news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dari Zaman Edan ke Masa Depan: Membaca Ulang Jayabaya dan Ranggawarsita

Suhendi bin Suparlan
Mengabdi pada Negara (ASN Arsiparis di BRIN)
25 Maret 2025 13:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini membahas reinterpretasi warisan literatur profetik Nusantara, khususnya Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, dalam kerangka bahasa dan metodologi ilmiah kontemporer. Dengan pendekatan hermeneutika historis dan kritik budaya, kami mengkaji bagaimana konsep-konsep seperti “zaman edan”, “ratu adil”, dan “tan keno kinayangapa” dapat ditafsirkan ulang sebagai narasi sosial tentang disrupsi, harapan, dan masa depan kolektif. Di tengah percepatan teknologi, krisis identitas, dan perubahan iklim global, narasi-narasi tradisional ini menawarkan bukan sekadar mitos, melainkan bentuk etika dan refleksi moral masa depan.
ilustrasi gambar : chatgpt
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar : chatgpt
Narasi-narasi ramalan dalam tradisi Nusantara bukanlah sekadar dongeng masa lampau. Mereka adalah cara khas budaya lokal merespons ketidakpastian zaman—dengan simbol, metafora, dan spiritualitas. Jayabaya, raja Kediri abad ke-12, dan Ranggawarsita, pujangga Surakarta abad ke-19, sama-sama menulis dalam situasi krisis: politik, sosial, dan kosmologis. Di era kini, di mana dunia menghadapi tantangan global yang serba kompleks, pertanyaannya: masih adakah ruang bagi “ramalan” seperti ini dalam wacana ilmiah modern?
ADVERTISEMENT

Zaman Edan sebagai Metafora Disrupsi

Ranggawarsita menulis:
Zaman edan, yen ora edan ora keduman. Nanging sanadyan edan, isih eling lan waspada.
Ungkapan ini sering dikutip dalam konteks kekacauan nilai. Dalam kajian sosiologis, hal ini selaras dengan konsep anomi dari Durkheim—yakni kondisi di mana norma sosial kehilangan daya ikat akibat percepatan perubahan sosial. Fenomena seperti krisis iklim, digitalisasi masif, dan post-truth politics adalah contoh nyata dari “zaman edan” kontemporer. Di sini, ramalan Ranggawarsita bukanlah nubuat, melainkan diagnosis sosial dengan dimensi etis: eling lan waspada (ingat dan waspada) menjadi seruan moral melawan kekacauan nilai.
Tan Keno Kinayangapa dan Batas Pengetahuan
Jayabaya menyebut masa depan sebagai:
Tan keno kinayangapa – tak dapat dijangkau oleh nalar biasa.
ADVERTISEMENT
Jika dibaca dalam konteks filsafat ilmu kontemporer, ini menyentuh batas-batas epistemologis manusia. Dalam teori kompleksitas, masa depan adalah domain non-deterministik yang tak bisa sepenuhnya diramalkan. Konsep ini sejalan dengan chaos theory dan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Di sini, kosmologi lokal ternyata mendahului intuisi saintifik modern: bahwa masa depan tidak bisa dipastikan, tetapi bisa disegani dan disiapkan secara etis.
Ratu Adil sebagai Harapan Kolektif
Dalam Jangka Jayabaya, muncul figur Ratu Adil—sosok pemimpin dari timur yang membawa keadilan dan kesejahteraan. Dalam pendekatan Weberian, ini menyerupai konsep pemimpin karismatik yang muncul dalam krisis sistemik. Di era kini, figur Ratu Adil bisa dibaca sebagai metafora untuk transisi sosial besar: pemimpin kolektif yang muncul dari bawah, berbasis etika ekologis, kesetaraan digital, dan solidaritas lintas identitas.
ADVERTISEMENT

Ramalan Masa Depan

Jika Jayabaya dan Ranggawarsita hidup hari ini, mungkin mereka akan berkata:
“Akan datang masa ketika manusia kehilangan batas antara nyata dan buatan. Teknologi berkembang melampaui kebijaksanaan. Akan muncul sosok atau gerakan yang mengingatkan kembali tentang keseimbangan. Ratu Adil tidak datang dari langit, tapi tumbuh dari kesadaran bersama.”
Narasi ini bukan sekadar prediksi, tetapi visi etis: bahwa masa depan harus dibentuk bukan oleh kecanggihan semata, tapi oleh kedewasaan spiritual dan tanggung jawab sosial.

Kesimpulan

Ramalan tradisional bukan antitesis ilmu pengetahuan, melainkan bentuk lain dari kebijaksanaan. Dengan pendekatan interpretatif dan transdisipliner, kita bisa menemukan resonansi antara zaman edan dan disrupsi digital, antara tan keno kinayangapa dan batas pengetahuan ilmiah, serta antara ratu adil dan harapan kolektif dunia yang lebih adil. Menulis masa depan, dalam gaya Jayabaya-Ranggawarsita yang diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah kini, adalah upaya menjembatani masa lalu dan masa depan lewat etika dan imajinasi bersama.
ADVERTISEMENT