Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sabda sebagai Tanda Zaman dalam Tradisi Jawa
9 April 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Antara Kearifan Leluhur dan Sistem Pengetahuan Kosmis
ADVERTISEMENT
Konsep *sabda* dalam tradisi Jawa merupakan konstruksi multidimensi yang mencakup unsur linguistik, spiritual, dan epistemologis. Dalam kebudayaan Jawa, *sabda* tidak hanya dipahami sebagai ujaran verbal, melainkan sebagai wahyu ilahiah, pengetahuan leluhur, dan penanda transformasi kosmik. Artikel ini mengkaji *sabda* sebagai sistem pengetahuan hidup yang menjadi dasar pembentukan spiritual individu dan kesadaran kolektif atas siklus zaman.

Dalam teori linguistik Barat, kata dipandang sebagai satuan semantik dasar. Namun dalam kosmologi Jawa, *sabda* dipahami sebagai kekuatan getaran suci yang menghubungkan manusia dengan alam semesta. Zoetmulder (1995) menyebut bahwa bahasa dalam khazanah Jawa kuno memiliki kedudukan sakral sebagai jembatan antara dunia batin dan jagad raya. Pemahaman ini menjadikan *sabda* sebagai pusat dari sistem nilai dan kebijaksanaan tradisional yang diwariskan turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan analisis teks terhadap naskah *Primbon Jawa: Nguri-uri Budaya Jawa* serta referensi pustaka klasik dan kontemporer mengenai kebudayaan Jawa. Metode hermeneutik digunakan untuk menafsirkan makna simbolik dan spiritual dari istilah *sabda* dalam konteks narasi budaya dan transendensi Jawa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
**Sabda dalam Primbon: Wahyu dan Petunjuk Spiritual**
Teks *Primbon Jawa* menggambarkan *sabda* sebagai pesan suci yang muncul pada masa krisis atau peralihan zaman. Munculnya tokoh *Satria Piningit*, sebagai penyelamat moral bangsa, didahului oleh turunnya *sabda langit* sebagai pertanda perubahan sosial dan spiritual. Namun, untuk memahami *sabda*, seseorang harus menjalani *laku batin* yang penuh kedisiplinan dan kesucian jiwa (Mulder, 1978).
ADVERTISEMENT
**Sabda sebagai Epistemologi Lokal**
*Sabda* mengandung sistem epistemologi tradisional di mana pengetahuan tidak dipisahkan dari nilai spiritual dan etika. Seperti dikemukakan oleh Geertz (1960), pengetahuan dalam masyarakat Jawa bukan diperoleh melalui logika semata, melainkan melalui penyingkapan batiniah. Dalam bentuk *pitutur*, tembang, dan peribahasa, *sabda* menjadi panduan hidup dan sumber harmoni sosial.
**Sabda dan Getaran Kosmik**
Aspek spiritual *sabda* berkaitan erat dengan konsep *Om* dalam filsafat Hindu, yang melambangkan suara primordial semesta. Dalam naskah *Primbon*, *sabda* diyakini memiliki kekuatan ilahiah ketika diucapkan dengan kejujuran dan keselarasan batin. Hal ini selaras dengan tradisi mantra Veda yang menempatkan bunyi sebagai sarana penciptaan dan transformasi (Staal, 1989).
**Sabda sebagai Penanda Zaman Edan**
Teks Jawa sering menyebut tentang *zaman edan*, yakni masa di mana tatanan moral rusak dan kehidupan dikuasai ambisi duniawi. Pada saat inilah *sabda* lenyap dari pendengaran manusia. Namun, justru dalam kekacauan itulah *sabda* kembali muncul sebagai panggilan kebangkitan spiritual. Ungkapan “Yen sabda wis tiba, jagad bakal owah” menegaskan *sabda* sebagai agen perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Penelitian ini merekomendasikan integrasi nilai-nilai *sabda* dalam pendidikan karakter, revitalisasi tradisi lisan, dan pengembangan epistemologi lokal sebagai alternatif dalam menghadapi krisis pengetahuan global. Kajian lebih lanjut dapat diarahkan pada penerapan konsep *sabda* dalam konteks digital dan ekospiritualitas kontemporer.
**Kesimpulan**
*Sabda* dalam tradisi Jawa adalah pusat dari pengetahuan yang hidup, yang menyatukan bahasa, etika, dan spiritualitas. Di tengah era kebisingan digital dan disorientasi makna, *sabda* menawarkan cara lain untuk memahami dunia—melalui keheningan, kesadaran batin, dan hubungan kosmik. Memulihkan *sabda* bukanlah sekadar merawat warisan budaya, melainkan menghidupkan kembali cara hidup yang lebih utuh dan bijak.
**Daftar Pustaka**
ADVERTISEMENT