi, dan menolak afirmasi dari anggota keluarga baru; seperti halnya yang dialami oleh tokoh Mahito ciptaan Hayao Miyazaki dan tokoh Anna dalam karya buatan Hirobasa Yonebahashi.
ADVERTISEMENT
Yasuda Michiyo, adalah seorang animator rekan dari Hayao sekaligus menjadi inspirasi karakter Kiriko, adalah yang memberi persuasi kuat agar Hayao kembali menghasilkan karya. Hayao mengalami fase hitam putih keputusannya untuk pensiun, seperti dikatakan produser sekaligus salah satu pendiri Studio Ghibli Toshio Suzuki, yang sering mendengar kata pensiun dari mulut pendiri Ghibli satunya itu. Yasuda, atau yang dipanggil Yacchin oleh Hayao, telah berpulang delapan tahun lalu. Yacchin termasuk salah satu rekan yang lumayan sering disebut dalam dokumenter setelah Isao Takahata. Menerima kabar rekannya meninggal satu per satu, atau terkena penyakit kronis, membuat Hayao sering bergumam tentang kematian. Selama ini karya-karyanya menampilkan banyak karakter lansia berkarakter jenaka, usil, bahkan serius—seperti menggambarkan karakter Hayao di dunia nyata yang kerap memberi gagasan mendalam, sejaligus gemar menimpali dengan candaan yang "harsh" atau gelap. Di satu sisi, Hayao juga memberi gambaran tentang kondisi faktual demografi Jepang yang saat ini, telah masuk fase Ageing Society.
ADVERTISEMENT
"Those who seek my knowledge must die" merupakan frasa yang muncul di gerbang emas saat Mahito sampai ke dunia buatan kakek buyut. Frasa tersebut seperti peringatan akan keniscayaan kematian, terutama untuk Mahito, yang mencari Natsuko, sekaligus pengetahuan tentang kematian ibunya. Atau barangkali, datang dari kakek buyut yang kehilangan jati diri karena terlalu dalam menyelami ilmu pengetahuan, terobsesi dalam membina keseimbangan dunianya yang digantungkan kepada susunan balok berbeda bentuk. Hayao menyertakan Isao Takahata, yang ia panggil Pak-san, sebagai representasi dari kakek buyut itu sendiri. Sepeninggal Isao, Hayao terlihat pertama kali menangis di depan media massa saat pemakaman rekan sekaligus rivalnya. Banyak kesempatan Hayao menyebut nama rekannya, atau dengan sebutan "arwah Pak-san" dengan jenaka, untuk mengingatkan atau menghibur dirinya atas rasa kehilangan. Hubungan "Cinta-benci" yang disebutkan Hayao atas Pak-san, merupakan apresiasi tertingginya selama bersejawat lebih dari 50 tahun. Pak-san inilah yang sering mengingatkan Hayao akan kematian yang begitu dekat, namun begitu jauh saat bersamaan. Dalam beberapa kesempatan, Hayao juga memberi nasehat sekilas untuk menjalani hidup dengan tersenyum kepada para juniornya. Ia membayangkan Pak-san sebagai kakek buyut dan Mahito sebagai dirinya, layaknya Pak-san yang sedang memberi jawaban tentang "Bagaimana kau hidup?" terutama dengan kebencian dan kedengkian, sedang dunia menciptakan kematian, agar manusia merasakannya. Dari keseluruhan semi-autobiografi alur cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari makna hidup di tengah rasa duka, pertanyaan tersebut juga telah dijawab dengan tersirat dengan sampul novel "How Do You Live?" karya Genzaburo Yoshino. Novel tersebut diwariskan mendiang ibu Mahito untuknya, yang mana secara garis besar memiliki alur dan pesan yang mirip: tentang seorang anak laki-laki bersama pamannya, mencari tahu makna kehidupan.
ADVERTISEMENT
"Fecemi la divina potestate", sebuah frasa latin yang bermakna "Aku diciptakan oleh kekuatan ilahi", tertulis di menara misterius dekat mansion tempat keluarga Mahito tinggal. Frasa yang menyiratkan makna religius, seperti inkripsi neraka, tempat penderitaan dan kesedihan yang abadi, juga dilontarkan secara tersurat oleh seekor pelikan sekarat yang terkena api milik Himi saat memburu Warawara. Toshio Suzuki, memiliki pandangan sendiri tentang resiko sekaligus berkah seorang pencipta yang menyelami alam fantasi dalam pikirannya. Hayao, di balik jenakanya yang "kurang ajar" terutama menyangkut rekan-rekannya, sering menunjukkan rasa kesepian. Di suatu malam saat mereka mengunjungi onsen, Hayao mendatangi kamar Toshio bermaksud mengajak berbincang. Toshio terlalu lelah namun tidak menolak, sedangkan Hayao telah menangkap sinyal segan darinya. Hayao kemudian berbincang kepada kameraman, tentang konsep "katup kepala" miliknya. Selama hampir dua jam adegan demi adegan dokumenter ditampilkan, kita dapat merasakan relasi yang kuat antara film dengan dirinya. Kecemasan Toshio Suzuki akan Hayao yang telah berusia senja, bagaimana Hayao memandang tokoh Heron sebagai representasi dari Toshio, serta rasa duka yang mengingatkan Hayao akan dekat/jauhnya kematian itu sendiri; seperti mengkerucutkan menjadi sebuah simulasi perjalanan Hayao yang sedang menelusuri kematian.
ADVERTISEMENT
Tidak semua variable mengambil peran dalam dokumenter tersebut. Termasuk tentang ia yang lahir dari seorang pembuat sparepart pesawat militer untuk Perang Dunia II dan berakhir menjadi seorang alkoholik. Termasuk juga tentang istrinya dan kedua putranya yang pernah berada di jajaran sineas bersama Hayao. Yang ada, frasa yang muncul di awal dan akhir film: 僕の頭は壊れたらしい, diartikan:l sebagai ekspresi: "Sepertinya saya sudah gila", atau "Kepala saya sepertinya rusak". Keduanya merujuk kepada konsep "katup kepala" yang terbuka dan tertutup. Kemudian di akhir film, Hayao berkata bahwa katupnya terus terbuka; diiringi keputusan karirnya untuk terus berkarya. Sampai layar menghitam dan menayangkan credit, saya menyadari—ini seperti menyaksikan wasiat yang dibumbui memoar. Membayangkan keterasingan akan proses imajinatif yang hanya diketahui dirinya sendiri, walaupun saya yakin ini memiliki relasi kuat dengan semua pencipta karya di luar sana. Tentu saja, bukan hanya sekali karya mengagumkan lahir dari proses menyelam ke dalam palung kedukaan, neraka, atau bahkan, nihilisme. Namun perlu diperhatikan, proses pengulangan kedukaan dan makna kematian dapat menjadi ruminasi, dan hanya Hayao yang tahu apakah dirinya telah sampai sana atau berhasil kembali. Sebagai penonton yang jauh berada darinya, saya berharap Hayao dapat sesekali kembali ke permukaan; bercengkerama lebih lama dengan keluarga atau melancong ke negeri orang sambil mengamati manusia beragam kultur lebih jauh, untuk bahan bakar alternatif fragmen-fragmen film dalam "katup kepala" miliknya.
ADVERTISEMENT