Menjelajahi Relief Fauna di Candi Borobudur

Rusdianto
Peneliti Ikan di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cibinong
Konten dari Pengguna
27 Maret 2024 15:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rusdianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Candi Borobudur. Foto:  Artherng/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Candi Borobudur. Foto: Artherng/Getty Images
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak kenal dengan Candi Borobudur, monumen Buddha terbesar dan termegah di dunia yang terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Eksistensinya sudah tersohor hingga mancanegara sebagai bangunan suci sekaligus destinasi wisata yang selalui ramai dikunjungi oleh ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat bahwa candi ini dibangun sekitar abad ke-7 hingga 8 Masehi oleh Raja Mataram Kuno pada masa Dinasti Wangsa Syailendra. Sebagai bukti fisik yang fenomenal dan menyimpan bukti sejarah, Candi Borobudur telah diakui sebagai salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO dengan nomor 592 sejak tahun 1991.
Candi Borobudur berbentuk persegi dengan tinggi 35,4 meter dan tersusun atas sepuluh tingkatan teras, dengan teras pertama sampai ketujuh berbentuk persegi dan teras kedelapan sampai kesepuluh berbentuk lingkaran. Pada dinding Candi Borobudur terpahat relief cerita yang dimulai dari tingkatan kaki (Kamadhatu) hingga badan (Rupadhatu) yang dapat dibagi menjadi empat kelompok relief cerita yaitu Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka-Avadana, dan Gandawyuha dengan total 1460 panil.
ADVERTISEMENT
Ketika dicermati dengan seksama, kita mungkin akan merasa sangat takjub dengan keahlian seniman pada masa itu karena dapat membuat karya seni dengan sangat detail dan proporsional. Seniman dapat memvisualisasikan ekspresi wajah manusia dengan sangat detail sehingga ekspresi saat sedih, senang, atau marahdapat teramati dengan jelas.
Selain itu, bentuk morfologi flora juga dipahat dengan begitu presisi, mulai dari bentuk daun, ujung daun, pangkal daun, duduk daun, maupun susunan buahnya sehingga dapat diidentifikasi oleh ahli botani. Begitu juga dengan pahatan fauna, bentuk morfologi, tingkah laku, maupun kesesuaian dengan habitat di mana fauna tersebut biasa hidup, juga dipahat dengan penuh penghayatan.
Tingkah laku burung saat terbang, hinggap di dahan, maupuan saat mencari makan dipahat dengan sangat rapi dan proporsional. Seniman tentu memiliki pesan tersirat yang ingin disampaikan kepada pembaca, termasuk setiap fauna yang dimunculkan yang selalu berbe-beda di setiap panilnya.
ADVERTISEMENT
Pada tulisan kali ini saya akan mengajak pembaca untuk menjelajahi relief fauna yang ada di Candi Borobudur terutama dari sudut pandang ilmu Biologi. Kira-kira ada jenis fauna apa saja di Candi Borobudur, dan apa makna yang ingin disampaikan seniman dengan memunculkan pahatan berbagai jenis fauna tersebut? Yuk simak ulasannya di bawah ini.

1. Cermin kekayaan fauna Nusantara

Di 120 panil relief Lalitavistara ditemukan 23 jenis mamalia dan 22 jenis burung. Fauna mamalia tersebut antara lain: Monyet Kra, Lutung Budeng, Anjing Kampung, Sero Ambrang, Binturung Muntu, Linsang, Musang Luwak, Garangan Jawa, Singa Asia, Harimau, Gajah Jawa, Kuda Ternak, Babi Celeng, Pelandung Peucang, Kijak Muntjak, Rusa Timor, Kerbau, Trenggiling Peusing, Bajing Hitam, Bajing Kelapa, Jelarang Hitam, Tikus Hutan, dan Kelinci. Sedangkan dari kelompok burung diantaranya Elang, Merak Hijau, Merpati, Bebek, Gagak Hitam, dll.
ADVERTISEMENT
Sebagian fauna yang dipahat di Candi Borobudur merupakan fauna asli Indonesia sehingga merefleksikan kekayaan fauna Nusantara pada masa itu. Beberapa fauna seperti Harimau Jawa dan Gajah Jawa bahkan saat ini sudah dinyatakan punah, namun bukan tidak mungkin dulu pernah hidup di tanah Nusantara yang diabadikan dalam pahatan relief Candi Borobudur

