Konten dari Pengguna

Sejauh Mana Kebebasan Menyampaikan Pendapat

Rusydi Sastrawan
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kepahiang
15 Oktober 2019 10:24 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rusydi Sastrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rusydi Sastrawan, SH. MH. Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kepahiang
-----
ADVERTISEMENT
Foto unjuk rasa mahasiswa di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, 14 September 2018. Kredit foto: Eny Immanuella Gloria/kumparan
Pasca Reformasi tahun 1998 sampai dengan hari ini, semua rakyat Indonesia berhak dan berkewenangan dalam menyampaikan pendapat sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" (perubahan kedua UUD 1945).
Namun kesalahpahaman di dalam memaknai aturan tersebut tetap selalu ada karena masih banyak memaknai kebebasan tersebut merupakan kebebasan tanpa batas.
Di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tegas menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
ADVERTISEMENT
Apabila merunut dari pokok pasal di atas, maka turunan dalam kebebasan menyampaikan pendapat terdapat produk undang-undang yang lebih eksplisit menjelaskan ketentuan mengenai kebebasan berpendapat yang tidak lain tujuannya memberikan penjelasan dan petunjuk bagi kita semua dalam memahami makna kebebasan berpendapat.
Penulis ambil contoh Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang mengatur prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggara Pers di Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan masih banyak undang-undang lain yang mungkin salah satu tolok ukurnya merupakan penjabaran dari kebebasan menyampaikan pendapat tersebut.
Menjadi menarik bagi penulis mengupas dan menelaah arti dari sebuah KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT yang diatur oleh negara kita, tentunya ide penulisan berdasarkan fakta yang ada sebagaimana video yang beredar maupun berita-berita baik melalui media televisi maupun postingan di berbagai media sosial yang menunjukkan adanya kegiatan “MENYAMPAIKAN PENDAPAT” mungkin dalam bentuk bahasa media atau sehari-hari disebut “AKSI DEMONSTRASI”.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi pokok permasalahan dalam aksi demonstrasi tersebut, penulis mencoba mengawali dengan kalimat tanya: Apa hak dan kewajiban warga negara yang ingin menyampaikan pendapat dan apa sanksi serta batasan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat?
Bahwa untuk menjawab permasalahan tersebut tentunya pendekatan penulis adalah yuridis normatif dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu: Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Mari kita kupas apa hak dan kewajiban warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum: Hak dan kewajiban warga negara di dalam menyampaikan pendapat di muka umum diatur di dalam BAB III Pasal 5 s.d Pasal 8:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bahwa berdasarkan uraian di atas, aksi demonstrasi merupakan hak warga negara dan dapat mengeluarkan pemikirannya secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum terhadap kebebasan tersebut, tapi batasan kebebasan tersebut lagi-lagi bukan kebebasan yang tanpa batas karena kebebasan tersebut bersyarat yaitu menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan; Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bahwa sanksi terhadap setiap pelanggar juga diatur di dalam Pasal 16 bahwa Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahkan penanggung jawab pelaksana dari kegiatan aksi tersebut ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok dalam Pasal setelahnya yaitu Pasal 17.
ADVERTISEMENT
Bahwa warga negara di dalam menyampaikan pendapat juga diberi hak yang sama atas perlindungan kebebasannya sebagaimana diatur di dalam pasal 18 bahwa yang menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang telah memenuhi ketentuan undang-undang ini diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjadi permasalahan baru dan menjadi pertanyaan kita semua: Apakah dibenarkan menghina, menghujat, ketika orasi pada saat demonstrasi?
Untuk menjawab pertanyaan sensitif di atas penulis kembali mengkaji pertanyaan tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan dan membuka buku kembali, apabila pembaca tidak sependapat dengan penulis anggap saja ini sebagai tambahan wawasan dan silakan dikoreksi kekurangannya.
ADVERTISEMENT

Menghujat, Menghina serta Perkataan Kotor Lainnya

Sebelum membahas lebih jauh persoalan ini, maka kembali kita membahas hak dan kewajiban warga negara di dalam menyampaikan pendapat di muka umum di mana di satu sisi hak warga negara mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum namun sisi lainnya ada kewajiban untuk menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk itu, kembali pada persoalan menghujat, menghina, serta perkataan kotor lainnya, maka tidak ada di dalam peraturan manapun melegalkan atau melepaskan dan/atau menjadi alasan pemaaf dan pembenar ketika melaksanakan orasi pada saat demontrasi melakukan perbuatan menghujat, menghina, dan perkataan kotor lainnya, tidak dibenarkan oleh suatu perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu perbuatan maupun perkataan kotor bisa dikenakan pidana sebagaimana diatur di dalam KUHP, yaitu:
(Buku: S.R. SIANTURI, SH “Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya”, halaman 555 s.d 576)
ADVERTISEMENT
Bahwa dalam KUHP ini penghinaan adalah penamaan secara umum yang pada umumnya berarti penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Kehormatan adalah rasa kehormatan yang ada pada diri sendiri yang bersifat batiniah dan nama baik juga merupakan rasa kehormatan akan tetapi lebih bersifat lahiriah. (Buku: S.R. Sianturi, SH “Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya” halaman 556)
Bahwa penghinaan menurut buku R. Soesilo “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, halaman 225, bahwa menghina yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang yang diserang itu biasanya merasa “malu”. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksuil.
Apa perbedaan apabila penghinaan tersebut dilakukan juga melalui media sosial maupun media elektronik lainnya maka yang berlaku adalah asas lex specialis derogat legi generalis yaitu UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK atau lebih dikenal dengan istilah UU ITE, pasal yang mengatur mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian berdasarkan SARA diatur dalam Pasal 27 ayat(3) UU ITE dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE:
ADVERTISEMENT
Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Kemudian ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Perlu dibahas kembali permasalahan dalam tulisan ini tentang menghujat, menghina, serta perkataan kotor lainnya, maka jawaban dari permasalahan tersebut dilarang di dalam ketentuan perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan di atas dan untuk kata menghujat dan perkataan kotor lainnya tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam undang-undang tetapi bukan berarti hal tersebut diperbolehkan karena menurut peraturan perundang-undangan kata-kata tersebut bisa masuk dalam arti “penghinaan”. Atau setidak-tidaknya pelanggaran terhadap kewajiban di dalam mengemukakan pendapat di muka umum karena kita wajib menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum dan tentunya kata-kata hujatan dan kata-kata kotor merupakan perbuatan yang sama-sama kita yakini dan nilai merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lalu menjadi permasalahan kembali ketika membedakan mana kritikan dan mana penghinaan karena menurut hemat penulis, selalu jawabannya seperti uraian di atas pertarungan esensial dalam memaknai kebebasan berpendapat di mana di satu sisi hak warga negara mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, namun sisi lainnya ada kewajiban untuk menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan Menjaga Keutuhan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis, kritikan tetap berbeda dengan penghinaan sebagaimana dimaksud penghinaan di dalam ketentuan undang-undang karena penghinaan adalah sebuah kejahatan dan esensi dari sebuah penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang (sebagaimana telah diuraikan di atas) dan terkhusus untuk penghinaan terhadap seorang pejabat pada waktu dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah hukumannya ditambah 1/3 dari hukuman pokok (Pasal 316 KUHP).
ADVERTISEMENT
Dan menurut penulis, dari dulu hingga sekarang setiap orang dalam melakukan apapun akan selalu mendapatkan pembatasan yang berkaitan dengan hak orang lain. Penggunaan hak kebebasan menyampaikan pendapat tidak boleh melanggar kewajiban untuk menghormati harkat dan martabat orang lain.