Tanaman Lontar (Borassus flabellifer) dan Aneka Pemanfaatan

Sri Handayani
Humas Pemerintah BRIN
Konten dari Pengguna
11 November 2022 14:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar. Lontar (Borassus flabellifer) ditemukan hidup dengan baik di daerah kering terbuka luas dan berpadang rumput atau savanna di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Foto dok. Peneliti BRIN A.P. Keim 2015].
zoom-in-whitePerbesar
Gambar. Lontar (Borassus flabellifer) ditemukan hidup dengan baik di daerah kering terbuka luas dan berpadang rumput atau savanna di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Foto dok. Peneliti BRIN A.P. Keim 2015].
ADVERTISEMENT
Lontar (Borassus flabellifer) atau dikenal juga dengan nama siwalan adalah salah satu jenis tumbuhan palem yang masuk ke dalam suku palem paleman (Arecaceae) yang berdaun berbentuk kipas yang membuatnya dimasukkan ke dalam anak suku palem berdaun kipas atau Coryphoideae. Salah satu dari 5 jenis palem yang masuk ke dalam marga Borassus, di mana di Indonesia hanya dua jenis yang diketahui: Borassus flabellifer dan B. heineanus. Kedua jenis lontar tersebut, B. flabellifer adalah yang paling banyak digunakan dan dibudidayakan.
ADVERTISEMENT
Borassus heineanus diketahui hanya ada di bagian utara daratan New Guinea, termasuk propinsi propinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia dan oleh karenanya dikenal juga sebagai “lontar Papua”. Berbeda dengan kerabatnya, tidak pernah ada laporan kalau jenis ini juga digunakan oleh masyarakat di Papua.
Lontar (Borassus flabellifer) sendiri merupakan jenis tumbuhan palem berperawakan pohon tegak berbatang tunggal dan dapat tumbuh hingga setinggi 25 m dengan batang berdiameter sampai 35 cm. Lontar tersebar mulai dari daratan Afrika, Pulau Madagascar, India, daratan Asia Tenggara (Indochina) hingga ke Kepulauan Nusantara.
Di Indonesia sendiri lontar banyak ditemukan di kawasan kawasan terbuka, panas dan berpadang rumput di bagian timur Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusatenggara. Kecuali ‘lontar Papua’ (B. heineanus) yang banyak ditemukan justru di hutan hutan hujan lebat dataran rendah
ADVERTISEMENT
Sejarah Keberadaan Lontar
Dr. Ary Prihardhyanto Keim dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRBE, BRIN) berpendapat bahwa lontar sudah lama dimanfaatkan masyarakat di Indonesia, terutama batang, daun, dan perbungaan (mayang). Perbungaan disadap seperti pada aren (Arenga pinnata) untuk sumber gula dan minuman keras, tuak.
Sesuatu yang sangat khas masyarakat berperadaban Austronesia, khususnya bagian barat dan tengah Austronesia (West Central Austronesia) dan Melanesia yang terpengaruh budaya Austronesia seperti di Nusa Tenggara Timur.
Lebih jauh lagi, Dr. Ary Prihardhyanto Keim menambahkan bahwa merujuk pada tingginya keberagaman pemanfaatan lontar menimbulkan dugaan bahwa lontar dan pemanfaatan lontar memang berasal dan berpusat di kawasan pusat masyarakat berperadaban Austronesia atau secara geologis dikenal sebagai Paparan Sunda (Sundaland), bukan di India sebagaimana sebelumnya diyakini.
ADVERTISEMENT
Masyarakat di India, baik yang berperadaban Tamil atau Dravida dan Arya tidak mengenal kegiatan menyadap nira lontar dan nampaknya mereka baru mengetahuinya setelah kontak dengan masyarakat Austronesia, setidaknya sekitar 2000 SM atau paling muda 600 M. Di kurun waktu tua seperti itu, hanya bangsa besar Austronesia yang memiliki kemampuan maritim berlayar jauh dengan perahu bercadik (outrigger boats), bahkan hingga ke Madagascar.
Tidak ada bukti, baik tinggalan artefak maupun genetika yang membuktikan bahwa orang-orang India pernah berlayar dan mendiami wilayah Nusantara. Sebaliknya, survey genetika yang pernah dilakukan pemerintah Republik India guna mengetahui keragaman genetika masyarakat India menemukan adanya kehilangan nomer 29 di untaian kromosom Y masyarakat India bagian Selatan (i.e. Tamil atau Dravida) yang adalah khas (marker) kromosom orang orang Austronesia.
