Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kenapa Stereotip dalam Politik Berbahaya?
9 April 2023 8:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Puput Rusmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pentingnya memahami tentang stereotip dalam politik adalah untuk memperjelas mendorong kita untuk lebih kritis dalam berpikir dan membantu mendorong perubahan positif dalam cara kita memilih pemimpin dan membuat kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Menurut Arif Rifki Lukmanul Hakim dkk pada Jurnal Audiens (2022) yang berjudul “Menolak Stereotipe Terhadap Perempuan Etnis Tionghoa Analisis Semiotika Iklan Bukalapak” bahwa stereotipe adalah representasi yang jelas namun sederhana yang mereduksi seseorang menjadi satu set sifat karakter yang dilebih-lebihkan, biasanya negatif, dan demikian merupakan suatu bentuk representasi yang esensial bagi orang lain yang ditayangkan oleh kekuasaan.
Sedangkan dalam Jurnal Obor Penmas Pendidikan Luar Sekolah (2020) yang ditulis oleh Ari Putra,dkk dengan judul “Kajian Gender: Sterotipe Pada Anak Dalam Keluarga”, Baron, Branscombe, dan Byrne (2008: 188) menjelaskan bahwa stereotipe adalah kepercayaan tentang sifat atau ciri-ciri kelompok sosial yang dipercayai untuk berbagi.
Stereotip dalam politik adalah pandangan umum yang diterapkan pada individu atau kelompok yang terkait dengan politik, berdasarkan pada karakteristik tertentu seperti jenis kelamin, agama, ras, etnis, atau orientasi politik.
ADVERTISEMENT
Stereotip dalam politik dapat mempengaruhi pandangan dan penilaian orang terhadap individu atau kelompok tersebut, bahkan tanpa alasan yang jelas. Stereotip dalam politik dapat menjadi berbahaya karena dapat mempengaruhi sikap dan keputusan politik seseorang, bahkan jika sikap dan keputusan tersebut tidak didasarkan pada kenyataan atau fakta. Hal ini dapat memperkuat ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam politik, dan membatasi kemampuan individu atau kelompok tertentu untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik.
Wajah Stereotip dalam Politik
Ada beberapa jenis stereotipe dalam politik yang bisa kita ketahui seperti stereotip gender, stereotip agama, stereotip sosial ekonomi.
Salah satu contoh adanya stereotip dalam politik terutama di Indonesia adalah stereotipe agama, dilansir oleh Ganto.co tahun 2023 pada artikel berjudul “Stereotip Agama dalam Politik” yang mengatakan bahwa agama sebagai candu terwujud bila manusia mengatasnamakan agama demi kepentingan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Karenanya, agama hanya terlihat sebatas ritual simbolik dengan formalisasi tanpa nilai-nilai subtansial yang maknawi dengan pandangan agama sebagai suatu yang simbolik pula, stereotip akhirnya tumbuh menjamur di kalangan masyarakat, hal ini dikomersialkan lewat televisi dan sosial media lalu diperparah oleh elite politik.
Melanggengkan agama sebatas hal yang simbolik dapat menjelaskan apa itu pandangan stereotip. Bahwa misalnya Islam lebih diidentikkan dengan terorisme, sedangkan Kristen lebih didentikkan dengan sikap hedonis dan kristenisasi.
Stereotip yang memperlihatkan bagaimana permusuhan Islam dan Kristen ini sebatas kecurigaan melalui kejadian yang dilakukan satu individu dalam satu kelompok. Misalnya mengenai sentimen Islamofobia yang menjadi sangat populer di Amerika Serikat sejak Peristiwa 9/11. Dan misalnya kampanye negatif yang menyerang masalah personal agama antara Jokowi dan Prabowo pada masa-masa pemilu beberapa bulan kemarin.
Selanjutnya dalam penelitian Danik Eka Rahmaningtiyas dan Iin Ervina pada Jurnal INSIGHT tahun 2014 yang berjudul “Stereotip Kepemimpinan Publik Perempuan pada Dunia Politik (Studi Deskriptif di Kabupaten Jember)” pada hasil temuannya menyebutkan bahwa stereotip kepemimpinan publik perempuan di bidang politik tergantung pada peran seks (contoh: melahirkan, menyusui, merawat anak-anak dan suami, dll) dan ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap stereotip seperti faktor pengasuhan, nilai-nilai sosial budaya, doktrin agama, dan pemahaman hukum positif tentang perempuan yang terjun dibidang politik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada isi jurnal tersebut juga menjelaskan bahwa ada Salah seorang tokoh organisasi keagamaan di Jember pada bulan Maret 2007 dalam sebuah rapat kerja organisasi kepemudaan, bahkan mengecam tiap kepemimpinan publik perempuan pada posisi teratas.
Beliau menyampaikan, “Bahwa nash-nash di dalam Al Quran sudah jelas melarang seorang perempuan memegang tampuk kepemimpinan, karena mudlorotnya lebih besar.” Seperti yang ada dalam nash hadits yang berbunyi: “Tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi perkara mereka itu perempuan.” Juga dalam Firman Allah SWT: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (Q.S. An-Nisa’ : 34). Dua landasan tersebut seringkali menjadi landasan mutlak kajian tekstual sebuah fenomena.
