Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Ulama dalam Pandemik Corona
19 Maret 2020 22:31 WIB
Tulisan dari Rumail Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selamat malam.
Corona (SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID19) ternyata segalak & setangguh ini (bisa bertahan hidup di udara sekitar 3 jam, dan pada plastik & stainless steel sekitar 2-3 hari).
ADVERTISEMENT
Setiap hari, jumlah warga Indonesia yang meninggal karena Corona terus bertambah, dan yang dinyatakan positif Corona juga jauh lebih bertambah.
Tapi dukun-dukun hikmah bermodal ijazah & karomah (entah seberapa persen keberuntungan doa mereka yang benar-benar manjur) tanpa tedeng aling-aling malah menantang Corona & mendorong orang untuk tidak takut mendatangi kerumunan massa tanpa SOP.
Tidak ada masalah jika takut sama Corona. Tidak usah sok paling takut sama Allah. Lawong cicilan yang sudah jatuh tempo saja bikin sekujur tubuhmu panas-dingin, kok. Pergi jauh sedikit tanpa bawa smartphone juga sudah membuatmu deg-degan, kok. Bepergian keluar kota dengan duit pas-pasan juga sudah membuatmu keringat dingin, kok.
Yang biasa sajalah jadi orang.
Kalau pemerintah sudah memberi perintah diam di rumah, yaudah semua ikhtilaf (perbedaan pendapat) seharusnya selesai.
ADVERTISEMENT
حكم الحاكم يرفع الخلاف
"Keputusan hakim meniadakan perbedaan pendapat."
Perbedaan pendapat di sini harus dari yang ahli, bukan dari praktisi dukun ala-ala yang sok tahu berbagai hal dan hanya bermodal cocoklogi.
Perbedaan ini harus dari (misalnya): pakar epidemiologi, virologi, pulmonologi, farmanologi, hingga psikotropika (berita terakhir, kandungan ganja bisa jadi bahan melawan Corona).
Seperti tantangan Gus Baha, gitu lho. Kalau pingin mendebat beliau, paling tidak harus hafal Alquran dulu, dua-tiga tafsir babon yang otoritatif, berapa ratus hadis dari Bukhari-Muslim.
Itu baru disebut perbandingan yang imbang!
Nanti jadi perbandingan yang jomplang (قياس مع الفارق) kalau bukan antar pakar yang berbicara, dan itu bukanlah perdebatan yang dimaksudkan.
Corona sudah jadi Tho'un (pandemik). Ilmu medis yang mengatakan itu. Praktisi abal-abal kudu tahu diri & seharusnya menahan mulut untuk berkomentar macam-macam.
ADVERTISEMENT
Peniadaan salat Jumat selama dua minggu, misalnya. Kursi diskusinya untuk para pakar epidemiologi, virologi, hingga praktisi investigasi medik.
Epidemiolog sudah memperhitungkan masa paling pendek untuk menangani Corona di Indonesia adalah tiga bulan (itu penanganan, belum lagi masa pemulihan yang barangkali memakan waktu yang sama). Hipotesa investigasi medik belum menemukan adanya indikasi virus ini dibuat oleh oknum sebagai senjata biologis. Dan ini artinya virus ini lahir alamiah.
Barulah peran ulama muncul untuk pertimbangan syariat setelah rumusan metodologi ilmiah para saintis di atas itu rampung & selesai.
Jika memang harus ada peniadaan ibadah salat Jumat, legitimasi syariatnya jadi wilayah perdebatan antar kiai & ulama. Jika sedemikian bahaya, memang sudah sepantasnya peniadaan itu dilakukan (bahkan wajib dilakukan).
ADVERTISEMENT
Jika sampai ada kiai atau ulama yang memotivasi orang untuk ngotot beribadah dalam kerumunan--karena alasan mendekatkan diri pada Allah itu kewajiban seorang hamba, itu sama halnya kiai atau ulama tersebut menghalalkan perempuan menstruasi mendirikan salat.
Beribadah itu syariat Allah. Tidak beribadah (karena uzur!) pun syariat Allah. Dua-duanya sudah diatur Gusti Allah. Tidak ada yang dilanggar!
Silakan memberikan ijazah daf'il bala', salawat, atau menegaskan qunut nazilah setiap maktubah (di rumah masing-masing). Hal itu membuat agama jadi jauh lebih bermakna bagi pemeluknya. Karena jika benar terjadi kekacauan pandemik, satu-satunya yang dimiliki masyarakat hanyalah harapan. Dan harapan itu hanya agama yang bisa memberikan.
Demikian~