Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ugo Wangsit Siliwangi dan Imajinasi Masa Depan Nusantara
25 Maret 2025 13:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Suhendi bin Suparlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan interpretasi kontemporer atas Ugo Wangsit Siliwangi, yaitu narasi profetik dari tradisi Sunda yang sarat simbol ekologis dan spiritual. Dengan membandingkannya secara kritis dengan Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, artikel ini menyusun ulang wacana masa depan Nusantara dalam bingkai etika, lingkungan, dan kesadaran kolektif. Pendekatan hermeneutika budaya dan filsafat waktu digunakan untuk menjelaskan bagaimana narasi tradisional ini dapat ditransformasikan menjadi orientasi futuristik yang relevan untuk menghadapi krisis global masa kini.

Dalam kebudayaan Nusantara, masa depan tidak dipahami sebagai sekadar garis waktu yang linier, tetapi sebagai ruang spiritual yang terbentuk dari hubungan antara manusia, alam, dan nilai. Narasi-narasi profetik seperti Jangka Jayabaya, Serat Kalatidha, dan Ugo Wangsit Siliwangi menunjukkan bahwa warisan lokal mengandung potensi besar untuk membayangkan dan membentuk masa depan secara etis dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
Ugo Wangsit Siliwangi, meskipun tidak berbentuk teks kanonis, tetap hidup dalam kesadaran masyarakat Sunda. Ia berbicara tentang krisis, tentang harapan, dan tentang semangat yang akan bangkit kembali. Maka pertanyaannya: bagaimana kita membaca ulang wangsit tersebut dalam bahasa zaman sekarang?
Ramalan Siliwangi: Antara Mitos, Ekologi, dan Politik Etis
Tiga struktur utama yang sering muncul dalam Ugo Wangsit Siliwangi:
Peringatan ekologis:
Wangsit ini memperingatkan bahwa manusia akan kehilangan harmoni dengan alam—air menjadi keruh, tanah kehilangan daya hidup, dan hutan menjadi bisu. Ini menyiratkan bahwa kehancuran lingkungan adalah refleksi dari kehancuran spiritual manusia.
Krisis nilai dan arah:
Kekuasaan menjadi kehilangan makna, dan rakyat tidak lagi punya pegangan moral. “Tanah Sunda tanpa negara” menggambarkan kondisi identitas yang kehilangan tempat, namun tetap menyimpan ruh budaya.
ADVERTISEMENT
Kebangkitan spiritual dan kolektif:
Siliwangi tidak akan kembali sebagai raja, melainkan sebagai semangat rakyat yang sadar dan bangkit. Harimau putih bukan simbol kekuasaan, tetapi perlambang kekuatan ruhani dan penjaga keharmonisan.
Dialog Profetik: Siliwangi, Jayabaya, dan Ranggawarsita
Ketiga tokoh ini—Prabu Siliwangi, Jayabaya, dan Ranggawarsita—memiliki visi khas tentang masa depan:
ADVERTISEMENT
Ramalan Masa Depan dalam Bahasa Zaman Sekarang
“Akan datang masa ketika manusia kehilangan arah, bukan karena tidak ada teknologi, tetapi karena kehilangan makna. Sungai akan mengering, bukan karena musim, tapi karena kita lupa cara bersyukur. Namun semangat lama akan bangkit kembali—bukan dalam wujud raja, tapi dalam suara rakyat yang menanam, menyiram, dan menjaga tanahnya sendiri.”
Interpretasi kontemporer:
Kesadaran Profetik sebagai Etika Pembangunan
Ugo Wangsit Siliwangi tidak bersifat fatalistik, melainkan menawarkan kerangka etika:
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Ugo Wangsit Siliwangi menunjukkan bahwa masa depan Nusantara bisa dibaca ulang dari kacamata budaya, spiritualitas, dan ekologi. Ketika dikaitkan dengan Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha, kita mendapati tiga lensa yang saling melengkapi: arah kosmik (Jayabaya), kepekaan batin (Ranggawarsita), dan keharmonisan ekologis (Siliwangi).
Ketiganya memberi pelajaran bahwa membayangkan masa depan tak hanya membutuhkan nalar, tapi juga etika, kesadaran, dan akar budaya yang kuat. Dalam bahasa zaman sekarang: futurisme Nusantara bukan soal ramalan, tapi soal tanggung jawab moral kolektif.