Tinder: For Soulmate, Lover, or Swindler?

Belvina Angelica
Mahasiswi Magister Sains Psikologi Universitas Surabaya
Konten dari Pengguna
28 Juni 2022 19:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Belvina Angelica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi soulmate. Dokumentasi: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi soulmate. Dokumentasi: Pribadi.
ADVERTISEMENT
Siapa sih yang belum pernah mendengar kata Tinder? Rasanya jarang sekali manusia di era ini yang belum pernah mendengar kata Tinder, terutama para kaum milenial. Yaps, Tinder adalah salah satu dating apps, sebuah platform aplikasi yang dapat mempertemukan dua orang yang sedang mencari tambatan hati.
ADVERTISEMENT
Aplikasi Tinder sendiri sudah di-release sejak tahun 2012 oleh Sean Rad, setelah konsepnya dibentuk bersama teman – temannya melalui sebuah acara laboratorium Start Up Hackathon di West Hollywood, California. Tinder menjadi salah satu aplikasi kencan online pertama yang menginspirasi kemunculan aplikasi kencan online lainnya.
Lantas mengapa Tinder kian populer di kalangan anak muda saat ini? Sebenarnya Tinder sudah sangat populer sejak kemunculannya di tahun 2012, bahkan di tahun 2014 Tinder menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan dengan total 1 miliar swipe per hari. Hanya saja, di Indonesia tren ini baru marak beberapa tahun terakhir, terutama semenjak munculnya pandemi COVID-19 di mana anak muda memiliki ruang gerak yang sangat terbatas untuk menjalin hubungan “pertemanan”.
ADVERTISEMENT
Kemudian kemunculan film “The Tinder Swindler” yang sangat populer di Netflix juga menambah ledakan popularitas Tinder karena menceritakan kisah nyata yang mengungkap sisi gelap dari aplikasi Tinder. Meskipun film dokumenter besutan Felicia Morris tersebut tidak serta merta bertujuan agar para millenial berhenti menggunakan Tinder, namun ada baiknya bila kita menjadi lebih waspada dan belajar dari kisah ini.
Diceritakan Cecilie Fjellhoy, seorang wanita berusia 29 tahun yang sudah bermain Tinder sejak usia 22 tahun. Tentu wajar Cecilie aktif bermain Tinder, sejalan dengan teori perkembangan oleh Erik Erikson, di usia ini penting bagi seseorang memiliki hubungan romantis dengan orang lain. Terutama, diceritakan bahwa sejak kecil Cecilie sangat menyukai kisah romansa di Disney Princess, terutama kisah Beauty and the Beast. Cecilie mengagumi sosok Belle, wanita sederhana yang memiliki keberanian untuk menyelamatkan pangerannya. Lalu, Simon Leviev muncul di momen yang tepat dari di aplikasi yang telah menemani Cecilie 7 tahun terakhir.
The Tinder Swindler. Foto: IMDb
Tidak memerlukan waktu lama untuk Cecilie untuk kagum pada pesona Simon, sejak kopi darat pertamanya, Cecilie percaya bahwa Simon adalah rupa pangeran yang selama ini ia dambakan. Simon memang tampak seperti ‘pangeran ideal’ bagi kalangan wanita baik secara materi maupun karakter. Simon memberi impresi awal yang positif dengan bersikap gentle dan humble meskipun ia memperkenalkan diri sebagai konglomerat, pewaris tahta perusahaan berlian. Bahkan, Simon mengajak Cecilie untuk berlibur bersama dengan jet pribadinya di pertemuan pertama mereka. Sejak itu, Cecilie yakin bahwa ia jatuh hati pada Simon dan mereka memutuskan untuk berpacaran.
ADVERTISEMENT
Memutuskan untuk jatuh cinta dalam pertemuan pertama mungkin cukup mengherankan untuk beberapa diantara kita masyarakat adat Timur, khususnya Indonesia. Tetapi yang dilakukan Cecilie sangat dapat dimaklumi di negara Barat dengan pola pikir modern di mana sangat mungkin bagi mereka untuk memutuskan jatuh cinta dalam waktu singkat, bahkan tidak jarang masyarakat bermain Tinder hanya untuk kebutuhan seks semata.
