Corona, Pencegahan Korupsi, dan Ancaman Hukuman Mati

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
16 Mei 2020 12:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PENCEGAHAN, penanganan, dan penanggulangan penyebaran pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merupakan tugas bersama. Bukan hanya bagi seluruh rakyat Indonesia tapi juga masyarakat dunia. Setiap dari kita tentu tidak ingin jumlah kasus terus bertambah dan meningkatnya korban meninggal dunia, termasuk paramedis dan dokter yang berguguran. Banyak ahli dan praktisi meyakini wabah ini masih akan terus menyebar, jika tidak ada komitmen kuat dan tindakan nyata dalam menjalankan protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kita harus terus bahu-membahu agar lepas dari bencana nonalam ini. Tidak boleh ada yang merasa paling baik atau paling cepat atau paling unggul dalam penanganan pandemi. Singkirkan ego pribadi dan sektoral yang masih menganga di ruang publik dan dilihat khalayak ramai. Tidak boleh pula ada yang mencari keuntungan untuk kelompok atau golongan atau pribadi sendiri.
Berdasarkan lansiran berbagai media massa, pemerintah pusat telah melakukan realokasi atau penambahan anggaran dari APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun. Dana tersebut dialokasikan ke empat kebutuhan. Satu, belanja bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun. Dua, program perlindungan sosial sejumlah Rp 110 triliun. Tiga, insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat senilai Rp 70,1 triliun. Empat, program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.
ADVERTISEMENT
Biaya belanja bidang kesehatan mencakup beberapa aspek. Di antaranya pembelian Alat Pelindung Diri (APD) untuk perlindungan tenaga medis; pembelian alat-alat kesehatan prioritas seperti test kit, reagen, ventilator, hand sanitizer, dan lain-lain sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes); upgrade 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19 termasuk Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat; insentif untuk dokter spesialis, dokter umum, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya; santunan kematian terhadap tenaga medis; dukungan tenaga medis; dan penanganan kesehatan lainnya.
Program perlindungan sosial meliputi program keluarga harapan (PKH) bagi Keluarga Penerima Manfaat (KPM); kartu sembako; kartu prakerja; tarif listrik dengan menggratiskan pelanggan listrik 450 VA untuk tiga bulan dan memberikan diskon 50 persen tarif listrik bagi pelanggan 900 VA selama tiga bulan; antisipasi kebutuhan pokok dengan mencadangkan Rp 25 triliun untuk kebutuhan pokok hingga operasi pasar dan logistik; dan keringanan pembayaran kredit bagi para pekerja informal dan UMKM. Selain itu ada juga bantuan sosial khusus untuk warga DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; program keselamatan yang diselenggarakan Polri berupa bansos dan pelatihan untuk pengemudi taksi, sopir bus, truk hingga kernet; program bansos dana desa; dan percepatan program padat karya tunai.
ADVERTISEMENT
Dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun telah diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020.
Pada Senin malam, 4 Mei 2020, Badan Anggaran DPR telah menyepakati Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang. Perppu ini akhirnya disahkan secara resmi menjadi UU oleh DPR saat Rapat Paripurna pada Selasa, 12 Mei.
Sebenarnya, sesaat setelah Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2020, ada banyak penolakan dari berbagai pihak termasuk dari beberapa anggota DPR. Salah satu yang paling disorot yakni ketentuan penutup pada Pasal 27. Pasal ini dinilai memberikan kekebalan hukum baik pidana maupun perdata serta tidak dapat diajukan sebagai objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahkan pada April lalu, sejumlah pihak mengajukan judicial review atas Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Selain itu pemerintah daerah tingkat kabupaten, kota, dan provinsi pun telah dan masih akan melakukan refokusing dan realokasi APBD untuk penanganan dan penanggulangan pandemi Covid-19. Berdasarkan lansiran berbagai media massa, total APBD yang telah direalokasikan oleh berbagai pemerintah daerah mencapai Rp 56,57 triliun hingga pertengahan April 2020.
Pengawasan Delapan Lembaga
Jumlah anggaran penanganan dan penanggulangan Covid-19 yang sangat besar yang dialokasikan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta penggunaannya harus menjadi perhatian serius. Karenanya beberapa lembaga menerbitkan pedoman atau rambu-rambu baik melalui surat edaran maupun instruksi.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memulainya dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19. Surat ditandatangani Kepala LKPP Roni Dwi Susanto pada 23 Maret 2020. Surat ditujukan ke para menteri Kabinet Indonesia Maju, Kapolri, Jaksa Agung, para gubernur, para kepala lembaga non-kementerian, dan para walikota/bupati.
ADVERTISEMENT
Dalam SE tersebut, LKPP menegaskan ada enam poin pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam rangka penanganan keadaan darurat Covid-19. Di antaranya yakni, poin tiga huruf a, pejabat pembuat komitmen (PPK) di lingkungan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah menunjuk penyedia yang antara lain pernah menyediakan barang/jasa sejenis di instansi pemerintah atau sebagai penyedia dalam katalog elektronik. Penunjukan penyedia tersebut dilakukan walaupun harga perkiraannya belum dapat ditentukan.
Poin empat, pengadaaan barang/jasa dapat dilakukan dengan swakelola. Poin lima, PPK meminta audit oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan (BPKP) untuk memastikan kewajaran harga setelah dilakukan pembayaran. Poin enam, seluruh pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa untuk penanganan keadaan darurat Covid-19 wajib mematuhi etika pengadaaan dengan tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat, dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaaan barang/jasa.
ADVERTISEMENT
SE didasarkan di antaranya pada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kemudian Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat.
Virus corona. Ilustrator: Maulana Saputra/Kumparan.
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian pun menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah. Instruksi yang diteken Tito pada 2 April 2020 ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota.
Ada tujuh poin utama dalam instruksi tersebut. Di antaranya pemerintah daerah melakukan percepatan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran kegiatan tertentu (refokusing) dan/atau perubahan alokasi anggaran yang digunakan secara memadai untuk meningkatkan kapasitas tiga aspek. Refokusing dan realokasi anggaran melalui optimalisasi penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) yang ada dalam APBD Tahun Anggaran 2020. Mendagri juga menginstruksikan kepada Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) secara berjenjang melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Tiga aspek yang ditingkatkan kapasitasnya yakni penanganan kesehatan dan hal-hal lain terkait kesehatan, penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah masing-masing tetap hidup, dan penyediaan jaring pengamanan sosial/social safety net. Salah satu contoh penanganan dampak ekonomi yaitu pemberian stimulus penguatan modal usaha pelaku UMKM dan mikro yang terkena dampak Covid-19.
Untuk jaring pengamanan sosial misalnya antara lain pemberian hibah/bantuan sosial (bansos) dalam bentuk uang atau barang dari pemerintah daerah secara memadai kepada individu/masyarakat yang terdampak atau memiliki risiko sosial, fasilitas kesehatan milik masyarakat/pemerintah yang ikut serta melakukan penanganan pandemi Covid-19, dan instansi vertikal yang berada di wilaya daerah dalam rangka mendukung penanganan pandemi Covid-19.
Pemberian hibah/bansos dilakukan secara langsung dengan mempertimbangkan analisa yang matang dan mendalam serta evidence-based dengan memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi yang muncul dan/atau permintaan penerima hibah/bansos. Di sisi lain, untuk pemberian hibah/bansos tidak mengacu pada pengelolaan hibah dan bansos yang bersumber dari APBD sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendagri Nomor 99 Tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 juga diatur bahwa jika BTT tidak tersedia, maka pemda dapat memanfaatkan uang kas yang tersedia atau yang sebelumnya dialokasikan untuk beberapa kebutuhan. Di antaranya kegiatan yang bersumber dari dana transfer pemerintah pusat dan dana transfer antar-daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, belanja modal yang kurang prioritas, kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan, dan pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.
Selain itu pemda juga bisa menggunakan kas daerah atas hasil rasionalisasi anggaran. Antara lain perjalanan dinas, penyelenggaraan kegiatan rapat, pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis, sosialisasi, workshop, lokakarya, seminar atau kegiatan sejenis lainnya yang dapat ditunda pelaksanaannya.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan dua surat edaran. Satu, SE Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. SE ditandatangani Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri pada 2 April. SE ditujukan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di dalam SE tersebut, KPK mendorong tiga poin utama pencegahan korupsi pada pengadaaan barang/jasa (PBJ) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 pada tingkat pusat dan daerah. Pertama, pelaksanaan PBJ tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk aturan yang secara khusus dikeluarkan oleh LKPP.
"KPK mendorong keterlibatan aktif APIP dan/atau BPKP dalam melakukan pengawalan dan pendampingan terkait proses pelaksanaan PBJ serta berkonsultasi dengan LKPP," bunyi petikan poin pertama.
Kedua, prinsip PBJ pada kondisi darurat yaitu efektif, transparan, dan akuntabel dengan berpegang teguh pada konsep harga terbaik yang tercantum dalam Pasal 4 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Perpres dijelaskan bahwa, tujuan PBJ di antaranya menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan dan diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia. Karenanya harga tidak menjadi variabel yang berdiri sendiri tapi harus mempertimbangkan variabel lain pembentuk harga terutama kualitas dan waktu di tengah situasi darurat/bencana Covid-19.
