Konservasi Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati melalui Kentungan

Sri Handayani
Humas Pemerintah BRIN
Konten dari Pengguna
5 November 2022 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Jenis kentungan bambu. Foto: E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Jenis kentungan bambu. Foto: E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Kentungan bukanlah sebuah benda yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sebagian besar orang tentu mengenalnya dengan baik terutama generasi tua yang usia diatas 30 tahun. Dahulu, keberadaannya mudah ditemukan setiap wilayah desa atau pinggir kota untuk ronda malam, pemberitahuan adanya pencurian, kematian, bencana alam, ataupun kebakaran.
ADVERTISEMENT
Kentungan dibuat dari bahan bambu ataupun kayu, ukurannya ada yang kecil dan ada yang besar, bentuk besar ada yang disebut “bedug” biasa digunakan masyarakat sebagai penanda waktu salat tiba, dan memiliki nilai seni dan keindahan untuk mewujudkan nilai rasa dan mewakili kebudayaan dalam arti luas, yang perlu dipertahankan. Pada era teknologi yang semakin canggih ini, kentungan masih dapat ditemukan dalam bentuk aplikasi “smart phone”.
Studi etnobotani mengenai kentungan pernah dilakukan oleh peneliti Kelompok Riset Etnobotani, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Emma Sri Kuncari dan teknisi perekayasa Kelompok Riset Etnoekologi BRIN, Marwan Setiawan, bertujuan untuk mengungkapkan hasil kajian keanekaragaman jenis bambu dan kayu, nilai nilai sosial dan religius, dan upaya konservasi nilai budaya dan keanekaragaman hayati bahan baku pembuat kentungan.
ADVERTISEMENT
Penelitian dilaksanakan sekitar Oktober–Desember 2020, dengan metode pengamatan langsung pada beberapa wilayah Jawa, Bali, dan Lombok. Wawancara secara acak terpilih dengan pertanyaan seputar kentungan yang meliputi konsep, jenis, bahan, pemanfaatan, cara pembuatan, nilai nilai sosial dan religius hingga konservasi.
Penelitian menggunakan metode pendekatan dengan tujuan memperoleh data pengetahuan masyarakat menurut kacamata dan bahasa mereka, dilanjutkan dengan pendekatan etik yaitu pendekatan berdasarkan sudut pandang ilmu pengetahuan. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif kemudian dilengkapi dengan penelusuran pustaka.
Emma menjelaskan, pemilihan lokasi pengamatan di Jawa, Bali, dan Lombok adalah karena masih sering dijumpai kentungan ini ketiga lokasi tersebut, serta masyarakat masih memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pengamatan spesimen herbarium dari bambu dan kayu kentungan berada ruang spesimen flora dan fauna, gedung B dan C, fasilitas Pusat Keanekaragaman Hayati merupakan pusat koleksi Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong.
ADVERTISEMENT
Fasilitas ini dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN, sedangkan untuk pengamatan koleksi artefak kentungan dilakukan Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia BRIN, Bogor.
Keanekaragaman jenis bambu dan kayu
Gambar bambu petung. Foto: M. Setiawan dan E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
Gambar bambu apus. Foto: M. Setiawan dan E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
Gambar pohon nangka. Foto: M. Setiawan dan E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
Hasil penelitian ini telah dipublikasi dalam Buletin Kebun Raya 24(2): 85‒92, pada Agustus 2021. Emma dan Marwan mengungkapkan, hasil kajian jenis jenis bambu dan kayu yang digunakan untuk membuat kentungan yaitu bambu ori (Bambusa blumeana Schult.f.), bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult.) Backer), bambu apus (Gigantochloa apus (Schult.) Kurz), bambu wulung (G. atroviolacea Widjaja), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.), kayu jati (Tectona grandis L.f.), kayu kelapa (Cocos nucifera L.), kayu mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.), dan kayu sengon (Albizia chinensis (Osbeck) Merr.).
