Konten dari Pengguna

Tantangan Gen Z Memahami Sejarah di Hari Pahlawan

Heru Wahyudi
Dosen di Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang
12 November 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Ilustrasi Hari Pahlawan Nasional, Source : antaranews.com)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi Hari Pahlawan Nasional, Source : antaranews.com)
Setiap 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan untuk mengenang peristiwa heroik Pertempuran Surabaya tahun 1945. Saat itu, para pejuang dari berbagai kalangan bersatu melawan penjajah dengan semangat yang heroik, mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Tokoh-tokoh besar seperti Bung Tomo, KH Hasyim Asy'ari, dan Gubernur Suryo jadi simbol keberanian dan pengorbanan. Meski, di tengah hiruk pikuk era digital sekarang, muncul ironi: generasi muda yang dikenal sebagai “Gen Z” justru semakin jauh dari sejarah bangsanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Gen Z lahir di mana teknologi digital semakin pesat. Gen Z mahir memakai gadget, dari media sosial hingga aplikasi berbasis internet. Walau, buntut kemudahan akses informasi ini, muncul problem besar: banyak dari Gen Z yang tak lagi paham atau bahkan apatis pada sejarah bangsa.
Sejarah perjuangan para pahlawan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini acap kali cuma jadi cerita usang di buku pelajaran sekolah. Anehnya, padahal Gen Z punya akses ke informasi tanpa batas lewat internet, justru lebih kenal selebriti dunia maya atau tren TikTok daripada tokoh-tokoh pahlawan nasional seperti Bung Tomo atau Tan Malaka.
Gejala ini sering disebut “amnesia sejarah”, yakni ketika masyarakat—terutama generasi muda—lupa akar sejarahnya. Amnesia sejarah tak sekedar tentang ketidaktahuan peristiwa masa lalu, melainkan juga hilangnya pemahaman tentang nilai-nilai yang membentuk identitas bangsa.
ADVERTISEMENT
Ketika generasi muda tak lagi paham sejarah bangsanya sendiri, generasi muda kehilangan pegangan untuk memahami jati dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sejarah tak sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa; sejarah ialah nasehat yang menafsirkan bagaimana bangsa ini terbentuk dan tantangan apa yang telah dihadapi untuk mencapai kemerdekaan. Tanpa kesadaran ini, generasi muda berisiko kehilangan rasa kebangsaan dan tanggung jawab sosialnya.
Hari Pahlawan mestinya menjadi jalan berkontemplasi bagi kita semua, termasuk bagi Gen Z. Nilai-nilai kepahlawanan seperti keberanian, pengorbanan, dan persatuan masih bermakna dalam kehidupan modern sekarang. Di tengah pusaran globalisasi, kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan masalah lingkungan, semangat para pahlawan hendaknya dijadikan inspirasi untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.
Sayangnya, tantangan saat ini yakni menjaga semangat kepahlawanan tetap hidup di tengah masyarakat yang semakin terjerembab pada individualistis dan materialis. Generasi muda kerap terjebak dalam budaya konsumtif dan pencarian popularitas instan di media sosial daripada memikirkan sumbangsihnya bagi bangsa.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sudah mencoba memecahkan masalah ini lewat berbagai kebijakan pendidikan, salah satunya adalah Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum ini memberi keluwesan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Kendati, kebijakan ini juga membuat kegamangan bahwa pelajaran sejarah bisa saja terpinggirkan sebab dianggap kurang “nyambung” dibandingkan pelajaran lain yang lebih "menarik" atau "berguna" secara praktis.
Sekiranya sejarah tidak diajarkan dengan cara yang menarik dan linier bagi kehidupan sehari-hari siswa, maka risiko amnesia sejarah akan semakin besar. Padahal, pendidikan sejarah sangat vital untuk membentuk karakter generasi muda yang sadar akar budayanya dan punya rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Amnesia Sejarah
Sejarah merupakan petunjuk yang menyiarkan perjalanan suatu bangsa. Dari sejarah, kita bisa menyelami bagaimana bangsa ini terbentuk, siapa saja yang berjuang, dan pelajaran apa yang bisa diambil dari masa lalu. Walau, belakangan ini, gejala “amnesia sejarah” semakin miris. Banyak di antara kita, terutama generasi muda dan kalangan kelas menengah, mulai melupakan pentingnya sejarah. Lebih dari sekadar ketidaktahuan, amnesia sejarah ini membawa konsekuensi : bangsa yang lupa akan masa lalunya condong mengulang kesalahan yang sama.
ADVERTISEMENT
Amnesia sejarah bukan fenomena baru, tetapi semakin riil dalam beberapa dekade terakhir. Kelas menengah, yang biasanya jadi motor perubahan sosial dan ekonomi, justru kerap terjebak dalam pola pikir pragmatis yang mengacuhkan warisan sejarah. Kelas menengah lebih fokus pada isu-isu kekinian seperti ekonomi dan teknologi, tatkala pengetahuan tentang sejarah bangsa dianggap kurang “update”.
