Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Meneroka Jejak Sejarah Ogoh-ogoh: Bagaimana Tulak Tunggul Menjaga Harmoni Alam
13 April 2025 18:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rusydan Fauzi Fuadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belakangan ini, beranda Instagram saya diwarnai dengan pawai ogoh-ogoh yang dilaksanakan di Tanah Seribu Pura; Bali. Salah satu yang menarik perhatian saya ada pada salah satu ogoh-ogoh yang tidak hanya besar dan menyeramkan, tapi juga memancarkan kekuatan simbolik dan mengandung makna filosofis yang kuat dan mendalam: Ogoh-ogoh Tulak Tunggul.
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah lebih jauh, saya mencoba menjabarkan bagaimana sejarah ogoh-ogoh ini bermula.
Muasal budaya ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan patung raksasa yang menjadi bagian integral dari tradisi Hindu Bali saat menjelang Hari Raya Nyepi, yang menandai Tahun Baru Saka. Istilah "ogoh-ogoh" sendiri berasal dari bahasa Bali, "ogah-ogah," yang berarti "digoyang-goyangkan," ini merujuk pada cara patung yang diarak dengan gerakan yang membuatnya seolah-olah hidup dan menari.
Tradisi ini sebenarnya relatif baru dalam sejarah Bali, ia mulai berkembang pada 1980-an, meskipun akar budayanya dapat ditelusuri lebih jauh ke tradisi kuno masa lampau.
Secara historis, tradisi ogoh-ogoh mulai dikenal luas pada 1983. Kala itu, Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah Indonesia. Keputusan ini mendorong masyarakat Bali, terutama di Denpasar, untuk menciptakan perwujudan visual Bhuta Kala—konsep dalam Hindu Bali yang melambangkan kekuatan alam semesta (Bhu) dan waktu (Kala) yang tak terukur—dalam bentuk patung raksasa yang dikenal sebagai ogoh-ogoh.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini kemudian meluas ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke-XII, menjadikannya bagian dari perayaan budaya yang lebih besar. Sebenarnya, pada era 1980-an patung serupa yang disebut "onggokan" (sesuatu yang diangkat-angkat) sudah ada, tapi hanya digunakan dalam upacara kremasi besar (pelebonan) oleh keluarga bangsawan, dan bukan untuk Nyepi.
Ogoh-ogoh biasanya diarak pada malam Pengerupukan, sehari sebelum Nyepi, ini dilakukan sebagai bagian dari upacara Tawur Kesanga yang bertujuan untuk menetralkan energi negatif dan "menenangkan" makhluk dari alam bawah.
Patung ini melambangkan Bhuta Kala, yang merepresentasikan sifat-sifat negatif seperti kekacauan, kejahatan, atau energi buruk, baik di alam semesta (Bhuana Agung) maupun dalam diri manusia (Bhuana Alit). Itulah mengapa patung ogoh-ogoh didesain serupa makhluk raksasa yang terlihat bengis dan menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari sisi sosial, pembuatan ogoh-ogoh berpotensi memperkuat ikatan komunitas. Sebab, setiap banjar (kelompok masyarakat Bali) saling bersinergi dan bergotong royong untuk membuat patung ini.
Kerja-kerja kolektif semacam ini tentu dapat mentransmisikan nilai-nilai seni, budaya, dan tradisi dari generasi tua ke generasi muda, sehingga rantai kebudayaan yang telah mengakar kuat ini akan senantiasa terus terjaga kelestariannya.
Kiwari, ogoh-ogoh berevolusi dari bentuk sederhana berbahan bambu dan kertas menjadi karya seni yang lebih kompleks, bahkan mengadopsi elemen kontemporer seperti teknologi mekanis, meskipun hal ini menuai kritik karena dianggap mengurangi esensi spiritualitasnya.
Tulak Tunggul: Representasi keteguhan, perlindungan, dan harmoni alam
Patung raksasa mahakarya pemuda-pemudi Sekaa Teruna Teruni (ST) Sentana Luhur dari Banjar Kelodan, Desa Tampaksiring ini diarak pada malam Pangerupukan (28 Maret 2025), membikin decak kagum para warganet lintas platform.
ADVERTISEMENT
Ogoh-ogoh ini digambarkan dengan pose membungkuk, jari menelusup di antara bibir dan gusi, serta sorot mata yang penuh perhitungan—seperti seorang pemikir tua dari dunia lain. Berbeda dari ogoh-ogoh pada umumnya yang menyeramkan, karya ini justru memancarkan aura bijak bestari, seolah menyampaikan pesan mendalam tentang keseimbangan hidup.
Konseptor karya ini, Mang Egik, menegaskan bahwa Tulak Tunggul bukan hanya simbol Bhuta Kala belaka, tetapi juga cerminan pergulatan batin manusia dalam melawan energi negatif, sekaligus kritik sosial terhadap anatomi yang tidak selalu realistis (misalnya, kaki bengkok yang melambangkan ketidaksempurnaan manusia).
Jika dilihat secara etimologinya, "Tulak" berarti "menolak" atau "mengusir," sementara "Tunggul" dapat dimaknai sebagai "sisa," "akar," atau "sesuatu yang membatu." Dalam konteks ogoh-ogoh, Tulak Tunggul memperlambang upaya spiritual untuk menolak residual energi buruk, seperti stagnasi, dendam, trauma, atau kekacauan batin, yang mengendap dalam kehidupan manusia dan alam.
ADVERTISEMENT
Beberapa bahkan menyebut Tulak Tunggul sebagai simbol persatuan, yang kemudian berkorelasi pada konsep “Akatayang”—sebuah konsep pemikiran yang bercabang namun berakar pada satu batang kehidupan.
Itulah mengapa, Tulak Tunggul juga seringkali digambarkan sebagai pohon yang memiliki kekuatan magis, khususnya pohon beringin yang melambangkan keteguhan, perlindungan, dan persatuan.
Pohon beringin dalam budaya Bali juga diasosiasikan sebagai identitas wilayah dan keseimbangan dualitas kehidupan (Rwa Bhineda: baik-buruk, siang-malam), yang sering direpresentasikan dengan kain poleng hitam-putih yang mudah dijumpai di Bali.
Dengan segala nilai-nilai simbolisme yang terkandung di dalam Tulak Tunggul, serta sinergitas antar warganya sukes membikin ogoh-ogoh Tulak Tunggul menyabet Juara 1 dalam perayaan Pengerupukan 2025 di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.
Kemenangan ini menegaskan apresiasi tinggi masyarakat terhadap karya seni yang memadukan estetika, simbolisme, dan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam budaya dan tradisi ogoh-ogoh ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang yang berkecimpung dalam ranah kajian budaya, saya rasa tradisi ini bukan sekadar pawai, lebih dari itu, ia cerminan jiwa masyarakat Bali yang kaya akan budaya, seni, tradisi, dan spiritualitas yang mengakar kuat.
Tulak Tunggul, dengan segala keindahan dan maknanya, benar-benar membuat saya ingin suatu saat menyaksikan langsung kemegahan ogoh-ogoh di Bali.[*]