Konten dari Pengguna

UU Pemajuan Kebudayaan Ubah Wajah Kota Serang

Heru Wahyudi
Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
5 Mei 2025 15:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Ilustrasi komunitas yang sedang berdiskusi tentang Pemajuan Kebudayaan Kota Serang : Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi komunitas yang sedang berdiskusi tentang Pemajuan Kebudayaan Kota Serang : Dok. Pribadi)
Bulan Maret 2024 lalu, Kota Serang, Banten, menjadi pusat perhatian usai Komisi X DPR RI memeriksa pelestarian bahasa daerah. Temuan tersebut mengkhawatirkan—bahasa lokal makin terpinggirkan, seiring data BPS 2020 yang menilik 38% anak Indonesia tak lagi memakai bahasa daerah. Problem ini jadi ujian : sejauh mana komitmen pemerintah daerah menjalankan amanat UU Pemajuan Kebudayaan No. 5/2017?
ADVERTISEMENT
Pemkot Serang menggenjot pelestarian bahasa daerah lewat Peraturan Walikota penggunaan aksara Arab dan penerapan bahasa Jawa Serang di sekolah hingga pesantren. Tentunya ini menanggapi temuan yang mengkhawatirkan dari BPS 2020 bahwa 38 persen generasi muda meninggalkan bahasa daerahnya. Pasalnya, pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan di kota ini masih terhambat oleh kurangnya anggaran.
Perda Pemajuan Kebudayaan Banten akhirnya disahkan pada Maret 2024, setelah 23 tahun berdiri. Perda ini mengatur sepuluh objek pemajuan kebudayaan, mulai dari tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, hingga olahraga tradisional—jadi landasan hukum pelestarian, termasuk di Kota Serang. Perda ini sejalan dengan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025–2045 lewat Perpres 115/2024 yang menempatkan budaya sebagai aset strategis.
ADVERTISEMENT
Strategi pemajuan kebudayaan menitik beratkan tiga hal: kebijakan hukum, inovasi sosial-budaya, dan pengembangan produk budaya. Di era digital, pengembangan produk jadi formula—budaya bukan lagi hanya warisan, selebihnya potensi ekonomi. Kota Serang punya modal besar untuk menjadikannya tulang punggung ekonomi kreatif. Problemnya: apakah pemerintah sigap memanfaatkan peluang ini, atau membiarkannya jadi potensi yang tak tergarap?
Inventarisasi dan Revitalisasi Cagar Budaya
Penetapan Banten Lama sebagai kawasan cagar budaya pada Desember lalu seolah jadi kabar baik—akhirnya tujuh situs penting dilindungi secara hukum. Tapi ini tentu baru permukaan. Target status nasional baru dicanangkan untuk 2025, terlalu lambat untuk kawasan yang nilai historisnya sudah diakui sejak lama. Dari 221 cagar budaya di Banten, 149 masih sekadar “terindikasi”—belum diverifikasi, belum dipastikan nasibnya. Sementara itu, kekurangan arkeolog dan tenaga pelestari terus menghambat langkah riil.
ADVERTISEMENT
Revitalisasi Banten Lama semestinya proyek fisik, dan upaya membangkitkan kembali denyut sosial, edukatif, dan ekonomi kawasan bersejarah. Pemerintah Banten memang telah meneken kesepakatan zonasi demi pembangunan yang “terintegrasi dan berkelanjutan. Data mengindikasi revitalisasi menyumbang 34,6% peningkatan wisatawan, ikut menggerakkan ekonomi lokal, (A. A. Lestari et al.2021).
Sekalipun, di balik geliat revitalisasi, Banten Lama masih terseok oleh persoalan klasik: infrastruktur yang belum memadai dan kelembagaan yang lemah. Tanpa kolaborasi lintas sektor dan keterlibatan warga, kawasan ini resikonya jadi proyek elitis yang terputus dari akar sosialnya. Edukasi dan sosialisasi pun belum cukup menggugah kesadaran bersama soal sakralnyanya menjaga warisan budaya.
Payung hukum pelestarian Banten Lama sudah jelas—dari UU Cagar Budaya 2010 dan Perda Kota Serang 2021. Pemerintah daerah punya wewenang penuh untuk mengelola, tapi persoalannya soal regulasi sampai eksekusi. Target menjadikan kawasan ini cagar budaya nasional pada 2025 tampak menjanjikan, walau tanpa konsistensi pengawasan dan keberpihakan pada kepentingan publik, status nasional itu rawan jadi sekadar pencapaian administratif.
ADVERTISEMENT
Kota Serang dan Pembangunan Berbasis Budaya
Kota Serang kini tengah meracik Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025-2045, mengikuti jejak Perpres 115/2024 yang diteken Presiden Oktober 2024 lalu. Kebudayaan digadang jadi "haluan pembangunan nasional", dengan visi "Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan”. RIPK nasional punya 7 misi, mencakup perlindungan tradisi hingga pemanfaatan budaya untuk kesejahteraan dan diplomasi.
