‎Korupsi Bencana Jauh dari Hukuman Mati ‎

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2018 9:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Peristiwa tertangkap tangannya Ketua Komisi IV sekaligus anggota Badan Anggaran DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat Muhir menghentak publik.‎ Muhir diciduk oleh tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram usai diduga menerima Rp 30 juta pada Jumat, (14/9). Ia dibekuk bersama dua orang lainnya.
ADVERTISEMENT
Dugaan perbuatan Muhir mengundang kecaman dan reaksi dari sejumlah kalangan. Nalar sehat seluruh rakyat Indonesia tentu tidak bisa menerima dugaan perbuatan Muhir. Apalagi masyarakat Lombok dan sekitarnya sedang berduka atas bencana gempa bumi yang bermula Minggu, 29 Juli 2018 dan ratusan gempa susulan, serta berusaha bangkit kembali‎ pasca-gempa.
Kejari Mataram menduga kuat transaksi tersebut terkait pengurusan anggaran Rp 4,2 miliar dalam APBD Perubahan 2018 untuk rehabilitasi (perbaikan) 14 gedung SD dan SMP. 14 gedung sekolah tersebut rusak akibat gempa bumi mengguncang Lombok dan sekitarnya. Atau boleh dikata, Muhir diduga meraup uang atas anggaran proyek rehabilitasi pasca-gempa Lombok.
Kejari Mataram 'tidak memberi ampun'. Muhir dijerat dengan tiga pasal sekaligus yakni Pasal 11 (penerima suap pasif), Pasal 12 huruf b (penerima suap aktif), dan Pasal 12 huruf e (pemerasan dalam jabatan) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kejari langsung menjebloskan Muhir ke rumah tahanan bersamaan dengan hari penangkapan Muhir.
ADVERTISEMENT
Partai Golkar tidak tinggal diam atas dugaan perbuatan Muhir. Partai mengeluarkan keputusan, memecat Muhir sebagai anggota atau kader partai.
Tidak berselang lama dari gempa bumi Lombok, Indonesia kembali berduka. Palu, Donggala, dan sekitarnya di Sulawesi Tengah diguncang gempa bumi disertai tsunami yang menerjang Palu pada Jumat sore, (28/9).
Peristiwa penangkapan Muhir di Mataram, kiranya menjadi perhatian bagi semua pihak agar kondisi dan keadaan bencana tidak dijadikan jalan dan sarana untuk meraup keuntungan pribadi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan memberikan peringatan. Wakil Ketua KPK, Thony Saut Situmorang, menyatakan KPK mengingatkan agar penggunanaan dana dari keuangan negara dan dana bantuan dari berbagai negara untuk pemulihan dan rehabilitasi pasca-gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan sekitarnya dipergunakan sesuai peruntukkan, efisien, transparan, dengan asas keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan Saut menegaskan, penggunaan dana tersebut jangan sampai terjadi miss management. Karena jika itu terjadi maka hal tersebut lebih berbahaya. Dia mengungkapkan, bisa saja KPK membuka kantor di Palu sama seperti di Aceh. Dulu KPK 'berkantor' di Aceh dengan melakukan pengawasan penggunaan dana bantuan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-tsunami menghantam Aceh pada 26 Desember 2004.
"KPK perlu mengingatkan ya. Kenapa dulu waktu Aceh, KPK ada di sana berkantor. Bisa jadi kami berkantor juga di Palu. Kalau angkanya cukup besar dan tidak efisien, nanti kan negara luar melihatnya seperti apa. Sejauh ini, KPK belum membentuk tim, tapi sudah ada diskusi-diskusi tentang itu, seperti di Aceh," ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK pada Senin, (1/10).
ADVERTISEMENT
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo, ikut angkat bicara‎. Seluruh insan KPK menyampaikan dukacita yang sangat mendalam atas bencana di Lombok dan sekitarnya di NTB serta di Palu, Donggala, dan sekitarnya di Sulawesi Tengah. Pihaknya juga menggalang donasi dan bantuan untuk para korban dan dikirimkan melalui lembaga-lembaga kemanusiaan yang tepercaya. Langkah yang sama juga sudah dilakukan para insan KPK saat terjadi bencana di Lombok dan sekitarnya.
Yudi kemudian memberikan peringatan sangat keras saat disinggung banyaknya bantuan yang mengalir untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana di Sulawesi Tengah. Dia menggariskan, KPK sangat berharap bagi seluruh pemangku kepentingan yang mengurusi dana bantuan baik dari APBN, APBD, maupun dari pihak lainnya agar tidak melakukan penyalahgunaan.
ADVERTISEMENT
"Kami menghimbau bahwa adanya ancaman hukuman mati bagi mereka yang menyalahgunakan dana bantuan bencana alam. Itu kami tegaskan. Karena kita punya pengalaman kemarin (sebelumnya) di Lombok ya. Dan ini kan juga (bencana) dahsyat di Palu dan Donggala. Kami harapkan tidak ada lagi orang-orang yang salahgunakan dana-dana bantuan," tegas Yudi di depan lobi Gedung Merah Putih KPK, pada Selasa malam, (2/10).
Penyidik KPK ini menuturkan, untuk saat ini dirinya tidak mau menyimpulkan dan berspekulasi apakah sudah atau belum terjadi dugaan penyimpangan dana bantuan untuk korban bencana di Palu, Donggala, dan sekitarnya. Kewenangan penyampaian informasi tersebut, tutur Yudi, berada di pimpinan KPK. Yang pasti Wadah Pegawai sudah mengomunikasikan ke pimpinan agar KPK juga bergerak melakukan pengawasan.
