Konten dari Pengguna

Korban Pelecehan Seksual Bukan untuk Disudutkan

Rusti Dian
Mass and Digital Communication Student, Faculty of Social and Political Science Atma Jaya Yogyakarta University
25 Oktober 2018 16:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rusti Dian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bukan menjadi hal yang tabu lagi jika di era sekarang masyarakat cenderung blak-blakan dalam membahas tentang fenomena pelecehan seksual. Pasalnya, di Indonesia sendiri, pelecehan seksual memang masih sering terjadi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilansir dari Tribun News, di Kabupaten Bandung sendiri dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2018 setidaknya korban pelecehan seksual sudah mencapai angka yang cukup tinggi yakni 65 laki-laki dan 85 perempuan. Pelecehan seksual yang mereka alami ini antara lain menyangkut pencabulan, sodomi, perdagangan manusia, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut PBB, pelecehan seksual dibagi menjadi tiga jenis yaitu pelecehan seksual verbal, non-verbal, dan fisik. Pelecehan seksual verbal biasa dikenal juga dengan istilah catcalling, di mana seseorang menggoda korban lewat ucapan yang tidak senonoh dan cenderung menjurus pada tindakan mesum. Tak hanya itu, mereka pun melakukan cara yang lain untuk menarik perhatian korban dengan cara bersiul, memanggil, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual non verbal biasanya pelaku akan membuat suara atau gaya yang berbau seksual kepada korban, sebagai contoh adalah mengeluarkan suara desahan. Sedangkan pelecehan seksual secara fisik bisa dilihat dari gerak-gerik pelaku yang mulai mendekatkan “organ vitalnya” dengan si korban. Intinya, pelaku sudah sampai ke tahap melakukan kontak fisik dengan korban.
Jika demikian, apakah pelecehan seksual dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja? Jawabannya YA.
Hal itu dikarenakan pelaku yang sudah memiliki imajinasi tertentu tentang seks pasti akan mencoba merealisasikannya (memuaskan hasratnya) kepada orang-orang tertentu yang bisa ia dapatkan secara random. Artinya, pelaku tidak harus meminta seseorang untuk memuaskannya, namun pelaku bisa melakukannya dengan siapa saja yang ia temui di tempat di mana ia sedang berada.
ADVERTISEMENT
Masyarakat memang tidak bisa hanya memandang dari satu sisi saja karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki stigma negatif dengan korban pelecehan seksual. Dilansir dari Tirto, masyarakat Indonesia justru menganggap biasa adanya fenomena pelecehan seksual. Dan anehnya lagi, mereka pasti akan menuduh si korban dengan berbagai hantaman kalimat seperti; “salah sendiri keluar malem-malem”, “makanya pakai baju yang sopan”, dan masih banyak lagi.
Belum lagi jika korban pelecehan seksualnya adalah laki-laki. Masyarakat pasti akan langsung men-judge-nya kaum yang lemah karena tidak bisa melawan. Begitu pun pada perempuan. Masyarakat juga akan semakin liar dalam memberikan komentarnya. Dan logika seksis semrawut yang sampai kini masih berkembang di masyarakat adalah memberikan label bahwa laki-laki itu cenderung agresif, sedangkan perempuan cenderung pasif.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana perlakuan masyarakat terhadap para korban pelecehan seksual?
Hampir sebagian besar masyarakat di era sekarang lebih suka didengarkan daripada mendengarkan. Hal itulah yang juga menjadi pertimbangan korban pelecehan seksual untuk angkat bicara atas sesuatu yang terjadi pada dirinya. Belum lagi jika korban harus menerima value judgements dari lingkungan sekitar.
Artinya, korban belum sepenuhnya merasa aman dan percaya untuk bercerita, maka dari itu mereka memilih untuk diam. Karena terkadang tanggapan dari orang lain justru lebih berpotensi membuat korban semakin trauma, bukannya malah menjadi lega.
Cukup sulit memang untuk menyingkirkan stigma negatif masyarakat terkait adanya sexual harassment. Apalagi jika ditambah dengan kondisi kurangnya budaya literasi yang berpotensi menimbulkan pola berpikir yang linier dan sulit untuk open minded.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, sebagai masyarakat yang baik, jangan sekali-kali langsung mengambil keputusan untuk menjatuhkan judgements kepada korban atau pelaku (secara sepihak). Namun, cobalah untuk melihat dari kedua sisi. Dan jangan menempatkan posisi berat sebelah yang nantinya dapat berpengaruh pada mental baik korban maupun pelaku.
Penulis : Rustiningsih Dian Puspitasari