Perpres 115/2024 menandai babak baru dalam kebijakan budaya Indonesia—bukan lagi soal melestarikan masa lalu, tapi memosisikan kebudayaan sebagai fondasi masa depan. Keragaman budaya yang mencerdaskan dan menyejahterakan yakni dasar dari visi "Indonesia Bahagia".
Tujuh misi kebudayaan ditetapkan oleh RIPK dari tahun 2025 hingga 2045, mulai dari membangun ekspresi budaya dan pelestarian tradisi hingga menjadikan budaya sebagai alat diplomasi dan sumber kesejahteraan. Reformasi kelembagaan dan anggaran juga jadi perhatian, dengan pemerintah didorong perannya sebagai fasilitator, bukan pengendali.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota Serang menerjemahkan RIPK nasional ke dalam RPJPD dari tahun 2025 hingga 2045, mengambil aspirasi warga melalui Musrenbang. Dokumen ini jadi panduan dua dekade ke depan, demi menyelaraskan kebijakan, pelaksanaan, dan hasil pembangunan. Sinkronisasi dengan RPJPN dan RIPK ditegaskan agar kebudayaan tak jadi program pelengkap, tapi bagian inti dari strategi pembangunan—dari penguatan identitas lokal hingga pendorong ekonomi kreatif.
Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan Kota Serang bertumpu pada tiga pondasi : pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya. Tujuannya riil—menjaga warisan, mendorong inovasi lokal yang berakar tradisi, dan menjadikan budaya sebagai sumber kesejahteraan. Kota Serang juga ikut mengejar target nasional peningkatan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dari 57,13 ke 68,15 pada 2045.
Penyusunan RIPK Kota Serang melibatkan banyak pihak—dari pemerintah hingga komunitas budaya dan warga. Pendekatan partisipatif ini jadi harapan lahirnya kebijakan yang inklusif dan relevan.
ADVERTISEMENT
Ekonomi Kreatif dan Festival Lintas Budaya
Ekonomi kreatif di Kota Serang punya potensi, tapi belum satu pun dari 17 subsektornya berkembang maksimal hingga akhir 2024. Masalahnya klasik: perencanaan lemah, fasilitas minim, dan dukungan pembiayaan nyaris tak terasa. Potensi lokal seperti pencak silat, kuliner khas, hingga fesyen belum menjelma jadi motor ekonomi. Jika tak ada model triple helix—kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan bisnis—ekraf Serang tetap tertinggal dan hanya jadi potensi yang disebut-sebut tetapi tidak pernah terwujud.
Festival budaya seperti Pawai HUT Kota Serang dan Serang Fair bukanlah acara rutin. Setidaknya jadi ruang hidup bagi ekspresi budaya, promosi produk lokal, hingga penggerak ekonomi UMKM. Lewat seni, kuliner, dan pencak silat, identitas budaya dikuatkan, sekaligus membuka jalan bagi ekonomi kreatif yang membumi. Dilibatkannya gen Z dan komunitas lintas agama menilik bahwa pelestarian budaya, toleransi, dan ekonomi bisa tumbuh selaras, asalkan ada ruang yang memfasilitasi.
ADVERTISEMENT
Pencak silat, kuliner khas, dan seni pertunjukan jadi andalan ekonomi kreatif Kota Serang. Pencak silat tak lagi dianggap warisan, tapi atraksi wisata dan penggerak budaya desa. Sate bandeng, rabeg, dan kue gipang punya potensi pasar luas, asal dikuatkan dengan inovasi dan branding. Sementara itu, seni dan kerajinan lokal terus jadi wajah Serang di setiap festival—modal sosial dan ekonomi yang belum digarap maksimal.
Pemerintah Kota Serang sejatinya membuktikan niat dengan festival ekonomi kreatif dan forum khusus untuk sektor ini, tujuannya menjadikan potensi lokal sebagai ikon kota. Kendati, para pelaku usaha dan peneliti menilai perlu adanya percepatan regulasi yang melindungi serta mendukung industri kreatif, ditambah dengan peningkatan kapasitas SDM dan akses pembiayaan. Kemenparekraf juga mendorong urgensi uji petik Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif (PMK3I) untuk mengidentifikasi subsektor unggulan dan membangun ekosistem yang mandiri serta kompetitif.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, penguatan ekonomi kreatif dan festival budaya di Kota Serang adalah cara yang bijaksana untuk membangun identitas dan daya saing. Dari kolaborasi lintas sektor, inovasi, dan kebijakan yang mendukung, Serang idealnya menjadi pusat ekonomi kreatif berbasis budaya di Banten, bahkan Indonesia.