Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Keberadaan Kita di Dunia Hanyalah Sementara
10 April 2025 9:22 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah lajunya perubahan zaman, manusia sering kali terperdaya oleh bayang-bayang kepemilikan. Segala sesuatu—mulai dari rumah, jabatan, kendaraan, hingga tubuh dan waktu—kita anggap sebagai hak penuh yang bisa kita kendalikan semaunya. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Gus Baha’, segala hal di dunia ini pada hakikatnya hanyalah pinjaman. Kita hanya diberi wewenang untuk memanfaatkannya, bukan untuk menguasainya secara mutlak.
ADVERTISEMENT

Makna Dalam Konsep Titipan
Dalam budaya Jawa dan tradisi Islam Nusantara, konsep "titipan" mengandung makna mendalam. Sebuah titipan menuntut dua hal: tanggung jawab dan kesadaran akan batas waktu. Titipan bukan untuk dibanggakan, melainkan dijaga, dirawat, dan pada waktunya dikembalikan.
Jika tubuh adalah titipan, maka menjaga kesehatan bukan hanya hak pribadi, melainkan kewajiban spiritual. Jika waktu adalah titipan, maka menyia-nyiakannya sama saja dengan mengkhianati amanah. Jika anak, pasangan, bahkan ilmu adalah titipan, maka memperlakukan mereka dengan bijak adalah bentuk syukur tertinggi.
Lawan dari Kesadaran Titipan: Kepemilikan Egois
Sebaliknya, ketika seseorang merasa memiliki segalanya secara absolut, lahirlah rasa tamak, iri, dan takut kehilangan. Ego tumbuh subur dalam tanah kepemilikan palsu. Manusia mulai saling menjatuhkan demi mempertahankan apa yang sebenarnya bukan miliknya. Inilah akar dari banyak kerusakan sosial dan batin.
ADVERTISEMENT
Kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan melahirkan ketenangan batin dan kerendahan hati. Namun begitu kesadaran ini pudar, manusia mudah tergelincir ke dalam jurang kepemilikan egois. Ini adalah kondisi ketika seseorang merasa berhak penuh atas sesuatu dan menganggapnya sebagai bagian dari identitas diri yang tak bisa disentuh oleh siapa pun.
Kepemilikan egois muncul dari ilusi kontrol mutlak:
Padahal, segala yang ada di dunia ini berada dalam siklus perubahan yang tak bisa ditahan. Apa yang kita klaim sebagai ‘milik’ bisa lenyap dalam sekejap — entah oleh waktu, bencana, atau kematian.
Tiga Bentuk Kepemilikan Egois yang Menyesatkan:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Akibat Kepemilikan Egois:
Jalan Keluar: Melepas Bukan Berarti Kehilangan
Melepas bukan berarti menyerah. Justru dengan melepas ilusi kepemilikan, kita mulai hidup lebih ringan dan jernih. Melepas bukan berarti tidak memiliki apa-apa, tetapi tidak dimiliki oleh apa pun.
Kepemilikan sejati adalah yang tidak membuat kita terikat. Apa pun yang bisa kita relakan tanpa kehilangan ketenangan, itulah yang betul-betul kita kuasai — bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Menyadari bahwa hidup ini hanya titipan adalah pintu menuju tawadhu’ — rendah hati. Kita menjadi lebih tenang saat kehilangan, lebih bersyukur saat diberi, dan lebih sabar saat diuji. Tidak ada yang terlalu menggembirakan, tidak pula terlalu menyedihkan. Semua sedang dalam perjalanan menuju pengembalian.
Penutup: Menjadi Penjaga, Bukan Penguasa
Pesan Gus Baha’ membuka ruang refleksi yang luas: bahwa tugas kita bukan mengumpulkan sebanyak-banyaknya, melainkan menjaga sebaik-baiknya. Hidup bukan tentang menguasai, melainkan merawat apa yang dipercayakan kepada kita — dengan cinta, kesadaran, dan tanggung jawab.
Karena pada akhirnya, saat panggilan pulang datang, kita akan meninggalkan semuanya. Yang kita bawa hanyalah catatan tentang bagaimana kita menjaga titipan itu.
Referensi :
🔹 1. Filsafat Timur dan Zen
ADVERTISEMENT
🔹 2. Ajaran Tasawuf (Sufisme)
ADVERTISEMENT
🔹 3. Psikologi Humanistik dan Spiritualitas
🔹 4. Kearifan Lokal dan Budaya Nusantara
ADVERTISEMENT
🔹 5. Ajaran Agama Islam (Referensi Teks)