ADVERTISEMENT
Jadi, lontar dan peradaban berbasis lontar secara etnobiologi lebih mungkin berawal di Nusantara (kemungkinan lebih besar lagi di Jawa) daripada India. Relief relief lontar yang ditemukan di candi Buddha abad 8 M, Borobudur dengan sangat jelas menjelaskan keberadaan dan keberagaman pemanfaatan lontar di Nusantara, khususnya Jawa. Dengan kata lain, Borobudur mengabadikan bagaimana masyarakat di Nusantara (i.e. bangsa Austronesia, khususnya suku Jawa) menghargai dan menempatkan tanaman lontarnya.
Bibit tanaman lontar
Di Indonesia bibit tanaman lontar kebanyakan didapatkan langsung dari alam, meski begitu benih lontar bersertifikasi juga disediakan oleh Balai Penelitian Tanaman Palma, Kementerian Pertanian, walaupun tentu saja ketersediaan bibit belum seperti pada tanaman palem lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih meyakinkan seperti kelapa (Cocos nucifera) dan aren (Arenga pinnata), bahkan juga belum seperti jenis palem pendatang yang punya nilai ekonomi sangat bagus, sawit (Elaeis guineensis).
ADVERTISEMENT
Peningkatan ketersediaan bibit lontar yang konsisten dan upaya memperpendek waktu pemanenan lontar (yang mana secara alami lontar baru berbunga dan berbuah setelah berusia 10 hingga 20 tahun) menjadi subyek penelitian utama yang tengah diusulkan sebagai bentuk kerjasama antara Balai Penelitian Tanaman Palma, Kementerian Pertanian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN, khususnya Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi), terlebih lagi adanya wacana untuk memindahkan Balai Penelitian Tanaman Palma dari Kementerian Pertanian ke BRIN.
Sebagaimana telah diketahui lontar melakukan pembiakan melalui perkecambahan biji. Meski demikian, seperti juga kendala yang dihadapi di aren (Arenga pinnata), pembiakan generatif lontar dapat menjadi faktor pembatas dalam penyediaan bibit untuk pertanaman. Terlebih lagi pemanfaatan gula lontar (dan juga minuman keras tradisional khas Austronesia yaitu tuak di Jawa, Bali, dan Nusatenggara) dengan cara menyadap perbungaan perempuan lontar dapat mempengaruhi ketersediaan bibit juga karena perbungaan tidak sempat menjadi perbuahan.
ADVERTISEMENT
Secara tradisional para petani lontar mengatasinya dengan menunda penyadapan perbungaan lontar hingga terjadinya penyerbukan (alaminya oleh serangga penyerbuk, lebah misalnya) sehingga buah masih dimungkinkan dihasilkan. Dengan kata lain, pada perbunggan di mana bakal buah terlihat, penyadapan nira tidak dilakukan.
Meski begitu, cara tradisional tersebut tidak menjamin ketersediaan bibit dalam skala industri perkebunan sehingga tetap dicarikan solusi ilmiah yang lebih efektif dan efisien guna menjamin ketersediaan bibit lontar yang berkualitas.
Pemanfaatan Lontar
Seperti pada kerabat palem lainnya, kelapa (Cocos nucifera) dan aren (Arenga pinnata), seluruh bagian tubuh lontar secara tradisional dapat dimanfaatkan. Manfaat utama lontar saat ini adalah nira yang diperoleh dari perbungaan yang disadap dengan alat khusus. Sebagaimana juga pada kelapa dan aren, Nira lontar pun dapat dikonsumsi langsung atau diproses menjadi gula (gula merah atau gula batok) dan minuman keras (tuak) dan cuka setelah melalui proses fermentasi.
ADVERTISEMENT
Secara etnogastronomi makanan dan minuman hasil olahan fermentasi sangat jarang ditemukan di peradaban besar Austronesia, salah satunya adalah tuak yang dihasilkan dari fermentasi sadapan nira jenis-jenis palem alami seperti aren, gebang (Corypha utan), lontar, nipah (Nypa fruticans), dan kelapa adalah budaya asli Austronesia.
Tuak yang ditemukan di kawasan timur Nusatenggara adalah bukti terjadinya percampuran budaya antara dua peradaban besar di Nusantara, Austronesia dan Melanesia, di mana peradaban Austronesia mempengaruhi Melanesia. Pendapat ini dibuktikan dengan fakta bahwa meskipun gebang, kelapa, dan lontar juga banyak ditemukan di kawasan budaya Melanesia, praktek pengolahan nira menjadi minuman beralkohol (i.e. tuak) tidak ditemukan di pedalaman Melanesia, seperti Papua misalnya. Dengan kata lain, di kawasan kawasan Melanesia, tuak hanya ditemukan di kawasan kawasan pesisir di mana kontak antara dua peradaban besar tersebut terjadi.
ADVERTISEMENT
Lembaran daun lontar dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan atap yang mampu bertahan hingga dua tahun, selain itu juga dianyam menjadi keranjang dan topi, sedangkan tangkai daunnya (petiole) dapat digunakan untuk pegangan panci, kayu bakar ataupun dibelah belah sehingga dapat dianyam menjadi tikar.
Bagian batang yang keras dimanfaatkan untuk bahan bangunan, mulai dari rumah hingga jembatan, sedangkan bagian tengah batangnya dapat dibelah menjadi papan. Bagian dalam batang di bagian atas yang lebih lunak dapat diambil tepungnya untuk bahan makanan (seperti kue kue kering) dan menjadi sumber pangan penting saat bahan pangan yang umum seperti beras atau umbi umbian sulit diperoleh.
Buah lontar yang masih muda juga dapat dimakan setelah diolah dengan dibumbui rempah-rempah atau kuah santan kelapa. Aril buah yang masak mempunyai aroma yang khas dan kerap digunakan sebagai pewangi makanan serta juga dapat dimakan.
ADVERTISEMENT
Jadi, secara etnobiologi, lontar sangat penting bagi masyarakat, di mana ia dapat diolah menjadi bahan makanan, minuman, kerajinan, bangunan, dan aroma makanan (i.e. pewangi kue).
Lontar dalam koleksi artefak
Gambar: Aneka koleksi artefak lontar yang tersimpan di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN), BRIN di Bogor (Foto dok. MUNASAIN BRIN).
Koleksi artefak lontar dari berbagai daerah di Indonesia dapat dijumpai di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN) BRIN yang berlokasi di Bogor. Museum ini memiliki beragam koleksi artefak asal aneka jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia, termasuk lontar.
Koleksi-koleksi artefak tersebut ditampilkan dalam penataan pamer (display) yang terletak pada posisi tengah kanan ruangan pameran. Keseluruhan koleksi berasal dari wilayah di bagian timur Indonesia, di mana tingkat keragaman pemanfaatan lontar termasuk tinggi.
Keseluruhan terdapat 36 buah koleksi artefak berbahan dasar daun lontar yang berasal dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Propinsi Nusa tenggara Barat (NTB), Propinsi Bali dan Propinsi Maluku (Kabupaten Maluku Tengah).
ADVERTISEMENT
Sayangnya MUNASAIN belum memiliki satupun koleksi artefak berbahan dasar ‘lontar Papua’ (Borassus heineanus) walaupun ekspedisi ke Propinsi Papua dan Papua Barat juga kerap dilakukan. Ini dapat ditafsirkan kalau ‘lontar Papua’ memang tidak banyak digunakan oleh masyarakat lokal yang lebih memilih lontar dikarenakan ‘lontar Papua’ lebih sulit didapatkan karena harus masuk ke dalam hutan.
Koleksi artefak menggambarkan berbagai pemanfaatan dari bahan lontar untuk kehidupan sehari-hari penduduk lokal seperti di NTT, di mana sebagian besar koleksi dibuat. Dari daun lontar dapat dimanfaatkan berbagai macam keperluan seperti sendok untuk mengambil nira atau dalam bahasa daerah di NTT disebut “mba okeh”, “haik/timba” yaitu alat untuk mengambil dan menampung nira ketika menyadap, ”Lili” yaitu nampan atau baki, “tabis” yaitu alas kaki atau sandal dari suku Rote di Pulau Rote, NTT. “Nyiru” yaitu tempat menampung atau menyimpan bahan pangan biasanya jagung (Zea mays; Poaceae). Juga untuk alat musik tradisional yang cukup populer di Indonesia dan bahkan dunia yaitu “sasando”.
ADVERTISEMENT
Artefak yang dipamerkan juga meliputi koleksi yang cukup unik dari NTT yaitu “seuk” yaitu payung tradisional masyarakat lokal di Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT. Serta aneka lainnya seperti “kalabahi”, “taka”, tas, tempat sirih, “kubi”, “taka”, “tembolak” yaotu bola tradisional, tudung saji, tempat tembakau, tas tangan, “mentiara”, “tube”, “sube”, “sok nyekah”, “klopek”, “mbeka atau ”okopua”, “kukulan”, “kaut”, “cukuren” atau “wati”, “soe sau”, kukusan dan “empan”. Koleksi koleksi artefak tersebut diperoleh dari kegiatan-kegiatan eksplorasi di daerah yang dilakukan oleh para peneliti BRIN.
Kajian atas koleksi koleksi awetan botani atau spesimen-spesimen herbarium lontar (Borassus flabellifer) dan para kerabatnya dapat dilakukan di Herbarium Bogoriense, berlokasi di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno di Cibinong, Jawa Barat. Untuk kajian koleksi-koleksi artefak etnobiologi lontar dapat dilakukan di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN), BRIN yang berlokasi di kota Bogor.
ADVERTISEMENT
Sumber: Dr. Ary Prihardhyanto Keim, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN dan Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia BRIN.