Amnesia sejarah juga kentara dalam minimnya pengetahuan generasi muda tentang peristiwa-peristiwa dalam sejarah Indonesia. Pertempuran Surabaya 1945, yang jadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan diperingati setiap Hari Pahlawan, terkadang hanya dipahami sebagai catatan singkat dalam buku pelajaran sekolah. Begitu pula dengan Palagan Palembang atau peristiwa-peristiwa besar lainnya yang meng”konstruksi” perjalanan bangsa ini.
Generasi muda yang besar di era digital akrab dengan informasi cepat dan instan daripada narasi panjang tentang perjuangan bangsa. Kemungkinan tahu tanggal-tanggal penting seperti Proklamasi Kemerdekaan, tetapi banyak yang tak paham pesan di balik peristiwa tersebut. Imbasnya, nilai-nilai seperti keberanian, pengorbanan, dan persatuan yang diwariskan oleh para pahlawan semakin termarjinalkan.
ADVERTISEMENT
Bung Karno pernah berpesan dengan tegas: "Jas Merah", singkatan dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Pesan ini tak cuma slogan nasionalistik ; adalah peringatan bahwa bangsa yang melupakan sejarahnya akan kehilangan identitas dan arah. Sejarah merupakan soko guru bagi bangsa untuk memahami siapa sebenarnya dan ke mana mesti menuju.
Melupakan sejarah artinya melupakan pelajaran berharga dari masa lalu—baik keberhasilan maupun kegagalan. Tanpa kesadaran tentang sejarah, kita berisiko membuat keputusan yang salah sebab tak belajar dari kesalahan sebelumnya. Semisal, munculnya kembali tokoh-tokoh otoriter atau kebijakan politik represif bisa terjadi jika masyarakat tak mengingat akibat buruk dari pemerintahan masa lalu.
Maka dari itu, ingatan kolektif tentang perjuangan para pahlawan memberi kita rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Ketika kita mengenang Pertempuran Surabaya atau Puputan di Bali, kita tak semata mengenang peristiwa itu sendiri melainkan juga nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh para pejuang: kemerdekaan, keadilan, dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya jadi pedoman bagi kita semua ketika menghadapi tantangan masa sekarang.
ADVERTISEMENT
Jika amnesia sejarah terus dilanggengkan tanpa ada usaha untuk mengatasinya, imbasnya bisa merusak bagi keberlangsungan bangsa ini. Generasi muda yang tak paham akar sejarahnya akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab pada masa depan bangsanya sendiri. Sekiranya mungkin lebih peduli pada tren global atau rumor luar negeri ketimbang masalah-masalah domestik yang sebenarnya membutuhkan minat.
Hilangnya kesadaran sejarah juga memicu disintegrasi sosial. Ketika masyarakat kehilangan ikatan emosional dengan perjuangan bersama di masa lalu, rasa persatuan pun semakin rapuh. Hal ini bisa membuka jalan bagi konflik internal atau bahkan ancaman terhadap kedaulatan negara.
Ironi Gen Z
Gen Z, condong disanjung sebagai generasi yang sadar teknologi. Tumbuh di era digital, yang akses informasi tersebut ada di ujung jarinya. Dari kemudahan internet, media sosial, dan berbagai aplikasi, generasi ini punya segudang kemampuan mencari informasi dalam hitungan detik. Walau, buntut kecanggihan teknologi yang dikuasainya, muncul ironi yang bikin waswas : banyak dari Gen Z malah tak paham dasar-dasar geografi atau sejarah bangsanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh dari ironi ini yakni bagaimana sebagian besar Gen Z lebih kenal selebriti seperti Raffi Ahmad atau Atta Halilintar daripada nama-nama pahlawan nasional seperti Cut Nyak Dien atau Jenderal Sudirman. Gen Z mungkin hafal detail kehidupan pribadi selebriti favoritnya dari Instagram atau TikTok, kendati tak bisa menyebutkan nama ibu kota provinsi di Indonesia selain Jakarta.
Situasi ini membeberkan bahwa sekalipun Gen Z punya akses tak terbatas pada informasi, pengetahuannya tentang hal-hal mendasar seperti geografi dan sejarah bangsa justru semakin tergerus. Gen Z akrab dengan konten viral di media sosial ketimbang memahami peristiwa-peristiwa yang membentuk identitas bangsa Indonesia.
Anehnya, teknologi yang harusnya mempermudah pemahaman geografi dan sejarah justru acap kali jadi penghambat. Aplikasi seperti Google Maps memang memudahkan kita untuk menemukan lokasi dengan cepat tanpa perlu menghafal peta atau memahami letak geografis suatu daerah. Sebaliknya, ketergantungan berlebihan pada teknologi ini membuat banyak orang—terutama Gen Z—tak lagi perlu untuk benar-benar paham geografis suatu tempat.
ADVERTISEMENT
Seumpama, seseorang mungkin tahu cara pakai Google Maps untuk menemukan jalan ke Yogyakarta, tetapi tak tahu bahwa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa dengan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gen Z mungkin bisa sampai ke tujuan dengan bantuan teknologi, tetapi kehilangan pemaknaan tentang tempat tersebut dan nilai historisnya.
