Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Misteri Pagar Laut dan Masa Depan Nelayan
12 Januari 2025 10:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penemuan pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, bikin resah nelayan setempat. Struktur bambu setinggi 6 meter muncul tanpa izin resmi, mengganggu aktivitas ribuan nelayan di 16 desa. Begitu, opini di berita dan rumor di masyarakat. Pagar ini pertama kali dilaporkan warga ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten pada 14 Agustus 2024, dan saat DKP mengecek pada 19 Agustus 2024, panjang pagar baru sekitar 7 kilometer.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, pagar laut bertambah panjang. Saat pemeriksaan gabungan pada 18 September 2024 oleh DKP Banten, TNI Angkatan Laut, dan Polairud, panjangnya mencapai 13,12 kilometer. Kini, pagar membentang 30,16 kilometer, membelah perairan di 6 kecamatan dan 6 desa Kabupaten Tangerang. Pagar bambu setinggi rata-rata enam meter diperkuat dengan anyaman bambu, jaring paranet, dan karung pasir. Di dalam area yang dipagari, ada kotak-kotak sederhana yang dibentuk pola ala labirin.
Hadirnya pagar misterius membuat banyak tanya dan ancam mata pencaharian ribuan nelayan. Data dari DKP Banten, 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya terganggu imbas pemagaran, yang membatasi akses ke wilayah tangkap tradisional. Memaksa nelayan mencari lokasi baru yang jauh dan berisiko. Parahnya, pagar ini melanggar Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023, pasalnya kawasan yang dipagari harusnya terbuka untuk beragam aktivitas, termasuk perikanan dan budidaya.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, pemerintah daerah maupun pusat belum tahu siapa pemilik atau niat dibangunnya pagar laut. Januari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan, memanfaatkan ruang laut tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan pelanggaran berat.
Misteri pagar sorot urgensinya pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pengelolaan wilayah pesisir mesti memperhatikan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Nelayan dan Pembudi Daya
Pagar laut potong akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan, yang jadi sumber penghidupan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten 2025 menyebut ada 3.888 nelayan terdampak. Kini, nelayan mencari rute alternatif yang jauh dan berbahaya.
Terbatasnya akses ke wilayah tangkap tradisional menyebabkan hasil tangkap nelayan turun, berimbas langsung pada pendapatan. Pemagaran menghilangkan area tangkap yang jadi sumber penghidupan turun-temurun. Di Mauk, pendapatan nelayan jatuh drastis. Dulu, bisa menangkap 50-100 kg ikan sehari, kini paling banyak 20 kg—itu pun jika beruntung.
ADVERTISEMENT
Nelayan mesti berlayar jauh ke laut lepas untuk bertahan hidup. Tak cuma menambah biaya operasional, tapi juga risiko keselamatan. Nelayan Desa Pakuhaji semisal, kini menghabiskan 2-3 jam lebih lama untuk mencapai lokasi penangkapan baru, yang berarti banyak bahan bakar dan waktu terbuang.
Pemagaran laut memengaruhi nelayan, dan juga 502 pembudi daya di kawasan tersebut. Mereka sulit mengakses area budidaya dan mengalami “drop”nya produksi. Situasi ini paradoks dengan semangat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang menekankan perlindungan hak masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya laut.
Pemagaran laut, jelas pelanggaran hak nelayan dan masyarakat pesisir. Pemerintah segera pastikan legalitas tindakan tersebut dan mengambil langkah jika ada pelanggaran. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa pemagaran tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) adalah pelanggaran berat. Kendati, hingga kini, belum ada tindakan untuk mengatasi masalah ini dan siapa dibalik pemasang pagar laut?
ADVERTISEMENT
Perda Nomor 1 Tahun 2023
Pemagaran laut 30,16 km di pesisir Kabupaten Tangerang membikin resah di kalangan nelayan dan langgar beberapa regulasi. Menurut Perda Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023, kawasan yang dipagari yakni zona pemanfaatan umum dengan berbagai fungsi, termasuk zona pelabuhan laut, perikanan tangkap, pariwisata, dan pengelolaan energi. Pemagaran ini bertentangan dengan peruntukan multi-fungsi yang ditetapkan dalam peraturan tersebut.
Investigasi tim gabungan bersama Pemprov Banten, Polsus PSDKP (Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) pada September 2024 mengungkap fakta : tidak ada rekomendasi atau izin dari camat maupun desa terkait pemagaran laut, yang dilakukan ilegal dan tanpa prosedur perizinan yang benar. Pemagaran halangi akses publik ke wilayah pesisir, memberi kuasa penuh pada pemegang hak untuk menutup akses, beresiko merusak keanekaragaman hayati dan mengubah fungsi ruang laut. Tindakan tersebut kontradiksi dengan prinsip pemanfaatan umum kawasan pesisir yang dijamin dalam Perda.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran bukan cuma problem administratif, terlebih imbasnya pada 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya di 16 desa dari 6 kecamatan. Mereka kehilangan akses ke wilayah tangkap tradisional dan mengalami turunnya pendapatan. Seyogianya, izin usaha tak boleh dikeluarkan sebelum ada izin lingkungan atau Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Jika tidak, ada indikasi maladministrasi.
Kasus pemagaran pesisir laut, ujian bagi penegakan hukum dan tata kelola wilayah pesisir di Indonesia. Pemerintah baiknya, pusat maupun daerah, bertindak tegas dan memastikan legalitas tindakan yang ada. Rampungya kasus ini perlu pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sejatinya, harmonisasi kebijakan dan penguatan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir mesti dikolaborasi, agar sesuai dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama. (*)
ADVERTISEMENT