Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Sagu Sumber Pangan dari Timur
28 Desember 2022 13:51 WIB
Tulisan dari Sri Handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dr. Ary Prihardhyanto Keim, seorang peneliti dari Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan bahwa sagu (Metroxylon sagu) adalah satu dari empat jenis tumbuhan suku pinang-pinangan (Arecaceae) yang masuk ke dalam marga Metroxylon. Tiga jenis lainnya (M. paulcoxii, M. upoluense, dan M. warburgii) tidak terdapat di Indonesia. Bahkan M. sagu merupakan satu satunya jenis yang terdapat bukan hanya di Indonesia bahkan juga Flora Malesiana. Dengan kata lain, kata sagu di Nusantara sudah pasti merujuk pada M. sagu. Bahkan dalam Bahasa Inggris, sagu disebut sebagai True Sago.
ADVERTISEMENT
Ia pun menjelaskan bahwa pusat keragaman di bawah jenis (infra specific) sagu adalah di Kepuauan Maluku, di mana terdapat berragam kultivar sagu dari yang tidak berduri hingga berduri sangat panjang.
Luas lahan dengan tegakan pohon sagu liar yang sangat besar terdapat di New Guinea yang terbagi antara negara-negara Indonesia dan Papua New Guinea.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa secara etnobiologi, semenjak dahulu sagu (Metroxylon sagu) memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat terutama di wilayah bagian timur Indonesia seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.
Dengan kata lain, meski sagu juga terdapat di kawasan bangsa besar Austronesia, namun sagu lebih memiliki nilai penting di masyarakat berperadaban Melanesia, di mana ia menjadi sebagai sumber bahan makanan pokok yang berkadar karbohidrat cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia dan juga sebagai bahan bangunan asal suku palem paleman (Arecaceae) setidaknya kelapa atau nyiur (Cocos nucifera), nibung (Hydriastele costata), dan sagu hutan (Pigafetta filaris).
ADVERTISEMENT
Selain itu sagu memegang peranan penting dalam mendukung program diversifikasi sebagai pendamping beras selain jagung dan umbi-umbian, merupakan salah satu bahan makanan pokok di wilayah Indonesia bagian timur yang dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya didaerah pedesaan.
Meski begitu. sayangnya saat ini sagu tidak lagi merupakan prioritas bahan makanan pokok bahkan di wilayah-wilayah, di mana sagu sebelumnya adalah makanan pokok utama karena telah tergantikan oleh beras (Oryza sativa; Poaceae) yang penanganannya lebih mudah.
Terlepas dari fakta yang kurang menggembirakan di atas, Dr, Ary Prihardhyanto Keim pun melanjutkan bahwa Pemerintah saat ini tengah mengupayakan pengembangan sagu yang kaya akan karbohidrat sebagai salah satu sumber pangan lokal dengan membangun potensi ketahanan pangan di Indonesia, khususnya di Kepulauan Maluku dan daratan besar Papua (i.e. New Guinea-nya Indonesia terutama di propinsi propinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, dan Papua Selatan; sementara di Papua Pegunungan sagu sulit hidup) yang mempunyai hutan sagu sangat luas dan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber karbohidrat dan bahan baku industri pangan.
ADVERTISEMENT
Puji Lestari selaku Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyampaikan bahwa Indonesia memiliki luasan sagu sekitar 5,5 juta hektar dan tersebar di pulau-pulau besar yang ada di Nusantara. Sebagian besar sagu di Indonesia masih berbentuk hutan sagu alami yang ditemukan di Papua, Papua Barat, (saat ini juga Papua Selatan), Maluku, Sulawesi, Kalimantan sampai Sumatera, khususnya Propinsi Riau.
Menurutnya luas tanaman sagu ini tersebar di sepanjang Nusantara, merupakan potensi dan prospek yang sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai alternatif pangan lokal bagi masyarakat, jelasnya pada acara Sharing Session#8 bertajuk “Sagu untuk Diversifikasi Pangan Lokal Mendukung Ketahanan Pangan” pada bulan Nopember lalu secara daring.
Sagu sebagai komoditi pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan dan diusahakan secara serius. Peningkatan pemanfaatan hutan sagu alami didorong oleh meningkatnya permintaan produk sagu dari luar dan dalam negeri. Meski begitu, penebangan yang tidak bijaksana dapat menurunkan produktivitas hamparan hutan sagu dan hilangnya jenis sagu yang potensi untuk dikembangkan sehingga pemanfaatan tersebut perlu diimbangi dengan usaha pelestariannya dalam bentuk pembudidayaan.
