news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Teror dan Hoaks dalam Bayangan Ramalan : Jayabaya, Ranggawarsita, dan Siliwangi

Suhendi bin Suparlan
Mengabdi pada Negara (ASN Arsiparis di BRIN)
25 Maret 2025 13:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang makin terkoneksi, justru ketakutan menyebar lebih cepat daripada cinta kasih. Hoaks beranak-pinak, menyamar sebagai kebenaran. Teror tidak lagi datang hanya dari senjata, tapi dari kebijakan, dari ancaman diam-diam, dan dari narasi yang direkayasa. Oposisi dikriminalisasi, suara kritis dibungkam dengan label palsu, dan publik dikacaukan dengan perang wacana.
ADVERTISEMENT
Anehnya, semua ini seolah pernah “diramalkan”. Tiga tokoh budaya besar Nusantara—Jayabaya, Ranggawarsita, dan Siliwangi—pernah menggambarkan zaman seperti ini, meski dengan bahasa simbolik. Kini saatnya membaca ulang wangsit mereka dalam terang zaman kita.
ilustrasi gambar : chatgpt
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar : chatgpt

Teror menurut Jayabaya: kabut fitnah sebelum kebangkitan

Jayabaya menyebut bahwa akan datang masa di mana:
Dalam Jangka Jayabaya, masa menjelang datangnya Ratu Adil ditandai dengan kekacauan moral dan informasi. Ada pemimpin yang berpura-pura bijak, rakyat saling mencurigai, dan suara yang jujur justru dianggap mengganggu.
Hoaks dan fitnah dalam narasi Jayabaya menjadi “kabut zaman edan” yang menyelimuti jalan menuju keadilan.

Ranggawarsita dan zaman edan yang disponsori kekuasaan

Dalam Serat Kalatidha, Ranggawarsita menyaksikan sendiri bagaimana kolonialisme dan feodalisme menciptakan zaman gelap. Ia menulis:
ADVERTISEMENT
Hari ini, kondisi itu kita lihat dalam bentuk:
Ranggawarsita menyarankan satu hal: “eling lan waspada”—tetap sadar dan berhati-hati. Di zaman edan, waras adalah bentuk keberanian.

Siliwangi dan kehancuran keseimbangan spiritual

Dalam Ugo Wangsit Siliwangi, krisis zaman bukan sekadar sosial, tapi spiritual dan ekologis. Jika manusia sudah tak lagi jujur pada tanah dan airnya sendiri, maka:
ADVERTISEMENT
Siliwangi menyampaikan bahwa ketika air tidak lagi jernih dan harimau turun ke pemukiman, itu bukan sekadar bencana alam, tapi pertanda bahwa kekuasaan telah kehilangan rasa hormat terhadap kehidupan.
Simbol lama, ancaman baru
Mari kita tafsirkan ulang simbol dari tiga sumber:
Mereka berbicara tentang teror yang dilembagakan, dan hoaks yang dibingkai dengan narasi resmi.
Dalam semua ramalan, ada satu titik terang: akan datang masa kebangkitan. Tapi mereka sepakat—kebangkitan itu bukan datang tiba-tiba. Ia muncul dari kesadaran yang tumbuh di akar rumput.
ADVERTISEMENT
Ratu Adil tidak turun dari langit. Ia tumbuh di tanah—di antara mereka yang tetap berpikir jernih, meski hidup dalam air keruh.
Kesadaran inilah yang menjadi tameng terakhir terhadap teror dan hoaks:

Penutup

Jayabaya menyebut zaman ini penuh tipu daya. Ranggawarsita menyebutnya zaman edan. Siliwangi melihatnya sebagai hilangnya keharmonisan. Semua menggambarkan masa ketika kekuasaan kehilangan nurani, dan rakyat kehilangan pegangan.
Namun ketiganya juga sepakat bahwa zaman ini akan berlalu. Bahwa ketika rakyat memilih sadar, ketika komunitas kecil mulai menjaga air dan kata, dan ketika kebijakan kembali lahir dari kearifan, maka teror akan surut, dan hoaks akan kehilangan tempat.
ADVERTISEMENT
Di tengah gelap, masih ada cahaya kecil. Dan kadang, cukuplah satu lilin untuk menandai arah pulang.