ADVERTISEMENT
"Prinsip transparansi dan akuntabel harus dijalankan dengan mendokumentasikan dan membuka setiap tahapan pengadaaan dalam rangka mencari harga terbaik tersebut."
Ketiga, KPK mengingatkan agar dalam seluruh proses PBJ selalu menghindari perbuatan-perbuatan yang masuk kategori tindak pidana korupsi (tipikor). Di antaranya tidak melakukan persengkongkolan/kolusi dengan penyedia barang/jasa, tidak memperoleh kick back dari penyedia, tidak mengandung unsur penyuapan, tidak mengandung unsur gratifikasi, tidak mengandung unsur benturan kepentingan dalam pengadaaan, tidak mengandung unsur kecurangan atau mal-administrasi, tidak berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat saat ini, dan tidak membiarkan terjadinya korupsi.
Dua, SE Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat yang diteken Ketua KPK Firli Bahuri pada 21 April. SE ditujukan kepada Ketua Pelaksana Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi/Kabupaten/Kota, dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Kemudian Kejaksaan Agung menerbitkan beberapa instruksi dan surat edaran. Di antaranya, satu, Instruksi Jaksa Agung RI Nomor 5 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Kejaksaan RI. Instruksi ini di antaranya menitikberatkan pada agar seluruh satuan kerja Kejaksaan di daerah melakukan pengawasan atas penggunaaan dana pemerintah dalam percepatan penanganan dan penanggulangan Covid-19.
Seluruh satuan kerja Kejaksaan di daerah harus proaktif menjalankan sinergi dengan melakukan pengamanan dan pendampingan terhadap program refokusing kegiatan, realokasi anggaran, pengadaan barang/jasa hingga penyaluran barang dan/jasa dalam rangka percepatan penanganan covid-19 oleh pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD. Berikutnya melakukan koordinasi dengan lembaga dan instansi terkait di antaranya LKPP dan APIP.
ADVERTISEMENT
Dua, Instruksi Jaksa Agung RI Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pengamanan Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan serta Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Tiga, Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 7 Tahun 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pendampingan Terhadap Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam SE yang diteken Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tertanggal 9 April 2020 tertuang, di antaranya, seluruh satuan kerja Kejaksaan melakukan percepatan pelaksanaan pendampingan terhadap kementerian/lembaga/BUMN/BUMD baik diminta maupun tidak diminta dalam rangka refokusing kegiatan, relokasi anggaran, dan pengadaan barang dan jasa untuk percepatan penanganan Covid-19.
Seluruh satuan kerja Kejaksaan memberikan pendampingan terhadap pemerintah daerah dalam proses revisi APBD Tahun Anggaran 2020, pengesahannya, hingga penggunaan anggaran tersebut guna mencegah penularan dan penanggulangan atau pengobatan pasien Covid-19. Berikutnya seluruh satuan kerja Kejaksaan juga diharapkan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan LKPP, BPKP, APIP, dan instansi lainnya.
ADVERTISEMENT
Empat, Instruksi Jaksa Agung RI Nomor 8 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Optimalisasi Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pelaksanaan Refocusing Kegiatan dan Realokasi Anggaran Bersumber dari APBN, APBD, dan Dana Desa untuk Penanggulangan Covid-19. Seluruh satuan kerja Kejaksaan diinstruksikan di antaranya untuk melakukan pendampingan hukum terhadap kebijakan yang akan dan telah dilakukan kementerian/lembaga/pemerintah daerah/pemerintah desa/BUMN/BUMD sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Selain itu ada juga SE Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Nomor: 02/G/GS.2/04/2020 tentang Pedoman Pendampingan Hukum Keperdataan Pengadaan Barang atau Jasa dalam Keadaan Darurat. SE ini menjadi panduan atau pedoman bagi seluruh jajaran Datun hingga satuan kerja di bawahnya guna melakukan pendampingan hukum perdata atas PBJ yang berkaitan dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Secara umum, pengamanan dan pendampingan atas refokusing kegiatan dan realokasi anggaran oleh pemda untuk percepatan penanggulangan dan penanganan Covid-19 ditangani oleh dua bidang seluruh Kejaksaan yang ada di seluruh Indonesia. Dua bidang tersebut yakni Bidang Intelijen serta Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).
Selain penerbitan SE dan instruksi, enam lembaga pun langsung turun gelanggang guna melakukan pendampingan dan pengawasan hingga mencegah terjadinya korupsi. Enam lembaga tersebut yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPK, LKPP, BPKP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mabes Polri melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).
Mendagri Jenderal Polisi (purnawirawan) Muhammad Tito Karnavian, Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri, Ketua BPK Agung Firman Sampurna, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh, Ketua LKPP Roni Dwi Susanto, dan Kabareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo langsung menggelar rapat koordinasi secara virtual melalui video teleconfarance bersama para bupati, walikota, dan sekretaris daerah seluruh Indonesia. Rapat koordinasi digelar pada Rabu, 8 April 2020. Rapat koordinasi ini difokuskan pada pelaksanaan PBJ serta refokusing kegiatan dan realokasi anggaran.
ADVERTISEMENT
Muhammad Tito Karnavian menegaskan, rapat koordinasi melalui video teleconfarance yang dilaksanakan kali ini bertujuan untuk memastikan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait program percepatan penanganan dan penanggulangan Covid-19. Tito mengungkapkan, penyelesaian krisis kesehatan yang terjadi saat ini akibat Covid-19 harus menjadi tanggungjawab bersama.
"Jika kesehatan tidak ditangani dengan baik, akan berdampak pada krisis ekonomi dan krisis sosial serta krisis keamanan. Untuk itu kita harus prioritaskan masalah kesehatan masyarakat, jangan sampai Covid-19 ini terus menyebar ke semua masyarakat. Sehingga kita semua harus bersatu padu memerangi Covid-19 ini bersama-sama," tegas Tito.
Di sisi lain, Tito mengingatkan refokusing kegiatan dan realokasi anggaran untuk mempercepat penanganan Covid-19 di setiap daerah harus tetap mengikuti peraturan dan perundangan undangan yang ada dan berlaku. Dalam seluruh proses alokasi dan penggunaan anggaran, tutur dia, ada empat lembaga selain Kemendagri yang siap mendampingi guna mencegah terjadinya korupsi.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah daerah tidak bekerja sendiri, ada KPK, BPK, BPKP, dan LKPP yang mendampingi. Yang lebih penting lagi tidak ada niat korupsi dalam melaksanakannya. Pusat dan daerah harus bersinergi, karena ini adalah perang. Perang kita menghadapi Covid-19. Dengan menggunakan paradigma perang inilah, maka penguatan kesehatan menjadi penting," ujarnya.
Firli Bahuri (paling kiri) bersama Muhammad Tito Karnavian (kedua dari kanan), Listyo Sigit Prabowo (kedua dari kiri), dan Roni Dwi Susanto saat rapat koordinasi secara virtual pada Rabu, 8 April 2020. Foto: Humas KPK.
Tito mengungkapkan, para kepala daerah pun mestinya selalu berkordinasi dengan pemerintah pusat saat mengambil kebijakan selama penanganan Covid-19. Tito mendorong, seluruh pemerintah daerah segera melakukan perubahan alokasi anggaran dalam penanganan Covid-19. Tito juga telah menerbitkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah dan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 sebagai panduan untuk para kepala daerah.
Mantan Kapolri ini menjelaskan, penggunaan alokasi anggaran kegiatan tertentu atau refokusing dan realokasi anggaran daerah tersebut guna meningkatkan kapasitas penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi, penyediaan jaring pengamanan social (social safety net), hingga untuk memastikan dan mengawasi kecukupan dan kelancaran distribusi sembako di setiap daerah. Dalam konteks ini pula, dunia usaha terutama pedagang kecil yang terkena dampak Covid-19 juga harus diperhatikan.
ADVERTISEMENT
"Strategi utama kita adalah mengutamakan kesehatan publik, tetapi juga menjaga ekonomi jangan sampai jatuh terlalu dalam," ucapnya.
Firli Bahuri menyatakan, pelaksanaan PBJ untuk kebutuhan bencana merupakan tanggung jawab Pengguna Anggaran (PA). Dia mengungkapkan, KPK meminta agar para kepala daerah maupun pimpinan lembaga terkait tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan sehingga menghambat penanganan bencana terkhusus untuk percepatan penanganan pandemi Covid-19. Firli mengatakan, untuk pelaksanaan PBJ guna penanggulangan Covid-19 maka pemda perlu menjalankan sesuai dengan ketentuan dan pendampingan LKPP. Bagi KPK, ujar dia, dalam kondisi darurat maka PBJ boleh dengan cara swakelola dengan syarat terdapat kemampuan pelaksana swakelola.
"Pengadaaan barang dan jaaa dalam kondisi darurat cukup menekankan pada prinsip efektif, transparan, dan akuntabel. Misalnya, dengan cara mendokumentasikan dan membuka setiap tahapan pengadaan dalam rangka mencari harga terbaik atau value for money tersebut," tegas Firli.