2. Fauna sebagai komponen pembangun latar tempat adegan

Fauna dapat dijadikan sebagai tanda tempat di mana adegan atau peristiwa sedang berlangsung. Perbedaan antara penggambaran lokasi adegan di istana, di hutan, di pegunungan, di sungai, di taman atau di pemukiman dapat dikenali berdasarkan kemunculan jenis-jenis faunanya. Hal tersebut dapat tergambar dari kebiasaan lingkungan alami yang disukai oleh spesies mamalia tersebut. Misalnya Sero Ambrang, lebih menyukai habitat sungai.
ADVERTISEMENT
Jika di dalam panil terpahat Sero Ambrang, maka kemungkinan besar peristiwa atau adegan sedang terjadi di sekitar sungai atau perairan. Contoh lainnya, Trenggiling Peusing lebih menyukai habitat hutan, maka jika terdapat Trenggiling Peusing kemungkinan adegan atau peristiwa sedang berlangsung di hutan. Begitu juga dengan Kuda Ternak yang umumnya dijumpai di habitat pemukiman atau pedesaan.
Sero Ambrang, Rusa Timor, Babi Celeng, Kareo Padi, dan Merak Hijau sebagai penanda lokasi peristiwa yang terjadi di hutan dekat perairan (Foto: Balai Konservasi Borobudur)

3. Fauna sebagai penanda waktu

Beberapa jenis fauna baik mamalia maupun burung terpahat dalam berbagai kondisi aktivitas, ada yang sedang mencari makan, ada yang sedang duduk di bawah kanopi pohon, sedang terbang, dan lain sebagainya. Penggambaran aktivitas fauna tersebut sejalan dengan aktivitas alaminya sehingga dapat dijadikan penanda waktu kapan peristiwa terjadi, apakah pagi, siang, atau malam hari. Lutung Budeng, Bajing Hitam, Bajing Kelapa, merupakan satwa diurnal atau aktif pada pagi sampai sore hari.
ADVERTISEMENT
Keberadaannya di panil yang sedang aktif mencari makan sekaligus menjadi penanda waktu bahwa adegan peristiwa di panil terjadi pada pagi hingga sore hari. Kelinci Tengkuk-Cokelat dan Rusa Timor yang dipahat dalam kodisi sedang duduk berteduh di bawah kanopi pohon, maka kemungkinan adegan peristiwa terjadi pada siang hari setelah fauna tersebut istirahat setelah mencari makan.
Bajing Kelapa, Merpati, dan Kucica Kampung (kanan atas) sedang aktif mencari makan, sebagai penanda waktu waktu pagi hingga sore hari (Foto: Balai Konservasi Borobudur)

4. Fauna sebagai alat transportasi

Di beberapa adegan panil terpahat imaji rombongan raja maupun Bodhisattva melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh kuda. Keberadaan Kuda Ternak di relief ini sekaligus menegaskan fungsinya sebagai satwa untuk kendaraan atau transportasi. Selain Kuda Ternak, di beberapa adegan panil tampak Gajah Jawa juga berperan sebagai satwa kendaraan atau tunggangan.
4 individu Kuda sedang menarik kereta rombongan raja (Foto: Balai Konservasi Borobudur)

5. Fauna sebagai ragam hias

Singa Asia bukan merupakan spesies mamalia asli Indonesia. Singa Asia muncul sebanyak 17 individu dan lokasi kemunculannya dapat dikelompokkan berada di dua tempat, yaitu di singgasana dan di hutan. Kemunculan Singa Asia di singgasana hampir selalu berjumlah lebih dari satu individu.
ADVERTISEMENT
Keberadaannya di singgasana tergambar sebagai satwa ragam hias, bukan sebagai satwa liar yang hidup di habitat alaminya. Keberadaan Singa Asia di singgasana berkaitan erat dengan maknanya sebagai “satwa penjaga” atau Adhisatwa bagi keagungan dan kesucian yang direpresentasikan dalam imaji singgasana tersebut.
2 ekor simbol Singa di singgasana raja, bermakna sebagai ragam hiasan (Foto: Balai Konservasi Borobudur)
Sekian tulisan saya pada edisi kali ini. Semoga dapat menambah wawasan pembaca khususnya tentang relief fauna di Candi Borobudur sehingga menambah kecintaan kita terhadap sejarah dan warisan budaya Nusantara.