ADVERTISEMENT
Penelitian pada beberapa lokasi Jawa dan Bali mengungkapkan bahwa tidak semua jenis bambu dapat dijadikan kentungan. Ada beberapa pertimbangan khusus yang diperlukan dalam memilih bahan baku pembuatan kentungan, antara lain keawetan dan suara yang dihasilkan. Bagian bambu yang biasanya digunakan dalam membuat kentungan adalah bagian batang dan bongkol.
Kentungan yang terbuat dari bongkol bambu akan menghasilkan suara yang lebih nyaring, dapat dibuat dalam beragam bentuk dan lebih awet dibandingkan dengan kentungan yang terbuat dari bagian batang, tidak memiliki ukuran dan bentuk baku, umumnya sangat bergantung pada selera masyarakat berdasarkan fungsi dan kepemilikan.
Masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok biasanya memiliki kentungan pribadi yang panjangnya 40-70 cm, sedangkan kentungan untuk umum maupun peribadatan biasanya berukuran lebih besar dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1 m.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai sosial dan religius
Gambar Kentungan kayu dan bedug. Foto: E. Sri Kuncari Peneliti BRIN/Koleksi pribadi
Kentungan merupakan salah satu contoh alat komunikasi tradisional yang berkaitan dengan nilai sosial maupun religius (keagamaan). Penggunaan kentungan dalam keperluan sosial dapat dengan mudah dikenali dari nada dan tempo yang dibunyikan. Ketukan dengan tempo perlahan menandakan bahwa kondisi aman, misalnya kentungan yang dibunyikan oleh para petugas jaga pos ronda.
Penelitian ini juga mengungkap upaya konservasi nilai budaya dan konservasi keanekaragaman bahan baku untuk membuat kentungan.
Koleksi artefak kentungan
Gambar artefak kentungan. Foto: Koleksi Munasain BRIN
Pengamatan koleksi artefak lesung dan kentungan oleh tim Etnobiologi BRIN, Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia BRIN, Bogor. Koleksi artefak dari lapangan, perlu diproses lebih lanjut dengan tahapan pendataan, pelabelan, perawatan, dan konservasi terlebih dahulu.
Beberapa koleksi artefak lesung dan kentungan ditampilkan pada ruang pamer lantai dasar Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia, dengan menyajikan 14 koleksi artefak yang cukup menggambarkan contoh pemanfaatannya dalam kehidupan sehari hari oleh suku suku bangsa.
ADVERTISEMENT
Artefak yang dipamerkan meliputi “kohkol” dari daerah Cicurug Sukabumi Jawa Barat, “kentongan” dari Prambanan Klaten Jawa Tengah, “ketuk ketuk” dari Pontianak Kalimantan Barat, “duplak dan alu” dari Kudus Jawa Tengah, “lisung” dari Tugu Jaya Bogor Jawa Barat, “alu” dari Muara Ancalong Kutai Kalimantan Timur, dan “halu” dari Tugu Jaya Bogor Jawa Barat. Koleksi artefak tersebut didapatkan oleh peneliti BRIN (sebelumnya LIPI) dari berbagai daerah, saat melakukan kegiatan lapangan yang kemudian disimpan Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (dulu bernama Museum Etnobotani).
Menurut sejarahnya, kentungan sebagai alat komunikasi tradisional. Alat komunikasi tradisional lain berupa lumpang dan lesung yang fungsi utamanya adalah sebagai alat penumbuk misalnya padi. Bahan baku untuk membuat lumpang dan lesung kayu biasanya dari kayu pohon nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.), kayu pohon durian (Durio zibethinus Murr.), dan kayu pohon mlanding (Leucacephala (Lmk.) De Wit).
ADVERTISEMENT
Berbagai koleksi artefak yang diketemukan, memberikan gambaran kearifan lokal bahwa masyarakat dahulu dengan teknologi yang masih sederhana, sudah mampu memanfaatkan sumber daya alam hayati yang ada terutama berbagai jenis tumbuhan untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kekayaan budaya Indonesia sebagai warisan budaya tak benda.
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya literatur mengenai kearifan lokal dan konservasi keanekaragaman hayati agar tetap lestari. (sh).