ADVERTISEMENT
Mantan Kabaharkam Mabes Polri ini menjelaskan, arahan ini disampaikan guna menjamin akuntabilitas pelaksanaan anggaran dan PBJ di daerah. Apalagi sebelumnya KPK telah menerbitkan Surat Edaran KPK Nomor 08 Tahun 2020. Firli mengungkapkan, SE tersebut ditujukan kepada Gugus Tugas di tingkat pusat dan daerah. Tujuan SE itu yaitu untuk memberikan panduan dalam proses PBJ dalam situasi darurat. Dia membeberkan, salah satu poin di dalam SE tersebut memuat rambu-rambu pencegahan korupsi untuk memberikan kepastian bagi pelaksana pengadaan.
"KPK menyadari bahwa di tengah situasi darurat, harga barang/jasa terkait penanganan Covid-19 mengalami kenaikan signifikan karena permintaan global yang meningkat dan produsen yang terbatas. Hal ini menyebabkan kondisi pasar tidak normal, maka diharapkan pelaksanaan anggaran dan PBJ dapat juga dilakukan dengan mengedepankan harga terbaik," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dia melanjutkan, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah menitikberatkan pada pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya (value for money) dan tidak selalu dengan harga terendah. Dengan begitu, kata Firli, pelaksanaan pembelanjaan anggaran pemerintah harus mampu memberikan nilai tambah bagi pemenuhan kebutuhan.
"Sepanjang unsur-unsur pidana korupsi tidak terjadi, maka proses PBJ tetap dapat dilaksanakan tanpa keraguan. Tujuan keselamatan bersama adalah hukum tertinggi. Ada rambu-rambu yang harus dijalankan. Selamatkan jiwa bersama itu yang utama. Kami berkomitmen mengawal pengadaan barang dan jasa agar tidak terjadi korupsi," katanya.
Firli menambahkan, pengawalan yang dilakukan KPK di antaranya adalah dengan membentuk tim khusus yang bekerja bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di tingkat pusat dan daerah serta dengan pemangku kepentingan lainnya. Tim KPK tersebut, ujar dia, juga akan melakukan monitoring dan evaluasi terkait alokasi dan penggunaan anggaran penanganan Covid-19 agar bebas dari korupsi.
ADVERTISEMENT
Muhammad Yusuf Ateh menegaskan, BPKP bersama LKPP telah ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pendampingan, pengawalan, dan pengawasan atas pelaksanaan PBJ serta refokusing dan realokasi anggaran untuk percepatan penanggulangan Covid-19. Yang paling penting, tutur Ateh, seluruh proses pelaksanaan PBJ dan pemanfaatan anggaran dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel. Dia mengungkapkan, BPKP juga nanti akan melakukan audit.
Ateh membeberkan, dalam proses pelaksanaan PBJ maka seluruh kementerian, lembaga, dan pemda harus menyediakan acuan kewajaran harga dan meminta penyedia barang/jasa menyiapkan bukti kewajaran harga. Bagi Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19 provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia, dia meminta dengan tegas, agar melibatkan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) dan organisasi perangkat daerah (OPD) teknis terkait untuk menyiapkan data acuan kewajaran harga dan menyiapkan formulir isian sederhana bagi penyedia barang/jasa sebagai bukti kewajaran harga.
ADVERTISEMENT
"Tim kami akan terus berkoordinasi dengan tim Kementerian Dalam Negeri untuk sama-sama secara rinci melihat integrasi dana penanganan Covid-19 ini," tegas Ateh.
Roni Dwi Susanto menyatakan, LKPP telah ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pendampingan dalam proses PBJ di lingkungan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19. Amanah tersebut berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2020. Menindaklanjuti Inpres tersebut, LKPP pun telah menerbitkan SE Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19.
Dia mengungkapkan, memang SE tersebut juga menjadi bagian penting untuk penyederhanaan pelaksanaan PBJ dalam kondisi pandemi Covid-19 yang telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nonalam dan kedaruratan kesehatan. Dalam keadaan darurat, ujar dia, proses PBJ harus dilakukan dengan cepat dan tepat serta juga dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Roni menggariskan, proses pengadaan juga mesti dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Roni menuturkan, bagi Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat melakukan penunjukan siapa pihak yang menjadi penyedia barang/jasa.
Sebelum pelaksanaan PBJ, maka PA atau KPA harus menetapkan lebih dulu apa saja kebutuhan barang/jasa. Selain itu syarat bagi penyedia adalah pernah menyediakan barang/jasa sejenis di instansi pemerintah atau terdaftar di katalog elektronik (e-catalogue) serta penyedia menyiapkan bukti kewajaran harga barang/jasa.
Selain Kemendagri, KPK, BPK, LKPP, BPKP, Polri, dan Kejaksaan, rupanya DPR pun bergerak. Bahkan DPR secara resmi telah membentuk Tim Pengawas DPR terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana Pandemi Covid-19. Tim ini merupakan pengejawantahan salah satu fungsi DPR yakni fungsi pengawasan. Tim ini memiliki tugas di antaranya melakukan pengawasan atas penggunaan anggaran penanggulangan Covid-19 agar cepat, efektif, efisien, dan tepat sasaran. Tim ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB Ahmad Muhaimin Iskandar.
ADVERTISEMENT
Selain lembaga-lembaga di atas, maka sangat diperlukan juga pendampingan, pengawalan, dan pengawasan secara melekat dan serius oleh inspektorat atau inspektorat jenderal di kementerian/lembaga, dewan komisaris di setiap BUMN dan BUMD, dewan pengawas yang ada di lembaga, maupun satuan pengawas internal (SPI) di lingkungan BUMN, BUMD, dan lembaga.
Awut-awutan Bansos dan Gila Citra
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan, pihaknya telah melakukan indentifikasi dan menemukan adanya empat titik rawan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Masing-masing yakni refokusing kegiatan dan realokasi anggaran Covid-19 baik dari APBN maupun APBD, pelaksanaan (PBJ, penyelenggaraan bantuan sosial (jaring pengaman sosial), dan pengelolaan filantropi dan sumbangan pihak ketiga. Karenanya, tutur dia, KPK telah mengeluarkan sedikitnya dua surat edaran untuk dipedomani kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
"Yang pertama risiko paling tinggi jelas pengadaan. Pengadaan dalam kondisi mendesak itu boleh, ada surat edaran yang KPK keluarkan. Tapi di dalamnya ada delapan rambu, di mana jika para kepala daerah tidak menyalahi delapan rambu itu ya aman, enggak ada ranah pidana yang anda langgar," tegas Pahala dalam diskusi secara virtual pada Sabtu, 9 Mei 2020.
Mantan auditor BPKP ini membeberkan, pada pelaksanaan PBJ terkait penanganan Covid-19 maka sektor kesehatan yang paling memiliki masalah. Pahala menjelaskan, sektor kesehatan menempati urutan paling banyak dalam berbagai kasus atau perkara yang ditangani KPK. Modus yang dilakukan pun beragam. Karenanya KPK berharap dugaan korupsi sektor ini tidak berulang di masa pandemi Covid-19.
"Nah di sektor ini paling banyak terdapat beberapa masalah yang timbul," tutur Pahala.
ADVERTISEMENT
Dia membeberkan, untuk sumbangan pihak ketiga atau yang berasal dari publik dalam berbagai bentuk yang ditujukan ke kementerian, lembaga, pemerintah maupun instansi terkait memang tidak tergolong sebagai gratifikasi. Untuk penyalurannya, ujar Pahala, kementerian, lembaga, pemerintah maupun instansi terkait harus berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) agar tepat sasaran.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Foto: Foto: Nugroho Sejati/Kumparan
Pahala memaparkan, pengelolaan filantropi dan sumbangan pihak ketiga harus menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas. Kementerian, lembaga, pemerintah maupun instansi terkait harus mencatat dengan baik dan membuka kepada masyarakat atas sumbangan yang diperoleh. Bahkan menurut dia, akses informasi tersebut harus dibuka perkembangannya setiap hari agar masyarakat mengetahui.
Dia melanjutkan, berdasarkan data yang diperoleh KPK hingga Sabtu, 9 Mei 2020, ada sekitar Rp 500 triliun secara nasional yang dialokasikan untuk dana bansos. Menurut Pahala, dengan dana sebesar itu maka penyalurannya harus dilakukan secara hati-hati, tepat sasaran ke individu maupun keluarga yang benar-benar membutuhkan, dan didasarkan pada DTKS yang ada pada Kemensos.
ADVERTISEMENT
"Kalau anda merujuk pada DTKS, yang pertama, dijamin anda tidak akan salah. Tidak akan salah dalam artian pidana. Karena DTKS itu, ini jelek-jelek data yang lumayanlah, tapi pemda tolong dipadankan dengan di lapangan," bebernya.
Pahala mengatakan, bagi para kepala daerah mestinya memahami bahwa jika ada kesalahan administrasi misalnya dalam penyaluran bansos maka tidak perlu takut. Pasalnya kesalahan administrasi dapat diperbaiki sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Dia menggariskan, pihaknya berharap penyaluran bansos tetap dapat dilakukan tanpa harus memikirkan adanya isu korupsi.
"KPK tidak mau karena ada isu korupsi, terjadi perlambatan penyaluran bansos itu," ujarnya.
