Konten dari Pengguna

Ketika Kemudahan Mengalihkan Kita dari Derajat yang Lebih Tinggi

Suhendi bin Suparlan
Mengabdi pada Negara (ASN di BRIN) Asma iku dudu mung celukan. Asma iku tandha, tetenger saka lelampahan kang wus ana sadurunge, lan bakal ditindakake sabanjure. kados swara alon kang ngagem makna, boten gumebyar, nanging netes ing rasa
1 April 2025 9:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Plot Twist Spiritualitas Membentuk Paradoks Moral

ADVERTISEMENT
Ada sebuah kisah sederhana namun menggelitik. Tentang seorang lelaki tua yang buta, jatuh berkali-kali saat berjalan menuju masjid. Tapi ia tetap bangkit dan melanjutkan. Sampai suatu hari, tiba-tiba ia tidak jatuh lagi. Ada seseorang yang membantunya. Dengan senyum ramah, orang itu bahkan memapah si kakek hingga sampai ke halaman masjid.
ADVERTISEMENT
“Terima kasih, Nak,” kata si kakek.
Namun sebelum melepas pelukan singkatnya, ia bertanya, “Kamu siapa?”
Orang itu tersenyum pahit.
"Aku setan..."
Kenapa membantu? Karena setiap kali si kakek jatuh dan bangkit, dosa-dosanya diampuni. Dan setan tidak tahan melihat pahala sebesar itu mengalir begitu saja. Maka lebih baik ia bantu, supaya tak ada lagi penghapusan dosa.
ilustrasi gambar : chatgpt
Kisah ini bukan soal siapa benar dan siapa salah. Tapi soal mekanisme yang lebih dalam dalam hidup: kadang kita mengira kemudahan adalah berkah—padahal bisa jadi itu plot twist paling halus dalam perjalanan spiritual dan eksistensial kita.

Kemudahan Sebagai Titik Istirahat yang Menjadi Titik Akhir

Dalam hidup, kita sering berdoa agar semuanya dipermudah. Agar jalannya lancar, bebannya ringan. Dan saat itu datang, kita bersyukur, merasa lega, merasa cukup. Tapi di situlah jebakan bisa muncul: kita berhenti mendaki. Kita memilih diam di tempat nyaman. Kita mulai berkata pada diri sendiri:
ADVERTISEMENT
“Sudah segini juga cukup.”
“Buat apa ambil tanggung jawab lebih besar?”
“Gak usah repot-repot lagi, toh semua baik-baik saja.”
Padahal mungkin, kita sedang berdiri di kaki gunung… dan Allah sebenarnya ingin kita naik lebih tinggi. Tapi jalanannya memang terjal, menanjak, dan tidak semua orang bersedia melanjutkan.

Paradoks Moral: Ambisi Duniawi Jadi Alasan yang Dianggap Bijak

Setan dalam kisah tadi tidak menghentikan si kakek. Ia justru membantu. Tapi alasannya bukan tulus—ia hanya ingin menghentikan aliran kebaikan.
Begitu juga dalam hidup: tidak semua kemudahan adalah hadiah. Kadang, itu hanya pembungkus nyaman dari sebuah kemalasan eksistensial.
Kita menyebutnya “ikhlas”, padahal kita menyerah.
Kita menyebutnya “nerimo”, padahal kita enggan berubah.
Kita menyebutnya “cukup”, padahal kita takut mengambil peran yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Dan ini bukan tentang ambisi duniawi. Tapi tentang tanggung jawab—atas potensi diri, atas kemampuan yang bisa dimanfaatkan, atas peluang kebaikan yang tak kita sentuh.

Penutup: Kesempatan Naik Derajat

Kemudahan, kelancaran, dan hidup yang stabil… tidak salah. Tapi mereka bisa menjadi plot twist spiritual saat kita mulai berpikir bahwa di sinilah akhir perjalanan. Bahwa tidak perlu lagi mendaki, tidak perlu lagi berjuang lebih jauh, tidak perlu lagi mengambil amanah yang lebih besar.
Mungkin saat itulah, setan tidak lagi perlu menggoda.
Karena kita sudah memilih untuk diam.
Dan dalam diam itu, kita kehilangan satu hal penting:
kesempatan untuk naik derajat lebih tinggi oleh Nya.