Konten dari Pengguna

Jejak Budaya Tionghoa dalam Kehidupan Sehari-hari Indonesia

Heru Wahyudi
Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik, Pengajar di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
29 Januari 2025 9:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Tahun Baru Imlek di Indonesia simbol Multikultural. Source : cdn.antaranews.com)
zoom-in-whitePerbesar
(Tahun Baru Imlek di Indonesia simbol Multikultural. Source : cdn.antaranews.com)
ADVERTISEMENT
Etnis Tionghoa telah lama memberi jejak histori dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Salah satu buktinya yakni banyak kosakata serapan dari bahasa Tionghoa yang kini menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan menu makanan favorit kita. Mungkin ada bakso, mi, lumpia, atau siomay di dalamnya. Tahukah bahwa nama-nama makanan tersebut asalnya dari bahasa Tionghoa?
Bakso, yang jadi makanan rakyat Indonesia, sebenarnya berasal dari kata "肉丸" (ròuwán) dalam bahasa Mandarin atau "bah-so" dalam dialek Hokkian, yang berarti "bola daging". Mi atau mie, yang menjadi varian hidangan populer seperti mie ayam atau mie goreng, berasal dari kata "麵" (miàn) yang berarti "tepung".
Lumpia, makanan yang sering kita jumpai di acara-acara perayaan, berasal dari kata "春餅" (chūnbǐng) dalam bahasa Mandarin atau "lun-pia" dalam dialek Hokkian, yang berarti "kue musim semi". Sementara siomay, kudapan yang sering kita nikmati sebagai jajanan, berasal dari kata "燒賣" (shāomai) yang berarti "jual panggang".
ADVERTISEMENT
Menariknya, kata-kata ini begitu diserap, mengalami adaptasi sesuai dengan lidah budaya lokal. Misalnya, bakso di Indonesia umumnya terbuat dari daging sapi, berbeda dengan versi aslinya di Tiongkok yang biasanya menggunakan daging babi.
Tak cuma dalam dunia kuliner, pengaruh bahasa Tionghoa juga terasa dalam istilah perdagangan yang kita gunakan sehari-hari.
Kata "toko", yang jadi sebutan umum untuk tempat berjualan, berasal dari kata "店铺" (diànpù) dalam bahasa Mandarin. "Kongsi", yang kadang kita gunakan untuk merujuk pada kerjasama atau persekutuan dagang, berasal dari kata "公司" (gōngsī) yang berarti "perusahaan".
Sementara, "tauke" yang sering digunakan untuk menyebut pemilik usaha atau bos, berasal dari kata "头家" (tóujiā) dalam bahasa Mandarin atau "thau-ke" dalam dialek Hokkian, yang secara harfiah berarti "kepala keluarga".
ADVERTISEMENT
Istilah serapan dari bahasa Tionghoa refleksi akulturasi budaya yang sudah berlangsung selama berabad-abad di Indonesia. Meski perjalanan sejarahnya tak selalu mulus, kini budaya Tionghoa menjadi bagian dari identitas bangsa yang multikultural, terlebih dengan terbukanya ruang ekspresi di era sekarang.
Kuliner
Perpaduan budaya kuliner Tionghoa dan Indonesia menghasilkan hidangan fusion yang jadi favorit. Nasi goreng, walau dikenal sebagai makanan nasional, sebenarnya punya akar dari masakan Tionghoa, dengan ciri khas penggunaan kecap manis dan teknik penggorengan wok.
Hidangan cap cay, yang artinya "aneka sayuran" dalam bahasa Hokkian, juga merupakan hasil akulturasi kuliner ini. Di Indonesia, cap cay dimodifikasi dengan bumbu dan sayuran lokal, mencipta cita rasa unik. Selain itu, bakmi yang kini populer di seluruh Indonesia juga berasal dari tradisi Tionghoa, dengan adaptasi sesuai selera lokal di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Teknik memasak Tionghoa, terutama stir-frying menggunakan wok, sudah diterima luas di Indonesia. Wok, yang asalnya dari Tiongkok, kini menjadi peralatan dapur standar di banyak rumah tangga. Metodenya memungkinkan panas merata dan cepat, menjadi ideal untuk memasak dengan suhu tinggi dalam waktu singkat.
Stir-frying praktis dan cepat, juga menjaga kesegaran dan nutrisi sayuran serta bahan lainnya, sehingga menjadi bagian dari cara memasak di Indonesia.