Dia menambahkan, penyaluran bansos dalam bentuk apapun baik uang tunai maupun barang oleh pemerintah daerah tidak boleh ditumpangi kepentingan tertentu kepala daerah. Pahala menuturkan, memang harus diakui biasanya setelah sebuah 'hajatan besar' ada dugaan korupsi yang muncul. Karenanya KPK berharap semua aspek penanggulangan Covid-19 tidak terjadi korupsi dan dijalankan dengan berdasarkan aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
"Biasanya memang habis hajatan besar, belakangan kasusnya baru muncul, nah kita khawatir akan begitu nantinya. Jadi, KPK ingin sekali, jangan para pengambil keputusan ini sampai ada masalah, di samping itu, di KPK kita juga enggak tutup mata nih soal masalah bansos," paparnya.
Karena besarnya anggaran yang dialokasikan dan dipakai untuk penanganan Covid-19, ungkap Pahala, KPK telah menugaskan seluruh Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) dan Tim Satgas Koordinasi dan Supervisi Penindakan (Korsupdak) pada sembilan Unit Kerja Koordinasi Wilayah (Korwil) untuk melakukan pendampingan dan monitor terhadap upaya-upaya seluruh pemerintah daerah dalam penanganan pandemi Covid-19. Tim yang turun ke daerah-daerah pun melakukan sosialisasi atas dua SE yang telah diterbitkan KPK.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu di tengah pandemi ini, tim gabungan pencegahan dan penindakan ini rutin membantu tiap pemda agar dapat lakukan hal yang tepat sasaran," ucap Pahala.
Di dalam SE Nomor 11 Tahun 2020 yang dikeluarkan KPK, tertuang bahwa salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi dampak pandemi Covid-19 adalah pemberian bantuan sosial (bansos) dalam berbagai bentuk secara langsung kepada penerima baik individu maupun keluarga. KPK membeberkan, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial (Kemensos) merupakan basis data yang selama ini dipergunakan untuk penyaluran bansos secara nasional, DTKS selalu mengalami perbaikan, DTKS telah dipadankan dengan data kependudukan yang ada di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan penerima bantuan pada DTKS diyakini keberadaannya berdasarkan NIK.
ADVERTISEMENT
Berikutnya harus dilakukan perbaikan ketepatan status penerima bantuan sehingga penerima diyakini tepat sasaran, dengan bantuan pendataan oleh pemerintah daerah (pemda) dan proses verifikasi dan validasi (verivali).
Dalam SE tersebut, KPK merekomendasikan lima poin sehubungan dengan upaya peningkatan pemberian bansos baik yang diberikan pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga dan pemda termasuk bantuan berbentuk tunai, barang, maupun bentuk lainnya. Pertama, kementerian/lembaga dan pemda dapat melakukan pendataan di lapangan untuk keperluan pemberian bansos dengan menggunakan DTKS.
Jika di lapangan ditemukan ketidaksesuaian yakni penduduk yang seharusnya menerima tidak ada dalam DTKS, maka bantuan tetap bisa diberikan. Berikutnya data baru penerima bantuan tersebut harus segera dilaporkan ke Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial pada Kemensos untuk diusulkan masuk dalam DTKS sesuai dengan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kedua, untuk penerima bantuan yang terdaftar pada DTKS namun faktanya dia tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan, maka perlu dilaporkan ke Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial untuk perbaikan DTKS. Ketiga, data penerima bansos dari program-program lainnya atau data yang sudah dikumpulkan dari lapangan agar juga dipadankan dengan NIK berdasarkan data kependudukan di Dinas Dukcapil setempat. Tujuannya untuk memastikan bahwa penduduk tersebut memang ada serta bukan nama ganda, sudah meninggal atau data fiktif.
Keempat, kementerian/lembaga dan pemda harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian bansos dengan menjamin keterbukaan akses terhadap data penerima bansos, realisasi pemberian bansos, dan anggaran yang tersedia bagi masyarakat yang berkepentingan sesuai peraturan yang berlaku. Kelima, untuk peningkatan peran serta masyarakat, maka kementerian/lembaga dan pemda perlu menyediakan fasilitas layanan pengaduan dari masyarakat. Fasilitas ini harus diupayakan agar mudah dan murah penggunaannya serta kementerian/lembaga dan pemda memberikan informasi tentang tindak lanjut atas pengaduan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa pekan di April hingga Mei 2020, masyarakat Indonesia digegerkan dengan beredarnya berbagai atribut pada bansos yang diserahkan ke dan diterima masyarakat. Baik bansos yang berasal dari pemerintah pusat termasuk kementerian dan lembaga maupun pemda. Misalnya kantong bantuan sembako berwarna merah dan putih dengan tulisan "Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19" disertai logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial. Bantuan sosial oleh pemerintah pusat sempat tersedat distribusi ke daerah gegara tas pembungkus berlabel 'Bantuan Presiden' itu belum tersedia akibat keterlambatan dari vendor/pencetak tas.
Presiden Joko Widodo sempat mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan karena memberikan bansos ke masyarakat di beberapa daerah dengan cara melempar bantuan tersebut. Yang harus diingat pula, tas pembungkus bansos tersebut sama seperti tas pembungkus yang disebutkan di atas tadi.
ADVERTISEMENT
Di sejumlah daerah, foto sejumlah kepala daerah mulai level bupati, walikota, hingga gubernur terpasang di berbagai bentuk bansos yang diberikan ke dan diterima masyarakat. Dari level bupati ada beberapa contoh. Yang meledak pertama ke publik adalah stiker berisi foto Bupati Klaten Sri Mulyani dan tulisan terpasang di hand sanitizer. Stiker tersebut menutupi stiker bantuan Kemensos. Selain itu stiker/foto Sri Mulyani juga nangkring di tas sembako, karung beras, kardus, dan goodie bag.
Berikutnya foto Bupati Bekasi Eka Supria Atmaja di karung beras, foto Bupati Bangka Barat Markus yang ada bersama paket sembako dalam bungkusan, foto Bupati Jember Faida dan Wakil Bupati Jember Abdul Muqit Arief di karung beras, foto Bupati Pandeglang Irna Narulita dan dan Wakil Bupati Pandeglang Tanto Warsono Arban di goodie bag sembako, foto Bupati Ogan Ilir M Ilyas Panji Alam di karung beras, foto Bupati Tanjung Jabung Barat Safrial dan Wakil Bupati Tanjung Jabung Barat Amir Saki di karung beras, dan foto Bupati Penukal Abab Lematang Ilir Heri Amalindo.
ADVERTISEMENT
Contoh dari unsur walikota ada stiker bergambar Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu di kardus pembungkus sembako. Dari unsur gubernur, ada tamsil yaitu foto Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi di karung sembako.
Yang harus diingat oleh kita, barang berupa sembako atau anggarannya untuk membeli barang untuk bansos yang kemudian disalurkan berbagai pemda termasuk yang ada foto-foto para kepala daerah di atas bukan hanya bersumber dari pemda. Tapi juga berasal bantuan pemerintah pusat, BUMN, maupun bantuan swasta/pihak ketiga.
Nah daerah-daerah yang ada foto kepala daerah yang disebutkan di atas - selain Provinsi Sulawesi Tenggara - merupakan bagian dari 270 daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020. Para bupati dan walikota yang ada fotonya itu pun digadang-gadang akan maju sebagai calon petahana. Jangan sampai ada udang di balik batu.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, jika benar foto-foto tersebut ada dan terpasang dengan tujuan mendulang popularitas karena ingin maju sebagai calon petahana, maka mereka seperti sedang gila citra. Memanen popularitas dan gila citra untuk kepentingan pilkada di saat bencana Covid-19 menunjukkan pelakunya nir-etika dan kemanusiaan.
Berbagai kalangan mengkritisi secara keras adanya foto kepala daerah yang terpanjang di bungkusan bansos maupun yang ada di dalam bungkusan bersama barang bansos, apalagi menjelang pilkada serentak tahun 2020. Kritik berasal dari pejabat dan mantan pimpinan KPK, anggota BPK, anggota Ombudsman RI (ORI), anggota DPR, menteri Kabinet Indonesia Maju, komisioner Bawaslu, lembaga swadaya masyarakat, pakar dan akademisi, hingga masyarakat umum. Sejumlah kepala daerah yang fotonya terpasang tadi pun telah menyampaikan klarifikasi ataupun sanggahan.
ADVERTISEMENT
Anggota BPK Achsanul Qosasi pun ikut angkat bicara melalui akun Twitter-nya ‘@AchsanulQosasi’. Achsanul menyatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dalam penyaluran bansos tahun 2018 hingga triwulan III tahun 2019. BPK menemukan bahwa penyaluran bansos tidak tepat sasaran. Bahkan data kemiskinan yang dipakai adalah data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2014.
"Bansos tidak tepat sasaran. Data kita sangat lemah. Data kemiskinan yang dipakai adalah data TNP2K, 2014," cuit Achsanul pada Kamis siang, 7 Mei 2020.
