LIPUTAN KHUSUS, Tumpahan Minyak Pertamina, Pantai Tanjung Pakis, Karawang

Yang Terlupa dari Bencana di Laut Jawa

Rumail Abbas
Hadir dalam kata yang tidak akan kamu temukan dalam kamus mana pun
5 Agustus 2019 19:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara Pantai Tanjung Pakis, Karawang, yang tercemar tumpahan minyak Pertamina. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara Pantai Tanjung Pakis, Karawang, yang tercemar tumpahan minyak Pertamina. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 12 Juli 2019, muncul gelembung gas di Sumur YYA-1 milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di Pantai Utara Jawa, Karawang, Jawa Barat. Kebocoran minyak tersebut menyebar ke sebelas desa dari mulai Karawang, Kepulauan Seribu Jakarta, hingga Bekasi, pada 5 Agustus 2019.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, selama 2,5 bulan ke depan Karawang akan menjadi wilayah “tanggap darurat” dan selama enam bulan ke depan diberlakukan masa recovery.
Memang tidak sebentar, karena kemungkinan minyak yang tumpah bisa mencapai 3.000 barel per hari (Bph) beserta gas sebesar 23 juta kaki kubik per hari dan diperkirakan 45,37 kilometer persegi perairan laut akan tercemar (hampir mendekati luas Jakarta Pusat).
Sama seperti PLN yang kurang berhasil memprediksi dan merespon kegagalannya, PT Pertamina pun gagal memprediksi, mengontrol tumpahan minyaknya, serta kurang mampu mengingatkan masyarakat pesisir terkait bahaya tumpahan minyak tersebut.
Terbukti, saat gelembung gas muncul pada 12 Juli dini hari, ada jeda lima hari bagi PT Pertamina untuk diam hingga diberitahukan kepada publik pada 17 Juli.
ADVERTISEMENT
Saya bisa paham mengapa #MatiListrikMassal punya akselerasi viral lebih besar, karena terjadi secara mengejutkan di wilayah terdampak warganet paling cerewet: Ibu Kota Indonesia.
Namun, tidak mengikuti liputan mengenai tumpahan minyak di Karawang, penanggulangan-penanggulangan yang dilakukan, serta tuntutan hukum yang bisa ditimbulkan adalah sikap yang abai.
Padahal, peristiwa ini sudah tiga minggu jalan.
Kendati pun demikian, jika ditambah ontran-ontran #MatiListrikMassal yang masih menjadi petasan bibir di media sosial, maka Bencana Minyak di Laut Jawa tidak menambah rekam jejak yang baik bagi perusahaan milik negara.
Warga mengumpulkan tumpahan minyak (oil spill) yang tercecer di Pesisir Pantai Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, Senin (22/7). Foto: ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar
Apa yang bisa dilakukan?
Paling pertama, peristiwa ini menjadi tanggung jawab mutlak korporasi. Kedua, terdapat tiga isu besar yang harus benar-benar diperhatikan untuk melihat peristiwa ini: Ancaman lingkungan, gangguan kesehatan warga, dan ekonomi wilayah terdampak.
ADVERTISEMENT
Kesehatan lingkungan menjadi penting diperhatikan. Karena prinsip dasarnya minyak dan gas adalah aset alam, bukan sekadar sumber pendapatan. Logika yang terbalik tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali korporasi ugal-ugalan. Tanpa banyak pikiran, rasanya bakal mudah untuk menjawab pertanyaan: Siapa pihak yang bakal benar-benar menyesal ketika keberlanjutan alam terhenti?
Tumpahan minyak, selain meracuni sejumlah organisme laut, juga memiliki dampak yang kompleks bagi kesehatan warga. Minyak mentah memiliki zat berbahaya yang tidak bisa bersentuhan langsung dengan manusia tanpa perlindungan khusus. Itulah kenapa ada prosedur isolasi area tercemar dan standar operasi penghentian sumber pencemaran.
Sebelum sampai ke sini, mengaca pada kecelakaan yang sama yang dilakukan PT Pertamina dalam waktu yang tak lama, harus ada keterbukaan terkait standar operasi penanganan dan prosedur kedaruratan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, yang harus dihentikan PT Pertamina dalam waktu segera: Menghentikan warga (yang tidak bisa melanjutkan profesinya sebagai nelayan) untuk ikut membantu mengatasi kebocoran.
Warga di wilayah terdampak adalah korban. Membiarkan mereka berpartisipasi membersihkan pantai tanpa mendapatkan pengetahuan dan informasi yang baik tentang prosedur penanganan, adalah sebuah kebodohan. Lebih-lebih Pertamina justru memberikan upah Rp 100 ribu per hari, sebagai iktikad baik ketika mereka berhenti melaut.
Kemudian, setidaknya terdapat dua sektor ekonomi yang dirugikan: Nelayan dan kepariwisataan. Untuk hal ini, kita tidak sekadar berbicara tentang kompensasi atau penggantian mata pencaharian yang hilang (atau merugi). Namun, bisa ke arah rehabilitasi, jaminan sosial-ekonomi, dan rebranding wilayah pariwisata.
Terakhir, namun tidak kalah penting, yaitu perhatian tentang tuntutan hukum yang bisa ditimbulkan: Ganti rugi lingkungan, jasa lingkungan, biaya pemulihan atau restorasi, dan biaya penyelesaian sengketa lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kali ini, saya mengajak anda semua untuk tidak abai.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten