Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menelusuri Akar Budaya dari Overthinking: Sebuah Perspektif Introver
9 April 2025 9:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu mengalami situasi ketika percakapan telah usai, tetapi pikiran masih terus berputar? Mengulang kembali apa yang telah dikatakan, menganalisis ekspresi lawan bicara, mengevaluasi pilihan kata, hingga akhirnya merasa, “Seharusnya aku tidak perlu berkata apa-apa tadi.”
ADVERTISEMENT
Jika kamu merasa demikian, percayalah bahwa kamu tidak sendiri.
Fenomena overthinking sering kali dikaitkan dengan kepribadian introver. Namun di balik itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting:
Apakah overthinking sekadar sifat individual, atau justru produk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi?
Mari kita telaah bersama.
🧬 Asal Usul Overthinking
Overthinking umumnya berakar pada dua kecenderungan utama:
Pola pikir yang perfeksionis dan rasa takut melakukan kesalahan.
Kecenderungan untuk membaca situasi sosial secara berlebihan.
Dalam banyak keluarga di masyarakat kita, sejak kecil anak-anak dibentuk untuk:
Menghindari konflik.
Tidak terlihat “kurang ajar.”
Selalu menjaga citra dan nama baik keluarga.
Nilai-nilai ini melatih kita untuk berpikir berulang kali sebelum bertindak atau berbicara. Tujuannya mulia—agar kita bersikap sopan dan hati-hati—namun dampaknya, kita terbiasa menyaring pikiran secara berlebihan.
ADVERTISEMENT
🔁 Budaya Diam, Budaya Rasa
Di berbagai lingkungan, sikap diam sering dianggap sebagai cerminan kedewasaan. Namun dalam praktiknya, diam sering kali menjadi mekanisme untuk menahan ekspresi dan menumpuk perasaan.
Contohnya:
Takut menyampaikan pendapat karena khawatir dianggap berbeda.
Enggan bertanya karena takut dinilai bodoh.
Menunda menyampaikan ide karena merasa belum cukup sempurna.
Akibatnya, energi mental kita habis untuk menyimulasikan berbagai kemungkinan dalam pikiran, alih-alih bertindak di dunia nyata. Kita hidup lebih banyak di dalam kepala sendiri, dan inilah yang membuat overthinking tumbuh subur.
💥 Overthinking sebagai Mekanisme Bertahan
Jangan terburu-buru menyalahkan diri sendiri karena overthinking.
Pada kenyataannya, overthinking adalah mekanisme adaptasi otak untuk bertahan dalam lingkungan yang kompleks dan sarat dengan ekspektasi sosial.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika kita telah berada di ruang yang aman, mempertahankan kebiasaan overthinking justru bisa menjadi penghambat. Otak kita seolah masih berada dalam “mode bertahan,” padahal sudah saatnya beralih ke “mode bertumbuh.”
“Dulu overthinking melindungiku, tetapi kini aku ingin belajar menavigasi dunia dengan lebih ringan.”
🔧 Membongkar, Bukan Membuang
Solusi dari overthinking bukanlah dengan menghilangkannya secara paksa, melainkan dengan memahami akar penyebabnya. Beberapa cara yang dapat dicoba:
Menulis pikiran. Tulisan menjadi ruang aman untuk menyalurkan pikiran tanpa penghakiman.
Mengenali pola. Apa yang memicu overthinking? Apakah situasi sosial, tugas baru, atau ekspektasi tertentu?
Berbincang dengan orang yang dipercaya. Satu kalimat dari teman yang menjadi ruang aman sering kali mampu menjernihkan kekacauan di kepala.
ADVERTISEMENT
Melatih teknik grounding. Fokus pada napas, sensasi tubuh, atau lingkungan sekitar dapat membantu kita kembali ke saat ini.
Mengafirmasi diri. “Aku tidak harus selalu benar. Aku cukup belajar.”
🌱 Penutup: Dari Overthinking Menuju Kesadaran
Overthinking mencerminkan betapa sensitif dan pedulinya kita terhadap lingkungan. Namun, berlama-lama dalam kondisi tersebut dapat membuat kita lupa: bahwa kita juga berhak untuk salah, mencoba, dan bertumbuh.
Mungkin overthinking memang merupakan bagian dari warisan budaya. Namun kini, kita bisa memilih:
Apakah ingin terus mewariskannya, atau mengubahnya menjadi kesadaran yang lebih sehat dan membebaskan?
ADVERTISEMENT