Temuan berikutnya, tutur Achsanul, pemutakhiran DTKS diserahkan kepada masing-masing pemda yang memiliki kepentingan melayani rakyatnya. Padahal seharusnya pemutakhiran tersebut dilakukan setiap enam bulan. Dia membeberkan, dari 514 kabupaten/kota, hanya ada 29 kabupaten yang tertib melakukan updating atau pembaharuan data setiap enam bulan.
ADVERTISEMENT
"Sisanya hanya mengesahkan yang ada, dan dominan unsur politik di daerah," tegasnya.
Achsanul menjelaskan, tidak adanya pembaruan data mengakibatkan banyak data yang tidak sepadan dengan NIK dan penerimaan bansos tanpa NIK. Padahal NIK menjadi syarat pemberian dan penerimaan bansos. BPK menemukan juga ada 20 juta lebih penduduk tanpa NIK tapi menjadi Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
"Di sinilah, letak masalahnya," katanya.
Dia menambahkan, laporan hasil pemeriksaan (LHP) tersebut telah diserahkan BPK ke DPR dan pemerintah sehingga sudah menjadi milik publik dan bukan rahasia. LHP yang di dalamnya juga tercantum rekomendasi perbaikan pun harus ditindaklanjuti. Menurut Achsanul, kerjasama dinas sosial (pemda), pusat data dan informasi (Pusdatin), Badan Pusat Statistik (BPS), dan TNP2K harus bagus untuk penyelesaian permasalahan pengelolaan DTKS dalam penyaluran bansos. Musababnya negara sudah menyiapkan anggarannya.
ADVERTISEMENT
"TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), adalah organ di bawah Wapres, ketuanya Wapres. Lembaga ini harus dioptimalkan perannya, kalau tidak difungsikan, bubarkan saja," sindir Achsanul.
Tas bertuliskan 'Bantuan Presiden' saat dilakukam pengepakan bansos di Food Station Tjipinang Jaya, Jakarta Timur. Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat.
Kepada Pikiran Rakyat, Achsanul Qosasi mengatakan, para kepala daerah yang ingin maju dalam kontestasi pilkada seharusnya tidak menggunakan uang negara untuk pencitraan. Seyogyanya para kepala daerah bekerja saja dengan benar dan baik. Dalam konteks penyaluran bansos dalam kondisi pandemi Covid-19, Achsanul menggariskan, seharusnya bantuan tersebut segera diberikan agar dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Artinya kata dia, para kepala daerah tidak perlu menunggu jelang pilkada untuk penyalurannya.
"Harusnya tidak perlu khawatir, tinggal tunjukan kinerja saja, jangan lakukan pencitraan dengan atas nama uang negara. Bantuan kayak itu harus diberikan segera biar bisa dimanfaatkan. Jangan nunggu deket pilkada baru dikasihkan. Gak usah nunggu jelang pilkada, fokus aja kalau kinerja bagus pasti rakyat milih lagi. Gak usah khawatir," tegas.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini disampaikan Achsanul saat dihubungi melalui telepon seluler pada Sabtu 9 Mei 2020. Lihat tautan ini.
Seluruh hasil pemeriksaan kinerja atas pengelolaan DTKS dalam penyaluran bansos tahun 2018 hingga triwulan III tahun 2019 beserta rekomendasi perbaikannya tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 yang telah dilansir BPK beberapa waktu lalu. Keseluruhan temuan permasalahan, jumlah potensi kerugian negara, akibat, dan rekomendasi dapat dilihat pada halaman xlii-xliii, 37-39, 84-92, dan 357. Salinan lengkapnya dapat diunduh melalui tautan di laman BPK.
Secara umum, BPK melakukan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan DTKS dalam penyaluran bansos tahun 2018 hingga triwulan III tahun 2019 yang dilaksanakan pada Kementerian Sosial (Kemensos) dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
BPK memastikan, jika permasalahan pada pengelolaan DTKS dalam penyaluran bansos tidak segera diatasi, maka dapat memengaruhi efektivitas pengelolaan DTKS dalam penyaluran bansos. Permasalahan yang ditemukan BPK antara lain dua aspek utama. Satu, pelaksanaan verifikasi dan validasi belum memadai dalam menghasilkan data input yang berkualitas untuk penyaluran bansos.
Permasalahan itu terjadi karena Kemensos mempunyai keterbatasan dalam melakukan koordinasi pelaksanaan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pemda. Musababnya secara kewenangan, pemda berada dalam koordinasi Kemendagri. Berikutnya Kemensos belum mempunyai mekanisme untuk memastikan pelaksanaan verifikasi dan validasi sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 28 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
ADVERTISEMENT
"Akibatnya, DTKS yang ditetapkan oleh Kemensos sebagai dasar penyaluran program bantuan sosial menjadi kurang andal dan akurat," bunyi petikan halaman 38.
Dua, Penggunaan DTKS belum efektif untuk meningkatkan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) aktif bantuan sosial nontunai. Permasalahan ini terjadi di antaranya karena penggunaan DTKS belum dapat meminimalisasi permasalahan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi pada penyaluran Bantuan Sosial Pangan Nontunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Kemudian, mekanisme feedback permasalahan penyaluran BPNT dan PKH dari himpunan bank milik negara (Himbara) kepada Kemensos (dhi. Pusat Data dan Informasi/Pusdatin) belum diatur.
"Akibatnya proses perbaikan data penyaluran bansos dalam SIKS-NG belum berjalan secara efektif serta Kemensos tidak mengetahui data penyaluran bansos oleh Himbara beserta permasalahannya secara real time."
ADVERTISEMENT
Dalam IHPS II Tahun 2019, BPK menegaskan, telah merekomendasikan kepada Menteri Sosial agar melakukan dua hal utama. Satu, membuat keputusan bersama antara Kemensos dengan Kemendagri dan/atau pemerintah provinsi kabupaten/kota terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab Kemensos dan pemda kabupaten/kota dalam pelaksanaan verifikasi dan validasi DTKS. Isi keputusan bersama itu antara lain terkait dengan pemenuhan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi SDM, dan pengalokasian anggaran guna menghasilkan DTKS yang andal dan mewujudkan penyaluran bansos yang tepat sasaran.
Dua, menginstruksikan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin (Dirjen PFM) dan Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) untuk memerintahkan masing-masing Direktur terkait untuk me-review kembali perjanjian kerja sama (PKS) dengan Himbara terkait dengan tiga hal. Masing-masing yakni mekanisme rekonsiliasi dan feedback permasalahan dalam penyaluran bansos dari Himbara ke Kemensos, integrasi sistem informasi Himbara dengan Kemensos untuk memudahkan monitoring dan evaluasi penyaluran bansos, dan melakukan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) KPM sebagai dasar penyaluran bansos.
ADVERTISEMENT
Dari sisi belanja bansos, BPK melakukan pemeriksaan untuk kurun tahun 2016 hingga triwulan III 2019. Pada entitas Kemensos, BPK menemukan dua permasalahan atas aspek penerimaan selain denda keterlambatan belum dipungut/diterima. Satu, ada kekurangan penerimaan atas sisa saldo program pemerintah di rekening bank penyalur yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 843,77 miliar.
Angka ini terdiri atas, sebanyak 891.990 KKS tidak dapat didistribusikan kepada KPM BPNT dengan sisa saldo sebesar Rp 449,91 miliar, saldo realisasi BPNT yang tidak dipergunakan oleh 387.936 KPM sebesar Rp 311,04 miliar, dan realisasi bantuan sosial PKH atas 330.703 KKS yang tidak dapat didistribusikan kepada KPM sejumlah Rp 82,82 miliar. Dua, ada permasalahan kekurangan penerimaan lainnya sebesar Rp 5,76 miliar.
ADVERTISEMENT
Untuk aspek pemborosan keuangan negara pada entitas Kemensos, BPK menemukan tiga hal. Di antaranya, satu, pemberian alokasi BPNT yang tidak tepat sasaran sebesar Rp 233,04 miliar kepada 286.936 KPM dengan kondisi sosial ekonomi di atas 25 persen. Dua, pembayaran honorarium kepada SDM PKH yang kurang aktif senilai Rp 4,72 miliar.
Selain itu BPK juga melakukan pemeriksaan pada entitas Kementerian Agama (Kemenag) sehubungan dengan penyaluran bansos. BPK menemukan bahwa untuk bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) terlambat disalurkan dan berpotensi tidak tepat sasaran sejumlah Rp 429,55 miliar.
Atas seluruh permasalahan belanja modal pemerintah, BPK menyimpulkan, akibatnya adalah terjadinya kerugian negara atas pelaksanaan belanja yang tidak sesuai dengan ketentuan, kelebihan pembayaran, dan kekurangan volume pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Untuk permasalahan belanja bansos yang disalurkan Kemensos, terjadi empat akibat. Satu, sebanyak 8.000 KPM di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau, dan Daerah Istimewa Yogyakarta belum memperoleh bansos PKH. Dua, penyaluran bantuan kepada masyarakat/lembaga berisiko tidak tepat sasaran dan membuka peluang terjadi penyalahgunaan. Tiga, kekurangan penerimaan atas sisa dana bansos BPNT dan PKH yang belum disetor ke kas negara, serta denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang belum dikenakan.
"Penyaluran bansos BPNT kepada 286.936 KPM dengan kondisi sosial ekonomi di atas 25 persen tidak tepat sasaran dan memboroskan keuangan negara," bunyi petikan halaman 90.
Untuk permasalahan penyaluran PIP termasuk oleh Kemenag, mengakibatkan dua hal. Satu, penyaluran PIP berisiko tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Berikutnya, perjanjian kerja sama yang tidak sesuai dengan ketentuan berpotensi menghambat penyaluran PIP dan bank penyalur tidak dapat dikenakan sanksi jika melakukan wanprestasi. Dua, bantuan PIP madrasah tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran, sehingga merugikan siswa yang berhak menerima PIP.
ADVERTISEMENT
Atas permasalahan belanja modal termasuk bansos pada Kemensos dan PIP pada Kemenag, BPK merekomendasikan masing-masing pimpinan kementerian untuk melakukan beberapa hal. Di antaranya, satu, menginstruksikan pejabat terkait untuk menegur secara tertulis kepada PPK dan memerintahkan supaya lebih optimal dalam melakukan supervisi dan pengawasan terkait dengan penggunaan dana bantuan oleh PKBM. Dua, menginstruksikan pejabat terkait untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya melakukan pemantauan dan evaluasi atas proses bisnis PKH secara optimal.
Tiga, menginstruksikan kepada dirjen terkait supaya memerintahkan KPA, PPK, dan tim verifikasi belanja bantuan lebih cermat dalam meneliti, menyetujui dan menetapkan penerima bantuan. Empat, memerintahkan pejabat terkait supaya menyempurnakan petunjuk teknis PIP dan menyusun perjanjian kerja sama dengan bank penyalur dengan memedomani Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 dan PMK Nomor 254/PMK.05/2015.
ADVERTISEMENT
Lima, menginstruksikan pejabat terkait supaya meningkatkan koordinasi, sosialiasi, monitoring, dan evaluasi atas penyaluran bantuan PIP. Enam, menginstruksikan pejabat terkait untuk meminta Himbara segera mengembalikan dana BPNT yang masih disimpan di rekening penyalur ke kas negara.
Tujuh, memerintahkan pejabat terkait supaya menginstruksikan PPK, untuk melaksanakan penelitian atas daftar KPM BPNT, dan segera melaksanakan penggantian KPM yang tidak memenuhi kriteria sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Delapan, memerintahkan pejabat terkait untuk menegur KPA dan PPK yang tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Memerintahkan pejabat terkait untuk menarik kerugian dan kekurangan penerimaan serta menyetorkan ke kas negara," bunyi petikan halaman 91.
Alur pendaftaran mandiri Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Foto: Pusdatin Kemensos.
Dari berbagai lansiran media massa, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyoroti sejumlah aspek penyaluran bansos sehubungan dengan penanggulangan Covid-19. Di antaranya yakni skema penyaluran, kekacauan data penerima bansos, hingga pelaporan dari masyarakat yang disampaikan ke ORI.
ADVERTISEMENT
Anggota ORI Ahmad Alamsyah Saragih menyatakan, data penerima bansos yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah hingga saat ini masih kacau. Kekacauan ini pun tampak ketika penyaluran bansos saat pandemi Covid-19. Menurut dia, seharusnya data tersebut diperbaiki sesegera mungkin. Tujuannya agar bansos dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bisa tepat sasaran dan merata.
Alamsyah membeberkan, ihwal skema penyaluran bansos dengan bentuk sembako maupun bantuan langsung tunai (BLT) semestinya diubah. ORI menyarankan agar skema bantuan diberikan dengan cara transfer ke rekening penerima bantuan. Di sejumlah negara, kata Alamsyah, bansos disalurkan dengan transfer yang lebih sederhana dan jarang diberikan dalam bentuk barang.
Dia mengungkapkan, masalah pemberian bansos secara natura atau langsung berupa barang seperti sembako merupakan akar masalah yang serius. Akibat pemberian bansos dengan skema natura, tutur dia, bisa dilihat selama beberapa pekan terakhir di sejumlah daerah. Di antaranya, banyak foto kepala daerah yang terpasang di bungkusan berisi sembako bansos untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Mantan ketua Komisi Informasi Pusat (KPI) ini membeberkan, sebelumnya ORI juga telah menerima informasi atau laporan dari masyarakat bahwa ada indikasi kampanye politik terselubung dengan memanfaatkan bansos yang disalurkan pemda saat pandemi Covid-19. Salah satu bentuknya, ujar Alamsyah, dengan adanya foto orang tertentu di bungkusan bansos sembako.
Dia mengatakan, saat mendekati pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 maka kepala daerah yang akan menjadi calon petahana tentu akan mencari berbagai cara menarik perhatian pemilih. Akibatnya, penyaluran bantuan saat pandemi Covid-19 menjadi celah dan tunggangan bagi kepentingan politik petahana.
"Akar dari semua ini adalah skema bansos yang masih natura. Kalau skema bansos itu transfer rekening, selesai, orang mau taruh gambar foto bupati di mana? Di ATM? Nggak mungkin toh," tegas Alamsyah.
ADVERTISEMENT
Ketua ORI Amzulian Rifai membeberkan, pihaknya telah menerima total 387 laporan dari masyarakat selama masa penanggulangan dan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Total data tersebut tercatat masuk hingga pukul 18.00 WIB pada Selasa, 12 Mei 2020. Berdasarkan wilayah, tutur Amzulian, aduan paling banyak berasal dari masyarakat di Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 70 persen. Berikutnya menyusul Kota Depok, Bogor, Bekasi, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Objek aduan paling banyak kata dia, terkait dengan penyaluran bansos dengan kisaran 72 persen.
"Bansos itu menyangkut saluran bantuan yang tidak merata, prosedur yang tidak jelas, hingga masyarakat yang berhak menerima tapi di lapangan justru tidak terdaftar dan tidak menerima," tegas Amzulian.
ADVERTISEMENT
Sengkarut Kartu Prakerja
Program yang juga paling disorot selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia adalah kartu prakerja. Kartu ini masuk dalam bagian program besar program perlindungan sosial dengan total anggaran Rp 110 triliun. Secara khusus untuk kartu prakerja, pemerintah mengalokasikan anggaran berkisar Rp 5,6 triliun hingga Rp 10 triliun. Jika dilihat di laman resmi, tertera bahwa kartu prakerja adalah program pengembangan kompetensi berupa bantuan biaya yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja ter-PHK (pemutusan hubungan kerja), maupun pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi.
Kartu prakerja pun tidak hanya untuk mereka yang sedang mencari pekerjaan, tapi juga buruh, karyawan, dan pegawai. Artinya semua warga Indonesia yang telah berusia 18 tahun ke atas dan tidak sedang sekolah atau kuliah boleh mendaftar. Para pencari kerja usia muda menjadi prioritas program kartu prakerja. Di sisi lain, menyikapi dampak Covid-19, maka untuk sementara waktu kartu prakerja akan diprioritaskan bagi pekerja maupun pelaku usaha mikro/kecil yang terdampak penghidupannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah produk, program kartu prakerja dikemas sedemikian rupa agar memberikan nilai bagi pengguna dan sektor swasta. Pelaksanaan program dilakukan dengan jalur digital melalui marketplace untuk memudahkan pengguna mencari, membandingkan, memilih, dan memberi evaluasi. Saat pengejawantahannya, pemerintah juga menggandeng pelaku usaha swasta.
Dari pengamatan penulis atas pemberitaan media massa, sorotan dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat sepanjang Maret hingga Mei 2020 bertumpu pada beberapa aspek program kartu prakerja. Di antaranya besarnya jumlah anggaran, proses penunjukan delapan perusahaan platform digital sebagai mitra pelaksana pelatihan (tahap awal), pelatihan di setiap platform digital yang sebenarnya dapat dipelajari secara gratis, harga masing-masing video pelatihan, dan dugaan adanya bagi-bagi jatah ke pihak-pihak tertentu dengan anggaran kartu prakerja.
ADVERTISEMENT
Berikutnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran, proyeksi peningkatan anggaran kartu prakerja hingga Rp 20 triliun, pelatihan daring progam kartu prakerja tidak tepat sasaran dan harusnya anggaran yang demikian besar untuk kebutuhan mendesak penanganan Covid-19, verifikasi calon peserta penerima kartu prakerja yang tidak efektif, penunjukan tiga mitra digital virtual account penyalur dana pelatihan, standar penilaian ratusan lembaga pelatihan, hingga mundurnya Adamas Belva Syah Devara dari posis Staf Khusus Presiden akibat polemik penunjukan Ruangguru sebagai mitra digital pelatihan.
Delapan mitra digital pelaksana pelatihan program kartu prakerja yakni Tokopedia, Bukalapak, Skill Academy by Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria (HarukaEDU), Sekolah.mu, PijarMahir, dan Sisnaker Kementerian Ketenagakerjaan. Sedangkan tiga mitra digital virtual account penyalur dana pelatihan yaitu LinkAja, OVO, dan GoPay.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan lansiran laman resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), bagi setiap peserta program kartu prakerja yang berhasil lolos, akan memperoleh biaya pelatihan sebesar Rp 3,55 juta. Dari dana tersebut, peserta harus menggunakan Rp 1 juta untuk pelatihan, akan mendapatkan insentif pasca pelatihan sejumlah Rp 600 ribu setiap bulan (untuk 4 bulan), dan insentif survei kebekerjaan sebesar Rp 50 ribu per survei untuk 3 kali survei atau total Rp 150 ribu per peserta. Lihat tautan ini dan tautan ini.
Setiap peserta, hanya bisa mengikuti satu kali pelatihan dalam program kartu prakerja. Masing-masing insentif akan dibayarkan kepada peserta setelah peserta menyelesaikan minimal satu kali pelatihan. Hingga Sabtu, 11 April 2020, Setkab mencatat, platform digital yang bekerja sama dengan program kartu prakerja antara lain Tokopedia, Bukalapak, Skill Academy by Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria (HarukaEDU), PijarMahir, Sekolah.mu, dan Sisnaker.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan sebagaimana diberitakan berbagai media massa maupun dilansir laman resmi Sekretariat Kabinet, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, progam kartu prakerja merupakan salah satu bagian utama dari program jaring pengaman sosial atau sosial safety net (SSN) dalam penanganan Covid-19. Presiden menegaskan, prioritas utama program kartu prakerja adalah bagi para pekerja yang menjadi korban PHK termasuk pekerja yang dirumahkan akibat dampak pandemi Covid-19. Presiden juga memerintahkan agar dilakukan seleksi ketat bagi calon peserta kartu prakerja.
Dari berbagai lansiran media massa, pemerintah memastikan, delapan platform digital pelaksana pelatihan program kartu prakerja yang bekerjasama dengan pemerintah tidak melalui proses tender dan tidak dilakukan penunjukan langsung. Kerjasama tersebut terjadi melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) setelah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja diteken Menko dan diundangkan pada 27 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Penandatanganan MoU antara pemerintah melalui Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja dengan platform digital telah dilaksanakan pada Jumat, 20 Maret 2020. Berikutnya penandatanganan MoU antara pemerintah dengan platform digital mitra kartu prakerja dilakukan pada Jumat, 27 Maret 2020.
Pemerintah memberikan keleluasaan bagi tujuh platform digital milik swasta untuk memungut biaya sesuai dengan ketentuan dari lembaga pelatihan. Sementara pelatihan melalui platform digital Sinaker milik Kementerian Ketenagakerjaan tidak dipungut biaya. Ke depan, pemerintah juga membuka ruang akan adanya penambahan kerjasama dengan platform digital lainnya.
Silakan simak lebih rinci pada tautan ini dan link ini.
Ilustrasi kartu prakerja. Foto: Sekretariat Kabinet.
Dengan melihat waktu penandatanganan MoU pada Jumat, 20 Maret 2020, maka sebenarnya kerjasama telah terjadi sebelum Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 terbit. Melihat skema kerja sama yang dilakukan tanpa tender maupun tidak dilakukan penunjukan langsung, maka sebenarnya timbul banyak pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Apa alasan pemerintah menunjuk dan bekerjasama lebih khusus dengan 7 platform digital milik swasta? Bagaimana kriteria penilaian sebelum 7 platform digital ditunjuk? Siapa yang menyodorkan 7 platform digital? Apakah sebelumnya pernah ada kerjasama antara pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga terkait dengan 7 platform digital? Apakah 7 platform digital pernah atau sedang masuk dalam daftar penyedia jasa di e-catalogue? Pertanyaan yang sama juga berlaku dua mitra digital virtual account penyalur dana pelatihan milik swasta: OVO dan GoPay.
Jika jawaban untuk dua pertanyaan terakhir adalah tidak pernah, maka hakikatnya kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta tersebut hakikatnya telah menyimpang dari Surat Edaran (SE) LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19 yang ditandatangani Kepala LKPP Roni Dwi Susanto pada 23 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Musababnya, dalam SE tersebut jelas sekali adanya ketentuan pada poin 3 bahwa 'PPK melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menunjuk penyedia yang antara lain lain pernah menyediakan barang/jasa sejenis instansi pemerintah atau sebagai penyedia dalam katalog elektronik. Penunjukan penyedia dimaksud dilakukan walaupun harga perkiraannya belum ditentukan.'
Bicara tentang harga setiap pelatihan di masing-masing dari 7 platform digital milik swasta yang menyediakan jasa pelatihan, maka semestinya pemerintah dalam hal ini Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja harus meminta 7 platform digital milik swasta tersebut menyediakan bukti kewajaran harga. Ini sebagaimana tertuang poin 3 huruf b dan c dalam SE LKPP Nomor 3 Tahun 2020. Artinya jika tidak ada bukti tersebut, maka penunjukan 7 platform digital milik swasta harusnya dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Berikutnya merujuk poin 5 SE LKPP Nomor 3 Tahun 2020, maka PPK dalam hal ini yang ada di Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja seyogyanya meminta APIP atau BPKP untuk memastikan kewajaran harga atas setiap materi pelatihan yang diselenggarakan 7 platform digital milik swasta setelah nanti dilakukan pembayaran.
Khusus platform digital Sinaker milik Kemnaker untuk pelatihan dan LinkAja sebagai mitra digital virtual account penyalur dana pelatihan milik BUMN, maka hal tersebut tidak menyalahi SE LKPP Nomor 3 Tahun 2020. Pasalnya, di poin 4 SE tersebut termaktub pengadaaan barang/jasa untuk penanganan pandemi Covid-19 dapat dilaksanakan secara swakelola. Artinya dapat digarap sendiri oleh pemerintah sesuai dengan kemampuan.
Dengan banyaknya masalah dan kejanggalan atas program kartu prakerja, sejumlah kalangan mendorong agar para penegak hukum yaitu Kejaksaan, Polri, dan KPK agar turun gelanggang melakukan pengusutan dalam aspek penindakan. Pengusutan tersebut guna memastikan benar tidaknya indikasi patgulipat hingga kemungkinan berujung dugaan korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri sehubungan dengan pengawasan anggaran penanganan dan penanggulangan Covid-19. Rapat dihelat secara virtual dan disiarkan langsung secara streaming melalui akun YouTube 'DPR RI' pada Rabu, 29 April 2020. Simak video lengkap di sini.
Penulis memperoleh salinan kesimpulan RDP Komisi III dengan KPK tertanggal 29 April 2020 yang ditandatangani Ketua Komisi III Herman Herry dan Ketua KPK Firli Bahuri. Ada dua poin dalam kesimpulan rapat. Satu di antaranya Komisi III mendesak pimpinan KPK untuk meningkatkan fungsi pencegahan korupsi dan pengawasan secara ketat terhadap seluruh kegiatan dan penggunaan anggaran. Selain itu, pimpinan KPK didesak untuk melakukan penindakan secara tegas terhadap seluruh tindakan korupsi dan penyimpangan yang dilakukan dalam lingkup kewenangan pemerintah yang luar biasa dalam penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan berbagai ketentuan terkait lainnya.
ADVERTISEMENT
Saat RDP berlangsung, anggota dan pimpinan Komisi III turut mendesak KPK agar mengawasi dan melakukan penindakan atas dugaan penyimpangan, dugaan korupsi, hingga dugaan keterlibatan pihak platform digital dalam program kartu prakerja. Ditambah lagi menurut Komisi III, platform digital pelaksana pelatihan ditunjuk atau dipilih begitu saja tanpa adanya tender.
Firli Bahuri menyatakan, pihaknya juga telah menerima informasi ihwal progam kartu prakerja. Firli memastikan, KPK akan melakukan pendalaman atas informasi yang ada termasuk yang disampaikan anggota dan pimpinan Komisi III. Dia menegaskan, KPK pasti akan mengumpulkan semua informasi kemudian ditelaah dan dikaji untuk memastikan adanya peristiwa dan unsur pidana serta bukti-bukti pendukung yang memperkuat.
"Seluruh informasi kami kumpulkan, kami telahah dan kami kaji. Apakah betul ada sesuatu peristiwa, kalau betul ada sesuatu peristiwa tentu kita akan lakukan telaah apakah peristiwa ini termasuk peristiwa pidana (korupsi). Kalau iya benar, dapatkah ditemukan bukti permulaan cukup. Kalau itu ada maka kita akan kejar untuk mencari bukti yang cukup, sehingga membuat terang pidana dan kita temukan tersangkanya," ujar Firli.
ADVERTISEMENT
Sorotan lain datang dari Ombudsman RI (ORI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Anggota ORI Ahmad Alamsyah Saragih menilai, anggaran program kartu prakerja sebesar Rp 20 triliun untuk pelatihan melalui platform digital bagi para buruh yang terdampak PHK dan dirumahkan akibat pandemi Covid-19 sangat tidak tepat. Alamsyah mengatakan, lebih baik anggaran sebesar itu dipergunakan untuk bansos bagi warga terkhusus para pekerja yang terdampak pandemi Covid-19. Pasalnya kata dia, para buruh lebih membutuhkan bansos dari pada pelatihan. Lihat tautan ini.
ICW telah merampungkan kajian ‘Public Accountability Review (PAR) Potensi Kuat Konflik Kepentingan dalam Kondisi Covid-19'. Isi kajian lengkap telah dilansir ICW pada Kamis malam, 14 Mei 2020 dan dapat diunduh di sini. ICW menggolongkan program kartu prakerja yang dijalankan oleh platform digital berupa pelatihan secara online sebagai pengadaan jasa lainnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Pepres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.
ADVERTISEMENT
ICW menegaskan, seharusnya pemerintah menggunakan instrumen pengadaan barang dan jasa untuk memilih platform digital. Pasalnya hingga saat ini mekanisme penunjukkan platform digital tidak jelas karena mengenyampingkan aspek keadilan dalam konteks persaingan usaha secara sehat. Bagi ICW, jika dilihat dari kriteria keadaan darurat berdasarkan Pasal 38 ayat (5) Pepres 16 Tahun 2018, maka metode penunjukan langsung yang dilakukan dalam rangka pemilihan platform digital program prakerja tidak sesuai. Musababnya program ini tidak memiliki kriteria keadaan tertentu seperti yang disebutkan pada pasal tersebut.
Dari seluruh hasil kajian, ICW menyimpulkan empat hal. Satu, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi Covid-19 diduga mengabaikan unsur konflik kepentingan. Dua, munculnya beberapa program seperti kartu prakerja sebagai upaya pemerintah dalam menanggulangi dampak sosial dan ekonomi nyatanya tidak menggunakan asas transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Tiga, penunjukan mitra platform digital dalam program kartu prakerja diduga tidak menggunakan mekanisme pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Hal ini mengakibatkan tidak adanya nilai keadilan dalam proses penunjukkan mitra. Empat, pemerintah gagal dalam mengimplementasikan pengaturan konflik kepentingan dalam proses pengambilan kebijakan.
Atas seluruh temuan, ICW mendesak agar pemerintah melaksanakan tiga rekomendasi. Satu, Presiden segera mengevaluasi kinerja serta posisi staf khusus dan mengambil langkah pemecatan bagi staf yang mempunyai posisi/jabatan di tempat lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dua, pemerintah segera menyusun aturan mengenai konflik kepentingan sebagai upaya mitigasi terhadap risiko yang akan muncul di kemudian hari dan potensi konflik kepentingan dalam berbagai macam kebijakan publik lainnya.
ADVERTISEMENT
"Tiga, pemerintah segera menghentikan sementara program (kartu) prakerja diiringi dengan evaluasi terhadap pelaksanaan program karena diduga pemilihan platform tidak transparan dan berpotensi memiliki konflik kepentingan dan potensi menimbulkan kerugian negara."
Hukuman Mati, Mungkinkah?
Aspek penindakan sehubungan penanganan dan penanggulangan Covid-19 yang sempat mencuat ke publik yaitu pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri. Firli mengirimkan keterangan tertulis tertanggal 27 Maret 202 kepada para jurnalis termasuk ke penulis. Rilis dikirimkan Firli menyikapi dengan situasi terkini yakni pandemi Covid-19.
Ada enam poin dalam pernyataan Firli. Secara umum isinya yakni KPK masih bekerja dengan skala prioritas dalam suasana penuh keprihatinan karena wabah Covid-19, baik tetap bekerja baik bekerja dari rumah (WFH) dan bekerja di kantor. Berikutnya pekerjaan triwulan satu hingga saat ini ada 46 orang tahan yang harus selesai kasunya, pencarian para DPO, dan beberapa kegiatan lain. Singkat kata, KPK akan akan terus berikhtiar dan berkarya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
"Untuk negeri yang kita cintai bersama ini agar terbebas dari korupsi. Kita dalam keadaan keprihatinan atas bencana Corona, mari kita meningkatkan rasa empati, peduli, dengan bangsa ini dengan tidak melakukan korupsi," ujar Firli.
Guna menghadapi wabah Covid-19, KPK telah berkomunikasi dengan LKPP dan BPKP untuk percepatan pengadaan barang kebutuhan penanganan virus Covid-19. Menurut Firli, KPK fokus untuk penyelamatan jiwa manusia, saving of human life is our first priority and our goals.
Karenanya Firli menegaskan, KPK mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan media yang telah membantu pemberitaan terkait dengan pengadaan barang kebutuhan penanganan virus Covid-19. KPK juga meminta kepada media massa dan semua pihak agar sama-sama membantu KPK mengawasi anggaran penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
"INGAT! Ancaman hukuman mati koruptor anggaran bencana dan proses pengadaan darurat bencana. Terima kasih," ucap Firli.
Firli juga menyampaikan pernyataan yang serupa ihwal ancaman hukuman mati bagi pelaku yang melakukan korupsi atas anggaran hingga pengadaaan barang/jasa (PBJ) untuk penanggulangan Covid-19, saat RDP secara virtual bersama Komisi III DPR pada Rabu, 29 April 2020. Dia menegaskan, alokasi hingga penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19 termasuk untuk PBJ sangat rawan terjadi penyimpangan hingga bisa berujung dugaan korupsi.
Mantan Kabaharkam Mabes Polri ini menegaskan, KPK telah berkerjasama dengan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan pendampingan hingga pengawasan termasuk dalam proses PBJ di semua level. Di sisi lain, Firli mengungkapkan, KPK akan melakukan langkah tegas dan keras dalam bidang penindakan bagi siapapun yang diduga melakukan korupsi atas anggaran bencana atau saat keadaan bencana Covid-19.
ADVERTISEMENT
"Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati," tegas Firli.
Ketua KPK Firli Bahuri saat RDP secara virtual dengan Komisi III DPR pada Rabu, 29 April 2020. Foto: YouTube/DPR RI.
Hakikatnya penerapan tuntutan pidana mati jika ada dugaan korupsi tidak hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, tapi juga dapat diterapkan oleh JPU pada Kejaksaan.
Penerapan pidana mati (tuntutan maupun vonis) bagi pelaku korupsi telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bunyinya: 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) tertuang bahwa keadaan tertentu untuk pemberatan dengan hukuman mati bagi pelaku korupsi apabila tindak pidana dilakukan dalam empat kondisi. Pertama, pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Kedua, pada waktu terjadi bencana alam nasional. Ketiga, sebagai pengulangan tipikor. Atau, keempat, pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
ADVERTISEMENT
Tapi harus diakui, penerapan pidana mati dalam perkara korupsi termasuk untuk berbagai objek yang terkait dengan bencana atau dilakukan saat bencana hingga saat ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Ihwal ini pernah penulis tuangkan dalam artikel '‎Korupsi Bencana Jauh dari Hukuman Mati' yang dilansir Kumparan.com pada 14 Oktober 2018. Lebih lengkapnya silakan klik tautan ini.
Pidana paling tinggi baik saat tuntutan maupun diputuskan oleh majelis hakim, yang ada baru 'sekadar' pidana penjara seumur hidup. Koruptor yang diganjar vonis pidana penjara seumur hidup di antaranya terpidana pengusaha Adrian Herling Waworuntu. Adrian adalah terpidana perkara korupsi berupa pembobolan PT. BNI (Persero) Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan pada tahun 2003 dengan kerugian negara lebih Rp 1,214 triliun. Berikutnya ada terpidana mantan hakim sekaligus mantan ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar. Akil merupakan narapidana penerima suap dalam pengurusan putusan belasan sengketa pilkada yang disidangkan di MK serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain penulis sedikit kurang yakin bahwa penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan dan KPK serta majelis hakim nantinya dapat menerapkan pidana mati bagi pelaku korupsi dalam objek apapun terkait dengan penanganan pandemi Covid-19. Musababnya, selain ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor serta penjelasannya, dibutuhkan juga pertimbangan lain yang memberatkan serta tidak adanya hal-hal meringankan bagi pelakunya.
Andaipun KPK, seperti pernyataan Firli, ingin menerapkan tuntutan pidana mati bagi pelaku korupsi terkait dengan penanggulangan pandemi Covid-19 maka silakan buktikan saja dengan tindakan. Bukan sekadar mengumbar pernyataan dan ancaman. Artinya jika ada laporan dari masyarakat atau temuan tim KPK di lapangan atas indikasi dugaan korupsi tersebut, maka lakukan dengan laksanakan secara serius dan maksimal semua proses penindakan. Mulai dari pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket), naikkan ke tahap penyelidikan, setelah itu jika ditemukan bukti permulaan yang cukup maka naikkan ke tahap penyidikan disertai penetapan tersangka siapapun orangnya dan latar belakangnya, rampung berkasnya dengan cepat kemudian naikkan ke tahap penuntutan, hingga dilimpahkan ke pengadilan, disidangkan, dan KPK melalui JPU konsisten dengan tuntutan pidana mati bagi pelakunya.
ADVERTISEMENT
Segala daya dan upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk pencegahan, penanggulangan, dan penanganan penyebaran Covid-19tidak boleh dilakukan dengan serampangan. Anggaran yang telah disiapkan dan dikucurkan seyogianya dipergunakan dan disalurkan pada pihak yang benar-benar membutuhkan. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa hingga eksekusi di lapangan sepatutnya benar-benar tepat sasaran. Pengawasan pun harus berjalan maksimal, efektif, dan optimal agar penumpang gelap dan tindakan korup tidak bergentayangan. Jika masih ada yang berbuat, buktikan saja penerapan hukuman mati, bukan sekadar ancaman.[]