Konten dari Pengguna

Mengapa Pejabat Jepang Mundur Ketika Gagal? Pelajaran untuk Indonesia

Heru Wahyudi
Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
5 Maret 2025 9:50 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Ilustrasi pejabat Jepang sedang melakukan proses diplomasi. Sumber : https://www.antaranews.com)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi pejabat Jepang sedang melakukan proses diplomasi. Sumber : https://www.antaranews.com)
Mundur saat gagal, pilihan lumrah bagi pejabat Jepang tapi langka di Indonesia. Dualitas ini menanyakan integritas dan akuntabilitas kepemimpinan publik kedua negara. Di satu sisi, budaya malu Jepang mendorong tanggung jawab moral. Di sisi lain, Indonesia masih bergulat dengan pejabat yang berpegang erat pada kursi kekuasaan, sekalipun tercoreng skandal.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, budaya malu bukan hanya konsep diskursus—ia adalah mesin penggerak “tanggungjawab” publik. Pejabat yang tersandung skandal atau gagal memenuhi ekspektasi masyarakat kerap memilih mundur, bahkan sebelum diminta. Fenomena ini menjelaskan betapa dalam nilai kebersamaan dan tanggung jawab moral tertanam dalam DNA sosial Jepang.
Rasa malu di Jepang bukan saja urusan pribadi—hal ini soal tanggung jawab sosial yang menyentuh reputasi keluarga hingga institusi. Pejabat Jepang kerap memilih mundur ketimbang bertahan saat tersandung skandal. Lihat saja kasus Gubernur Tokyo: Naoki Inose mengundurkan diri tahun 2013 karena kasus suap, diikuti penggantinya, Yoichi Masuzoe, pada 2016 akibat penyalahgunaan dana public, (N. Aini et al. 2024).
Fenomena yang dijuluki "harakiri politik" tersebut, analogi sikap "ksatria" pejabat Jepang menghadapi kegagalan. Mundur dianggap bentuk tertinggi permintaan maaf pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Budaya malu di Jepang yakni mesin penggerak akuntabilitas sosial yang powerful. Berakar pada prinsip kolektivisme, rasa malu atau "haji" dalam bahasa Jepang menjadi reaksi emosional pada pelanggaran norma, yang konsekuensinya merembet dari individu ke institusi. Kritik publik dan pengucilan sosial jadi cambuk yang mendorong pejabat untuk bertanggung jawab, (I. Widisuseno, 2020).
Media, dalam perannya sebagai watchdog, mengasah mekanisme ini dengan perhatian intensif pada perilaku pejabat. Lebih dari itu, nilai-nilai diatas ditanamkan sejak dini melalui pendidikan di keluarga dan sekolah, mencetak generasi yang sangat sadar dari dampak tindakannya terhadap reputasi komunitas.
Filosofi Kaizen
Dalam bahasa Jepang, "kaizen" berarti "perubahan" dan "zen" berarti "lebih baik". Filosofi ini poinnya pada perbaikan terus-menerus dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor publik. Konsep ini berlaku untuk organisasi besar juga untuk individu di semua tingkatan.
ADVERTISEMENT
Kaizen, filosofi perbaikan berkelanjutan asal Jepang, berdiri di atas tiga pilar. Pertama, perubahan kecil namun konsisten diyakini mampu menghasilkan dampak jangka panjang. Kedua, Kaizen menuntut partisipasi seluruh elemen organisasi, dari pucuk pimpinan hingga staf lapangan, dalam proses perbaikan.
Pilar ketiga menekankan standarisasi dan transparansi proses kerja. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi masalah dan implementasi solusi secara efektif. Dengan prinsip ini, Kaizen menjadi metode peningkatan kualitas serta budaya kerja yang mendorong inovasi dan efisiensi berkelanjutan.
Kaizen telah merevolusi sektor publik Jepang, dengan Pemerintah Nakano Ward di Tokyo sebagai contoh. Menerapkan siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA), Jepang berhasil meningkatkan kepuasan warga melalui layanan yang lebih efektif. Bahkan, filosofi ini merambah lintas negara.
Ethiopia, lewat dukungan Japan International Cooperation Agency (JICA), mengadopsi Kaizen untuk mendongkrak produktivitas manufaktur. Lantas , pertanyaannya: bisakah model ini berhasil di negara dengan budaya kerja berbeda?
ADVERTISEMENT
Problem adaptasi Kaizen di luar Jepang mungkin lebih besar dari yang terlihat, mengingat akar budayanya yang dalam. Meski begitu, prinsip perbaikan berkelanjutan tetap menjadi inspirasi global untuk efisiensi birokrasi dan produktivitas industri.