ADVERTISEMENT
Dampak Stereotip dalam Politik
Stereotip dapat berdampak negatif dalam pengambilan keputusan dan tindakan para pemimpin politik karena dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap individu atau kelompok tertentu secara tidak objektif. Beberapa dampak negatif dari stereotip dalam pengambilan keputusan dan tindakan para pemimpin politik seperti adanya diskriminasi, prejudice atau prasangka, kekerasan dan hilangnya peluang. Beberapa hal tersebut dapat membatasi partisipasi politik dan merugikan demokrasi.
Pengaruh stereotip pada masyarakat dapat sangat merugikanseperti memperkuat prasangka dan diskriminasi, serta menghasilkan kesalahpahaman dan ketidakadilan dalam masyarakat, dapat juga mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kelompok tertentu dan memperkuat perbedaan dan konflik antara kelompok.
Dalam konteks kebijakan publik, stereotip dapat menghasilkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, seperti kelompok minoritas atau kelompok marginal. Kebijakan ini dapat memperburuk ketimpangan dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stereotip dalam Politik
Ada beberapa hal yang mempengaruhi terbentuknya stereotip dalam politik seperti kultur politik, media massa yang di mana jika media massa hanya memberikan liputan yang bersifat negatif atau memojokkan suatu partai atau pemimpin akan dapat memicu terbentuknya stereotip negatif, pengalaman pribadi, pendidikan di mana orang yang memiliki pendidikan yang rendah mungkin lebih mudah terpengaruh oleh stereotip politik yang sederhana, isu-isu politik, kepentingan politik.
Dalam kesimpulannya, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan stereotip dalam politik. Faktor-faktor tersebut meliputi kultur politik, media massa, pengalaman pribadi, pendidikan, isu-isu politik, dan kepentingan politik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu bersikap kritis dan mempertimbangkan semua sumber informasi sebelum membentuk pandangan atau stereotip politik.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus: Contoh Bagaimana Stereotip dalam Politik Mempengaruhi Keputusan dan Tindakan Para Pemimpin
Studi kasus yang dapat diambil sebagai contoh bagaimana stereotip dalam politik mempengaruhi keputusan dan tindakan para pemimpin adalah kasus perempuan pemimpin yang seringkali dianggap kurang kompeten atau tidak mampu memimpin.
Alice H. Eagly dan Linda L. Carli pada Harvard Business Publishing yang berjudul “Women and the Labyrinth of Leadership” tahun 2008, mengatakan pada sekitar tahun 1980-an Presiden Richard Nixon yang direkam dalam kaset audio Gedung Putih dan dipublikasikan melalui Undang-Undang Kebebasan Informasi, menjelaskan bahwa ia tidak akan menunjuk seorang perempuan untuk menjadi hakim agung AS karena menurutnya perempuan tidak harus bekerja di pemerintahan, Nixon berkata “I don’t think a woman should be in any government job whatsoever…mainly because they are erratic. And emotional. Men are erratic and emotional, too, but the point is a woman is more likely to be.”.
ADVERTISEMENT
Alice H. Eagly dan Linda L. Carli juga mengatakan bahwa dalam kondisi budaya yang demikian di mana pendapat seperti itu dipegang secara luas, perempuan hampir tidak memiliki kesempatan untuk peran kepemimpinan.
Kasus lain dapat dilihat dari hasil studi dari Alice H. Eagly dan Steven J. Karau dalam Psychological Review American Psychological Association tahun 2002 dengan judul “Role Congruity Theory of Prejudice Toward Female Leaders” yang mengatakan bahwa ada dua prasangka yang dialami oleh perempuan dalam kepemimpinan yaitu menganggap perempuan kurang disukai daripada laki-laki sebagai calon penghuni peran kepemimpinan dan mengevaluasi perilaku yang memenuhi resep peran pemimpin kurang disukai jika dilakukan oleh perempuan.
Hal ini kemudian menimbulkan konsekuensi sikap yang kurang positif terhadap pemimpin dan calon pemimpin perempuan yang dibandingkan dengan laki-laki. Konsekuensi lainnya adalah kesulitan perempuan untuk menjadi pemimpin dan mencapai kesuksesan dalam peran kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, stereotip dalam politik dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan para pemimpin dan menghambat kemajuan dalam mencapai kesetaraan gender dan keadilan sosial. Penting untuk mengenali stereotip dan berusaha untuk memerangi mereka dalam politik agar perempuan pemimpin dapat memimpin dan dihargai dengan adil dan setara dengan laki-laki pemimpin.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengatasi stereotip dalam politik dengan cara meningkatkan kesadaran tentang stereotip dan mengubah pandangan yang salah tentang kelompok tertentu dalam masyarakat. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan partisipasi politik dari kelompok-kelompok yang terdiskriminasi dan memberikan kesempatan yang setara untuk mereka dalam politik.
Dengan mengatasi stereotip dalam politik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan inklusif, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses politik dan memimpin.
ADVERTISEMENT
Live Update
Mantan Menteri Perdagangan RI Tom Lembong menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/11). Gugatan praperadilan ini merupakan bentuk perlawanan Tom Lembong usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Updated 26 November 2024, 12:00 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini