Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Gunung Es Korupsi dan Kesederhanaan yang Hilang
2 Maret 2025 17:55 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Saat kasus korupsi Pertamina dan PT Timah mengguncang negeri dengan kerugian ratusan triliun, kita perlu merenungkan nilai kesederhanaan di tengah budaya pamer yang kian menjadi. Nabi Muhammad SAW, pemimpin dengan pengaruh luas, justru memilih hidup sederhana bukan karena terpaksa, tapi sebagai pilihan sadar yang mewakili keluhuran budi.
ADVERTISEMENT
Pakaian beliau sederhana, sering ditambal, jauh dari kemewahan. Aisyah bahkan pernah menunjukkan kepada para sahabat pakaian kumal dan sarung kasar yang dikenakan Rasulullah hingga akhir hayatnya. Kontras dengan gaya hidup sebagian pemimpin kita hari ini yang memamerkan kemewahan di tengah penderitaan rakyat.
Berbeda dengan pejabat yang memamerkan mobil mewah dan rumah megah, Nabi Muhammad SAW justru memilih menu sederhana: roti gandum, kurma, dan air. Bahkan menurut Aisyah RA, beliau tak pernah mencicipi roti dari tepung putih halus hingga akhir hayatnya.
Rumahnya pun jauh dari kesan mewah - hanya bangunan sederhana dari batu bata dan tanah liat beratap pelepah kurma, dengan beberapa ruangan kecil dan kasur dari kulit berisi serabut.
Sementara para pejabat kita berlomba menumpuk harta dan memamerkan kemewahan, Nabi justru mengajarkan bahwa "kekayaan sejati adalah kekayaan hati." Mungkin inilah refleksi yang kita butuhkan di tengah carut marut korupsi - bahwa kebahagiaan tak pernah berasal dari kemewahan duniawi, melainkan dari kekayaan jiwa dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Meneladani Bung Hatta
Di tengah skandal korupsi yang terus mencoreng negeri, Bung Hatta menjadi pengingat arti integritas sejati dalam kepemimpinan. Sebagai Wakil Presiden pertama Indonesia, ia menjalani hidup sederhana sebagai prinsip yang ia pegang teguh.
Bung Hatta tidak sibuk berkhotbah soal kejujuran atau kerja keras—ia tunjukkan semuanya lewat tindakan. Kesederhanaannya adalah simbol moralitas yang kini terasa makin langka di tengah pejabat yang lebih sibuk memperkaya diri daripada melayani rakyat. Sosoknya mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat untuk memupuk kekayaan pribadi.
Bung Hatta adalah simbol pemimpin berintegritas yang tak pernah tunduk pada kepentingan pribadi. Kesederhanaannya—dari pakaian, makanan, hingga rumahnya—bukan tanda kemiskinan, melainkan pilihan hidup yang menggambarkan moralitas tinggi. Ia konsisten menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya dan tegas menolak segala bentuk korupsi. Dalam dirinya, ucapan dan tindakan berjalan seiring, sesuatu yang kini langka di tengah pejabat yang sering kali hanya bicara tanpa memberi teladan.
ADVERTISEMENT
Ketika Bung Hatta memilih mundur dari jabatan Wakil Presiden pada 1956, keputusannya bukan saja langkah politik, tapi pernyataan moral. Ia menolak berkompromi dengan prinsip-prinsipnya di tengah ketidakcocokan dengan arah pemerintahan saat itu dan ketidakmampuannya menghentikan praktik korupsi yang kian merajalela.
Hatta paham bahwa korupsi adalah ancaman bagi bangsa. Dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada 1957, ia tegaskan pentingnya pendidikan karakter sebagai fondasi membangun integritas. "Pangkal pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan keberanian mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar."
Bung Hatta pernah menegaskan, "Korupsi harus dibasmi dengan tiada pandang bulu." Pernyataannya bukan retorika, tapi prinsip hidup yang ia jalankan dengan konsisten. Integritas dan kesederhanaannya menjadi standar moral bagi pemimpin bangsa, hingga namanya diabadikan dalam "Bung Hatta Award" sebagai penghargaan bagi tokoh antikorupsi yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan transparansi.
ADVERTISEMENT
Sekalipun, keteladanan Bung Hatta tampaknya makin sulit ditemukan di kalangan pejabat hari ini. Budaya hidup mewah dan pamer kekayaan di media sosial justru lebih dominan dibandingkan semangat kesederhanaan dan integritas. Untuk mengembalikan nilai-nilai luhur ini, pemerintah perlu segera menerbitkan regulasi tegas yang mengatur pola hidup pejabat dan keluarganya—baik di pusat maupun daerah—agar tidak lagi terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang berpotensi merugikan negara.
Gunung Es Korupsi
Skandal korupsi di Pertamina membuat publik terhenyak. Kejaksaan Agung mengungkap kerugian negara yang fantastis: Rp 193,7 triliun hanya untuk tahun 2023. Lebih mencengangkan lagi, estimasi kasar menunjuk potensi kerugian mencapai Rp 968,5 triliun selama 2018-2023. Empat petinggi subholding Pertamina kini berstatus tersangka.
Kejaksaan Agung temukan adanya pemufakatan jahat antara penyelenggara negara dan broker dalam kasus ini. Impor minyak, impor BBM melalui broker, dan kerugian akibat subsidi adalah beberapa dari kerugian negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelum skandal Pertamina, Kejaksaan Agung membongkar kasus korupsi timah yang tak kalah hebohnya. Dugaan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun dalam kasus PT Timah Tbk periode 2015-2022, melibatkan 22 tersangka termasuk figur publik seperti Harvey Moeis dan Helena Lim. Biarpun, kasus ini cuma puncak gunung es dari problematika tata kelola tambang di Indonesia.
Korupsi di Indonesia umpama gunung es - yang terlihat hanya puncaknya. Dari BUMN besar seperti Pertamina hingga praktik suap kecil-kecilan, korupsi mengakar dalam berbagai level. BPS menyoroti dua isu kunci: korupsi skala kecil dan politik uang. Walau, akar masalahnya lebih dalam. Gaya hidup mewah pejabat sering dikaitkan sebagai pemicu. Hasrat akan kemewahan mendorong oknum untuk menghalalkan segala cara.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup hedonis dan korupsi: dua sisi mata uang yang sama? Penelitian mengindikasi korelasi antar keduanya. Semakin tinggi hedonis seseorang, semakin besar kecenderungan korupsi. Bahkan, gaya hidup mewah berkontribusi 11,4% terhadap niat korupsi.
Mengapa? Hedonisme memicu ketidakpuasan tanpa batas. Untuk memenuhinya, oknum rela menghalalkan segala cara, termasuk korupsi. Kasus istri Kepala BP Bintan yang “pansos” fasilitas mewah dari pengusaha di media sosial menjadi contohnya.
Pemberantasan korupsi butuh langkah, bukan cuma wacana. Pola hidup sederhana pejabat idealnya diatur dalam Keputusan Presiden, menjadi kewajiban, bukan pilihan. UU ASN sudah menetapkan integritas sebagai syarat utama aparatur negara, biarpun implementasinya masih jadi pertanyaan.
Kemewahan dan Pertanyaan Integritas
Media sosial menjadi panggung baru bagi pejabat untuk memamerkan kemewahan, kendati kini justru menjadi bumerang yang membongkar potensi korupsi. Dari tas bermerek hingga liburan eksklusif, unggahan di Instagram dan TikTok kini bisa berujung pada penyelidikan KPK. Kasus Rafael Alun Trisambodo, Andhi Pramono, dan Eko Darmanto menjadi bukti bagaimana "flexing" di dunia maya bisa berakhir di meja hijau.
ADVERTISEMENT
Gaji resmi pejabat negara Indonesia ternyata jauh dari gemerlap gaya hidup yang kerap dipamerkan. Seorang Menteri hanya menerima tunjangan Rp13,6 juta, sementara Gubernur mengantongi gaji pokok Rp3 juta plus tunjangan Rp5,4 juta. Bahkan PNS biasa hanya bergaji Rp1,5-5,9 juta per bulan. Lantas, dari mana datangnya kemewahan yang kerap ditampilkan?
Kasus Andhi Pramono, mantan Kepala Bea Cukai Makassar, menjadi contoh kesenjangan ini. Rumah mewahnya di Cibubur bernilai puluhan miliar, jauh melampaui LHKPN-nya yang hanya Rp13,7 miliar.
Kasus Eko Darmanto dan pejabat lainnya yang memamerkan kemewahan di media sosial menyoroti masalah yang dalam: bagaimana gaya hidup hedonis menjadi pemantik korupsi di Indonesia. Dari mobil sport hingga properti mewah, pola konsumsi berlebihan ini sulit dijustifikasi dengan gaji resmi. Perubahan gaya hidup yang drastis setelah menjabat seringkali menjadi red flag adanya praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Kesederhanaan dan Integritas
Integritas adalah fondasi kepemimpinan. Seorang pemimpin yang berintegritas selalu konsisten antara kata, tindakan, dan nilai-nilai yang dipegangnya. Sayangnya, pergeseran nilai saat ini, integritas justru terabaikan. Padahal, pemimpin yang transparan, jujur, dan bertanggung jawab mampu menginspirasi tim serta membawa dampak positif bagi masyarakat.
Kesederhanaan, yang dicontohkan Bung Hatta, bukan soal gaya hidup, melainkan sikap mental yang melekat. Meski menjabat sebagai wakil presiden, Hatta tetap rendah hati dan dekat dengan rakyat. Berbanding terbalik dengan fenomena pejabat masa kini yang gemar pamer kekayaan di media sosial. Ironis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah merilis sembilan nilai integritas — termasuk jujur, sederhana, dan adil — namun fakta di lapangan masih jauh dari ideal. Tanpa aturan tegas dan sanksi bagi pejabat yang melanggar, integritas hanya jadi jargon tanpa makna.
ADVERTISEMENT
Pengawasan harta pejabat melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) juga belum optimal. Integrasi LHKPN dengan sistem keuangan negara dan penerapan teknologi seperti big data serta machine learning idealnya bisa mempercepat deteksi korupsi.
LHKPN seharusnya jadi alat untuk mendeteksi dini potensi korupsi dan gratifikasi di kalangan pejabat. Kewajiban melaporkan harta kekayaan mestinya mendorong transparansi, memungkinkan publik dan lembaga pengawas mengawasi kekayaan pejabat yang mencurigakan. Sayangnya, tanpa optimalisasi di pemerintah pusat dan daerah, LHKPN rawan jadi sekadar laporan administratif tanpa dampaknya.
Mengembalikan kesederhanaan dan integritas di kalangan pejabat lebih dari himbauan moral. Penguatan pengawasan harta kekayaan, optimalisasi LHKPN, dan teladan hidup sederhana seyogianya jadi langkah riil, bukan basa-basi. Tanpa komitmen, upaya ini akan jadi kosmetik politik. Kalau transparansi dan integritas benar dijalankan, barulah kepercayaan publik pada pemerintah punya alasan untuk pulih.
ADVERTISEMENT