Namun, hal yang mencengangkan dalam film tersebut diceritakan bahwa dengan usia hubungan yang baru seumur jagung dan dengan status LDR (Long Distance Relationship), Cecilie bersedia membantu Simon dengan meminjamkan uang dalam jumlah fantastis. Simon yang awalnya meminjam £ 25.000 (Sekitar Rp 450 juta), terus meminjam hingga ratusan ribu poundsterling. Bahkan Simon terus mendesak Cecilie untuk meminjam melalui kredit dan membohongi bank. Semua itu dilakukan Cecilie hanya agar dapat memberikan sejumlah uang dalam jumlah besar pada Simon tanpa kecurigaan apapun. Singkat cerita, diketahui bahwa Simon merupakan scammer (penipu) internasional dan telah menipu Cecilie, meninggalkannya dengan setumpuk hutang.
Simon Leviev memberikan komentar pertama terkait dokumenter Tinder Swindler. Foto: dok. Netflix
Sejak kisah Cecilie pertama kali diungkap oleh salah satu media ternama, VG News, dan pro dan kontra pun bermunculan. Sebagian pembaca bersimpati pada Cecilie, namun tidak sedikit yang mengkritik, bahkan menghujat Cecilie atas kecerobohan yang dia lakukan. Bagi sebagian pembaca, perilaku Cecilie sangat tidak wajar. Apakah mungkin seseorang bisa begitu ceroboh dengan membuat pinjaman dalam jumlah tidak masuk akal atas nama dirinya demi seseorang yang baru dikenal 6 bulan saja melalui aplikasi Tinder?
ADVERTISEMENT
Namun, bila ditinjau dari sudut pandang psikologi, perilaku Cecilie dapat dijelaskan melalui beberapa perspektif. Berikut penjelasannya:
ADVERTISEMENT
Dari kisah cinta Cecilie dari film The Tinder Swindler, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari agar Tinder mempertemukan kita pada soulmate atau lover, alih – alih “the swindler”.
Pertama, know yourself. Penting sekali untuk kita mengenali diri sendiri, baik kelebihan dan kelemahan, kebutuhan emosi, motivasi dan cita-cita agar tidak mudah terperdaya dengan sikap orang lain. Kita juga bisa loh, mengikuti tes – tes personality dari lembaga – lembaga terpercaya, atau konsultasi pada psikolog untuk lebih paham mengenai diri kita.
Kedua, know your partner. Waktu memegang kunci penting bagi hubungan yang sehat. Relasi yang baik tentu dibangun dari pengenalan, komunikasi, dan pengertian, dan semua itu memerlukan waktu. Perlu waktu yang tidak singkat untuk mengenali keseluruhan karakter seseorang, juga sebaliknya, untuk kita menampilkan karakter kita pada orang tersebut, se-apa-adanya.
ADVERTISEMENT
Tiga, keep the logic on. Memang, asap dari cinta yang membara sering membuat kabur logika kita. Namun, ada baiknya kita tetap mendengar alarm logika kita. Alarm bisa berupa red flag, rasa tidak nyaman, atau mungkin nasihat orang terdekat kita? Bukan hanya dari pasangan tapi juga lingkungan sosial kita. Jangan ragu untuk menarik diri dari lingkungan yang toxic. We deserve a healthy social environment.
Last but not least, love takes time. Tentu masalah utama bukanlah pada penggunaan aplikasi dating apps karena pada dasarnya aplikasi ini dibuat untuk mempermudah manusia dalam memperluas koneksi dan pertemanan sosial. Namun, jangan sampai mudah terkecoh dengan apa yang kita lihat dari profil sosial media saja.
ADVERTISEMENT
Jadi apakah Tinder masih menarik minat kalian untuk mencari soulmate atau lover? Ataukah kalian masih terlibat dengan the swindler from Tinder ?