Konsep "wok hei" atau "nafas wok" jadi ciri khas teknik tumis Tionghoa, memberi aroma dan rasa unik dari proses memasak dengan api besar dan wok panas. Aroma khas ini terus memengaruhi dunia kuliner, termasuk hidangan fusion di restoran Indonesia. Pengaruh kuliner Tionghoa terus berkembang, beradaptasi dengan selera modern, dan menjadi bagian dari kekayaan kuliner masa kini.
ADVERTISEMENT
Busana
Budaya Tionghoa telah memberik pengaruh unik dalam busana Indonesia, dengan kebaya encim dan baju koko sebagai contohnya. Kebaya encim, hasil akulturasi antara Tionghoa dan Indonesia, awal akulturasi busana Tionghoa-Indonesia.
Pengaruh budaya Tionghoa dalam busana Indonesia melahirkan adaptasi, seperti kebaya encim dan baju koko. Kebaya encim, misalnya, merupakan perpaduan gaya Tionghoa dan Indonesia, dengan ciri khas kerah V, renda, dan motif bunga Tiongkok.
Desainer modern terus mengembangkan kebaya encim, seperti menggunakan teknik batik untuk mengganti bordir tradisional. Adaptasi tersebut mengelaborasi kreativitas dalam memadukan unsur tradisional dan kontemporer.
Baju koko, yang identik dengan busana Muslim pria, awalnya berasal dari pakaian sehari-hari pria Tionghoa bernama tui-khim. Digunakan oleh masyarakat Tionghoa kelas menengah ke bawah, baju ini kemudian diadopsi sebagai busana Muslim, terutama dalam warna putih. Evolusinya merujuk ihwal bagaimana elemen budaya bisa beradaptasi dan mendapatkan makna baru.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, cheongsam, atau qipao, bertransformasi dari pakaian sehari-hari wanita Tionghoa menjadi busana formal. Kini, cheongsam sering dipakai dalam perayaan Imlek dan acara resmi. Desainer modern juga memodifikasi cheongsam agar sesuai dengan tren dan iklim tropis Indonesia. Penggunaan cheongsam tak terbatas pada komunitas Tionghoa, tapi sekarang diterima sebagai simbol elegan dan keanggunan di masyarakat Indonesia.
Seni dan Kerajinan
Seni ukir Tionghoa jadi ciri khas arsitektur klenteng di Indonesia. Selain sebagai tempat ibadah juga sebagai saksi perjalanan sejarah dan akulturasi budaya. Contohnya yakni Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, yang memadukan gaya Tionghoa dengan elemen lokal Jawa. Ukirannya menampilkan motif Tionghoa seperti naga dan phoenix, serta mengadopsi motif lokal seperti mega mendung. Arsitektur klenteng di Indonesia terus beradaptasi dengan kondisi lokal, seperti penggunaan atap tumpang yang khas arsitektur Jawa.
ADVERTISEMENT
Arsitektur klenteng di Indonesia memukau secara estetis, cerminan akulturasi budaya yang berlangsung selama berabad-abad. Klenteng jadi bukti bagaimana budaya Tionghoa dan lokal berbaur, menghasilkan karya seni yang indah dan penuh filosofi.
Selain itu, keramik dan porselen Tionghoa sudah lama jadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia. Dari perabotan hingga benda seni, keramik tersebut dihargai lantaran keindahannya sekaligus nilai historisnya.
Kota Singkawang, yang dikenal sebagai "Kota Seribu Klenteng", terkenal dengan industri keramiknya. Pengrajin di sana memadukan teknik tradisional Tiongkok dengan motif lokal, mendesain gaya yang unik. Keramik Tionghoa bahkan sudah jadi bagian dari perdagangan maritim Nusantara sejak abad ke-9, mengekspos pengaruhnya di kepulauan ini.
Kerajinan keramik dan porselen gaya Tionghoa terus berkembang di Indonesia, dengan pengrajin modern yang mengadaptasi teknik dan motif tradisional sesuai selera masa kini. Mengungkap bahwa warisan budaya Tionghoa tetap hidup dan berevolusi.
ADVERTISEMENT
Seni dan kerajinan Tionghoa punya pengaruh lantaran sejarah panjang hubungan budaya dan ekonomi antar Indonesia dan Tiongkok. Identitas budaya Indonesia yang kaya terdiri dari seni ukir, arsitektur klenteng, dan kerajinan keramik.
Pada akhirnya, menghargai dan melestarikan warisan tersebut membantu kita memahami sejarah Indonesia dan membuat kita kreatif dan inovatif di masa depan. (*)