Karakter Pejabat Indonesia
Mochtar Lubis, sastrawan dan wartawan, dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun 1977 yang dibukukan sebagai Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, mengungkap enam sifat utama manusia Indonesia. Meski sudah lebih dari empat dekade, sifat-sifat ini sangat cocok untuk menganalisis perilaku pejabat publik di Indonesia saat ini.
Mochtar Lubis mengidentifikasi enam sifat utama manusia Indonesia yang masih relevan dalam menggambarkan perilaku pejabat publik saat ini.
Pertama, sifat munafik terlihat dari inkonsistensi antara janji dan tindakan, seperti dalam kasus reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi yang sering kali sebatas retorika. Kedua, keengganan bertanggung jawab ditunjukkan dengan kecondongan pejabat untuk menghindari konsekuensi atas kegagalan atau kesalahan, sering kali berlindung di balik alasan "tidak tahu" atau menyalahkan bawahan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mentalitas feodalistik masih kuat, tercermin dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan dominannya hubungan patron-klien dalam birokrasi. Keempat, percaya pada takhayul, meski tak selalu eksplisit, masih memengaruhi pengambilan keputusan dan strategi politik tertentu, (A. Hayani et al.2024).
Kelima, bakat artistik yang tinggi namun belum dimanfaatkan optimal untuk kemajuan bangsa. Keenam, watak lemah yang membuat pejabat rentan pada tekanan luar dan kepentingan pribadi, menghalangi keberanian untuk melakukan perubahan.
Enam sifat ini, walau diteliti lebih dari empat dekade lalu, masih cocok sebagai cerminan karakter yang perlu diatasi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang lebih baik di Indonesia.
Sifat-sifat yang diidentifikasi Mochtar Lubis masih relevan dalam menggambarkan perilaku pejabat publik Indonesia saat ini. Kemunafikan terlihat gamblang dalam janji-janji politik yang kadang bertolak belakang dengan tindakan. Meski banyak bicara soal reformasi dan transparansi, praktik korupsi dan nepotisme tetap marak. Data Liga Korupsi Indonesia, melansir tirto.id (27/02/2025) membeberkan peningkatan kasus korupsi tiap tahun, dengan ribuan tersangka dari kalangan pejabat.
ADVERTISEMENT
Penghindaran tanggung jawab menjadi ciri khas, dengan ungkapan "saya tidak tahu" atau "bukan tanggung jawab saya" sering digunakan untuk mengelak dari kritik publik. Hal ini mencerminkan rendahnya tanggungjawab di kalangan pejabat. Sementara itu, feodalisme modern masih mengakar dalam sistem birokrasi, di mana loyalitas kepada atasan lebih dihargai daripada kompetensi atau kinerja, memperburuk praktik nepotisme dan kolusi.
Korupsi sudah berkembang menjadi penyakit sistemik yang merusak tata kelola pemerintahan di semua level. Kasus besar seperti korupsi Timah, Pertamina dan mega-skandal lainnya menjabarkan bagaimana sifat feodalistik dan keengganan bertanggung jawab menyumbang pada kerugian negara yang masif. Fenomena ini menegaskan bahwa analisis Mochtar Lubis tentang karakter manusia Indonesia sangat relevan dalam kepemimpinan publik saat ini.
ADVERTISEMENT
Etos Kerja Jepang dan Indonesia
Budaya kerja cerminan nilai masyarakatnya. Jepang dikenal disiplin, loyalitas, dan dedikasi tinggi, sementara Indonesia lebih menonjolkan permisif dan hubungan personal. Perbedaan ini memengaruhi kapasitas individu, juga mewakili efesiensi pemerintahan masing-masing—di mana Jepang sering dianggap lebih terorganisir dibandingkan Indonesia yang cenderung longgar.
Budaya kerja Jepang dikenal dengan disiplin tinggi, loyalitas, dan hierarki yang kuat. Penghargaan pada waktu menjadi prioritas, melahirkan efisiensi dan lingkungan kerja yang terorganisir. Ketepatan waktu jadi bentuk penghormatan terhadap sesama.
Loyalitas karyawan Jepang pada perusahaan tercermin dalam budaya "ganbaru" atau berjuang sekuat tenaga. Rela bekerja keras hingga tugas selesai, bahkan lembur jika diperlukan. Sekalipun, dedikasi ekstrem ini juga punya sisi gelap, seperti fenomena "karoshi" atau kematian akibat kerja berlebihan.
ADVERTISEMENT
Filosofi Kaizen atau perbaikan berkelanjutan menjadi pilar budaya kerja Jepang, mendorong individu untuk meningkatkan kualitas pekerjaan melalui langkah kecil namun konsisten. Sementara itu, struktur organisasi yang hierarkis tetapi tetap bekerjasama membuat lingkungan di mana atasan dihormati sebagai pemimpin, dan bawahan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab sesuai arahan.