ADVERTISEMENT
Sagu mempunyai nilai gizi yang tidak kalah dari sumber-sumber makanan lainnya, sehingga perlu disosialisasikan kembali untuk makan sagu seraya mendukung ketahanan pangan Nasional khususnya di Maluku dan Papua di masa yang akan datang.
Koleksi artefak berbahan dasar sagu sangat beragam dan lengkap terutama yang berasal dari wilayah di bagian timur Indonesia. Koleksi artefak tersimpan di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Bogor dan ditampilkan dalam penataan pamer yang terletak pada posisi pojok kanan ruangan pameran di lantai dasar.
Koleksi aneka ragam kultivar sagu juga ditampilkan dalam penyajian vitrin ini, mulai dari ragam kultivar yang halus tanpa duri hingga yang sangat jelas berduri tajam dan panjang. Terlepas dari keragaman morfologi tersebut, semuanya berasal dari satu jenis saja, Metroxylon sagu dan semuanya juga dipanen tepung sagunya.
Pemanfaatan pohon sagu seperti tertera dalam tampilan poster yang menjelaskan hampir seluruh bagian yang dapat dimanfaatkan mulai dari daun, pelepah daun, bagian dalam batang yang diambil tepungnya melalui proses tertentu, di mana sebagian besar koleksi dibuat.
ADVERTISEMENT
Fungsi bagian daun dapat dimanfaatkan berbagai macam keperluan seperti atap rumah, anyaman tikar, topi dan kerajinan tangan lainnya. Pelepah daun yang besar dan kokoh juga dimanfaatkan untuk dinding rumah, wadah air, tepung sagu dan barang-barang rumah tangga lainnya.
Sedangkan empulur dipanen sebagai sumber sagu untuk dibuat tepung sagu. Tepung sagu dimanfaakan sebagai bahan baku pangan tradisional seperti papeda (semacam bubur dari sagu yang penampilannya mirip dengan lem) dan bagea (kue-kue kering).
Tepung sagu dapat pula digunakan sebagai pengganti untuk tepung terigu dalam pembuatan roti. Dengan kata lain, sagu merupakan sumber karbohidrat alternatif yang tentunya sangat mendukung Program Nasional terkait Ketahanan Pangan Nasional.
Pada vitrin ini terdapat juga narasi tentang jenis, persebaran tumbuh dan manfaat umum dari tumbuhan ini. Bukti material koleksi memperkenalkan serta menggambarkan berbagai pemanfaatan dari bagian-bagian bahan tanaman sagu untuk kehidupan masyarakat lokal yang memanfaatkannya, adapun koleksi dalam vitrin ini mencakup kumpulan artefak seperti Topi, Langit-langit, Bokluh, Gata-gata, Tumang, Kayu Bakar, Bogea, Empulur, Pengaya, Ubak, Basong 2 buah, Geruru, Nani, Bece, Basu, Kulindawara, Tibo Opeh dan Goti.
ADVERTISEMENT
Adapun asal daerah koleksi-koleksi tersebut dari berbagai pelosok Indonesia mulai dari Maluku (13 buah), dari Sulawesi Tenggara (dua buah), Sulawesi Selatan (tiga buah), Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Barat (masing-masing satu buah). Sayangnya belum ada artefak dari Papua atau wilayah-wilayah lain di Indonesia, di mana sagu juga sangat berperan dalam keseharian seperti Nusatenggara.
Berbagai koleksi artefak yang diketemukan, memberikan gambaran kearifan lokal bahwa masyarakat dahulu dengan teknologi yang masih sederhana, sudah mampu memanfaatkan sumber daya alam hayati yang ada terutama berbagai jenis tumbuhan untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kekayaan budaya Indonesia sebagai warisan budaya agar tetap lestari.
Koleksi-koleksi artefak ini dikumpulkan dari eksplorasi-eksplorasi ke berbagai tempat di Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) dan Pusat Riset Etnobiologi dan Ekologi (PREE), BRIN.
ADVERTISEMENT
Kajian atas spesimen-spesimen herbarium dari sagu dan para kerabatnya dapat dilakukan di Herbarium Bogoriense, Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno, Cibinong.
Terkait fisik bangunan untuk konservasi dapat dikoordinasikan dengan Fasilitas Pusat Keanekaragaman Hayati dibawah Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN, sedangkan untuk kajian koleksi-koleksi artefak etnobiologi sagu dapat dilakukan di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN), BRIN yang berlokasi di Bogor.
(sh/sumber:Dr. Ary Prihardhyanto Keim, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN dan Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia BRIN).