Hal serupa terjadi dalam sejarah. Walaupun informasi tentang sejarah Indonesia tersedia secara luas di internet, banyak dari Gen Z yang tak tertarik untuk menggali lebih jauh. Alih-alih membaca buku sejarah atau menonton dokumenter tentang perjuangan kemerdekaan, Gen Z lebih memilih menghabiskan waktu menonton video hiburan di YouTube atau mengikuti tren terbaru di TikTok.
Ketidakpedulian pada geografi dan sejarah bangsa ini tak cuma berdampak pada pengetahuan individu; juga punya imbas jangka panjang terhadap rasa kebangsaan dan tanggung jawab sosial. Sejarah dan geografi adalah dua elemen yang membentuk identitas nasional. Ketika generasi muda tak lagi sadar akar sejarahnya atau apatis terhadap kondisi geografis negaranya, maka rasa kebangsaan pun akan semakin meredup.
ADVERTISEMENT
Hilangnya rasa kebangsaan ini bisa berujung pada kurangnya empati pada isu-isu nasional yang selayaknya jadi perhatian bersama. Misalnya, ketika bencana alam terjadi di suatu daerah di Indonesia, banyak dari kita mungkin jauh secara emosional sebab tak paham betapa pentingnya daerah tersebut bagi keseluruhan negara. Atau ketika kebijakan pemerintah terkait pembangunan infrastruktur diumumkan, sebagian besar masyarakat mungkin tak peduli sebab tak memahami dampaknya terhadap wilayah-wilayah tertentu.
Ketidakpedulian pada sejarah juga bisa menyebabkan generasi muda hilangnya rasa tanggung jawab sosial terhadap masa depan bangsa. Ketika Gen Z tak lagi menghargai perjuangan para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan Indonesia, maka semangat untuk melanjutkan perjuangan tersebut pun akan luruh.
Kurikulum Merdeka Belajar
Kurikulum Merdeka Belajar yang dikenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Kurikulum ini memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan bakatnya. Tujuannya untuk mendorong pembelajaran yang lebih personal dan relevan dengan kebutuhan individu. Kendati, di balik keluwesan ini, muncul kendala : bagaimana memastikan bahwa semua siswa bisa mendapatkan kesadaran tentang sejarah nasional?
ADVERTISEMENT
Kebebasan dalam memilih mata pelajaran tentu jadi salah satu daya tarik dari Kurikulum Merdeka Belajar. Siswa diberi kesempatan untuk intens pada bidang yang diminati, seperti sains, teknologi, atau seni. Walau, kebebasan ini juga membawa risiko tersendiri, terutama dalam pembelajaran sejarah.
Salah satu klisenya yang muncul yakni tendensi siswa untuk mengacuhkan mata pelajaran yang dianggap "tak relevan" atau "tak menarik," seperti sejarah. Banyak siswa lebih tertarik pada pelajaran yang dianggapnya lebih praktis atau berguna untuk masa depan kariernya, seperti matematika atau ilmu komputer. Akibatnya, sejarah—yang merupakan mata pelajaran vital untuk memahami identitas bangsa—acap kali tersisihkan.
Ketika sejarah tak lagi jadi pilihan dalam kurikulum, pemahaman siswa tentang peristiwa penting yang membentuk bangsa ini bisa menjadi dangkal. Siswa mungkin mengenal tanggal-tanggal penting seperti Proklamasi Kemerdekaan atau Hari Pahlawan, tapi tak paham di balik peristiwa tersebut. Hal ini bisa mengarah pada hilangnya kesadaran sejarah di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Selain problem pemilihan mata pelajaran, Kurikulum Merdeka Belajar juga menghadapi kendala lainnya: ketidakmerataan sumber daya pendidikan di berbagai daerah. Di kota-kota besar dengan akses teknologi dan fasilitas pendidikan yang memadai, siswa masih bisa mendapatkan materi pembelajaran sejarah yang berkualitas melalui internet atau sumber daya digital lainnya.
Walau, di daerah-daerah terpencil atau kurang berkembang, akses terhadap materi pembelajaran sejarah yang berkualitas terkadang sangat terbatas. Banyak sekolah di daerah-daerah tersebut tidak punya guru sejarah yang kompeten atau bahan ajar yang mencukupi. Akibatnya, kendati Kurikulum Merdeka memberi kebebasan pada siswa untuk belajar sesuai minatnya, tak semua siswa punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan sejarah yang baik.
Ketidakmerataan ini berpotensi memperdalam kesenjangan pengetahuan antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Generasi muda di daerah-daerah terpencil bisa jadi semakin jauh dari kesadaran tentang sejarah nasional karena keterbatasan akses pada sumber daya pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dengan semua tantangan tersebut, pertanyaannya adalah : bagaimana kita bisa memastikan bahwa generasi muda tetap memahami sejarah bangsa meskipun dengan sistem pendidikan yang lebih fleksibel?