Budaya kerja di Indonesia menonjolkan toleran dan hubungan interpersonal yang kuat, dipengaruhi oleh nilai kekeluargaan dan gotong royong. Jam kerja cenderung leluasa, dengan kelonggaran waktu masuk dan pulang, terlebih untuk kebutuhan pribadi atau keluarga. Suasana kerja juga santai dan informal, mementingkan keguyuban antar karyawan yang didasari semangat gotong royong.
Hierarki dalam organisasi lebih luwes dibandingkan Jepang. Hubungan atasan-bawahan sering bersifat sederajat, di mana atasan berperan sebagai mentor daripada sekadar pemberi perintah. Selain itu, budaya kerja Indonesia menunjukkan kemampuan adaptasi pada perubahan, seperti dalam adopsi teknologi digital selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Dampak budaya kerja pada efesiensi pemerintahan di Jepang dan Indonesia menampilkan perbedaan. Di Jepang, disiplin tinggi dan struktur birokrasi yang ramping menghasilkan pemerintahan yang sangat efisien dalam pelaksanaan kebijakan publik. Kendati, tekanan untuk sempurna terkadang menghambat inovasi lantaran keengganan mengambil risiko.
Sementara itu, Indonesia punya keunggulan dalam hal keluwesan, yang memungkinkan pemerintah lebih mudah beradaptasi dengan perubahan global. Sayangnya, kurangnya disiplin sering jadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan secara konsisten.
Kedua negara hadapi persoalan yang unik. Jepang berhadapan dengan masalah stres berlebih pada pegawai negeri, yang dikenal dengan istilah "karoshi" atau kematian lantaran kerja berlebihan. Di sisi lain, Indonesia masih berjuang dengan persepsi birokrasi yang lambat dan kurang profesional di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perbandingan ini mengisyaratkan blundernya mengelola organisasi pemerintah yang sejatinya menyeimbangkan efisiensi dengan kesejahteraan pegawai serta adaptasi dengan konsistensi kebijakan.
Pembelajaran Pejabat Indonesia
Indonesia masih bergulat dengan birokrasi yang lamban dan pejabat publik yang minim tanggungjawab. Korupsi merajalela, pelayanan publik tersendat, dan tanggung jawab moral seringkali dilalaikan. Di tengah carut-marut ini, dua pendekatan menarik untuk dilirik: filosofi Kaizen asal Jepang yang menekankan perbaikan terus-menerus, dan penguatan budaya malu yang kian luntur.
Prinsip Kaizen, atau "perbaikan berkelanjutan", bisa jadi obat penyegar untuk birokrasi Indonesia yang sering dianggap lamban. Metode Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke (5S), misalnya, sudah menunjukkan hasil positif di Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta. Tapi tidak hanya berhenti di situ. Evaluasi kinerja berbasis data dan pelatihan berkelanjutan untuk ASN juga vital. Yang tak kalah penting adalah komitmen pimpinan.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, rasa malu jadi kontrol moral—pejabat mundur jika gagal. Sebaliknya, di Indonesia, lemahnya budaya malu membuat banyak pejabat enggan bertanggung jawab meski tersandung skandal besar. Korupsi marak, tapi jarang disertai pengunduran diri atau permintaan maaf, (F. Hayani et al. 2020).
Resepnya? Tanamkan pendidikan moral sejak dini, perkuat sanksi sosial lewat media dan masyarakat. Kritik publik bisa jadi senjata ampuh, melengkapi sanksi hukum yang berat untuk memaksa pejabat lebih bertanggungjawab.
Penerapan prinsip Kaizen dan budaya malu secara konsisten bisa membawa dampak positif. Kaizen, dengan fokus pada perbaikan berkelanjutan, mempercepat birokrasi dan meningkatkan responsif pelayanan publik. Di sisi lain, budaya malu perananya sebagai pengendali moral dalam mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kombinasi ini punya potensi untuk meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintah. Dengan pertanggungjawaban yang lebih baik, masyarakat lebih percaya pada integritas institusi negara. Kendati, keberhasilan tersebut tergantung pada komitmen pimpinan, dukungan masyarakat, dan konsistensi dalam menerapkan perubahan.
Kaizen dan budaya malu bisa menjadi resep memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia. Perbaikan berkelanjutan dan kontrol moral dapat menciptakan birokrasi yang lebih efisien dan akuntabel. Kendati, tanpa adanya komitmen riil dari pemerintah, dukungan masyarakat, dan tekanan media sebagai pengawas, solusi ini hanya akan berhenti sebagai wacana. (*)