ADVERTISEMENT
"Sebagai bentuk pencegahan, kita harus mengampanyekan adanya ancaman hukuman mati yang menyalahgunakan dana bantuan (bencana alam)," ujar Yudi.
Korupsi Bencana Alam Rawan Terjadi
Ilustrasi bencana alam (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bencana alam (Foto: Unsplash)
Dana bantuan bencana alam baik sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi boleh dibilang tidak terlepas dari anasir dan tindakan korupsi para pelakunya. Sepanjang tahun 2004 hingga tahun 2018 ada banyak kasus atau perkara yang menjadi gambaran akan hal tersebut. Kasus dugaan dengan tersangka Muhir di atas adalah satu sekian banyak contoh yang bisa kita lihat.
Para pembaca yang budiman, untuk memberikan gambaran bahwa dana bantuan bencana alam yang bersumber dari APBN atau APBD atau bantuan dari dana pihak lain sangat rentan terjadi korupsi maka dalam tulisan ini kiranya penulis akan memberikan sekitar 11 contoh kasus (perkara) sepanjang tahun 2004 hingga tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini saya akan memulai dari tahun terbaru adanya kasus maupun putusan perkara, yakni tahun 2018.‎
1. Erupsi Gunung Bromo
Gunung Bromo. (Foto: Antara/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Gunung Bromo. (Foto: Antara/Zabur Karuru)
Masih ingat bencana alam erupsi akibat letusan Gunung Bromo di Jawa Timur pada tahun 2011? Salah satu lokasi yang terkena dampak adalah Desa Kedung Galeng, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo. Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana tahun 2011 tersebut, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDP) Provinsi Jawa Timur mengalokasikan dana bantuan sosial berpola hibah tahun anggaran 2011 yang disalurkan pada tahun anggaran 2012.
Dari 14 kabupaten/kota, salah satu penerima dana tersebut yakni BPDP Kota Probolinggo. Desa Kedung Galeng menjadi salah satu desa kegiatan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi berupa normalisasi saluran kali. Proyeknya berupa pembangunan dinding kawat berisi batu-batu, biasa disebut bronjong atau parepet. Nilai proyeknya mencapai lebih Rp 143 juta. Pemenang dan pelaksana pembangunan bronjong tahap 1 yakni CV Tulus Abadi.
ADVERTISEMENT
Rupanya proyek pasca-bencana ini pun dikorup oleh Bambang Sulogo selaku Direktur CV Tulus Abadi yang duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Surabaya. Pada Kamis, 28 September 2017, majelis hakim menghukum Sulogo terbukti bersalah melakukan korupsi atas pembangunan bronjong di Desa Kedung Galeng dengan kerugian sekitar Rp 113 juta.
Sulogo divonis dengan pidana penjara selama 1 tahun dan uang pengganti sebesar Rp 18.723.829,61 subsider pidana penjara selama 1 bulan. Di tingkat banding, pidana penjara Sulogo menjadi 2 tahun.
Tidak terima, Sulogo lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di tingkat kasasi, majelis hakim agung pada 21 Agustus 2018 menjatuhkan putusan menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Surabaya dengan pidana penjara 1 tahun untuk Sulogo.
ADVERTISEMENT
Sejak Kamis, 20 September 2018 Sulogo akhirnya bisa menghirup udara bebas dan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Probolinggo.‎
2. Shelter Tsunami Banten
Kita berpindah ke Tanah Jawara, Provinsi Banten. Pada Juni 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Serang, Banten memvonis tiga terdakwa atas perkara korupsi proyek ‎pembangunan gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di Pasar Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten dengan anggaran Rp 18.232.143.000. Anggaran proyek ini bersumber dari APBN 2014 yang diampu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dalam proyek ini negara mengalami kerugian Rp 16.077.435.190. Perkara ini sebelumnya disidik Polda Banten.
‎Tiga terdakwa yang dihukum yakni Direktur PT Tidar Sejahtera, Takwin Ali Muchtar, Manajer PT Tidar Sejahtera, Wiyarsa Joko Pranolo, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kementerian PUPR, Ahmad Gunawan. Takwin, Wiyarsa, dan Gunawan divonis dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 3 bulan dan denda Rp 50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.
ADVERTISEMENT
Takwin juga diwajibkan membayar pidana uang pengganti Rp 4,7 miliar subsider pidana penjara selama 6 bulan. Gunawan wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp 500 juta subsider pidana penjara selama 6 bulan. Selepas putusan dibacakan majelis hakim, ‎kemudian Takwin, Wiyarsa, dan Gunawan langsung menyatakan mereka menerima putusan.
Bisa dibayangkan bencana tsunami belum ada tapi proyek gedung shelter tersebut sudah dikorup. Korupsi gedung shelter tsunami tersebut jelas sangat mengancam keselamatan jiwa masyarakat Banten jika evakuasi ke gedung tersebut saat bencana tsunami terjadi. Kini gedung shelter tsunami itu terbengkalai dan tidak terurus.
3. Dana Tanah Longsor Majalengka
Terhitung Selasa, 20 Februari 2018, Polres Majalengka melimpahkan berkas dan dua tersangka kasus dugaan korupsi penggunaan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2014 untuk penanganan pasca-bencana alam tanah longsor di Dusun Cigintung, Desa Cimuncang, Kabupaten Majalengka tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Pelimpahan dilakukan Polres ke Kejari Majalengka. Dua tersangka tadi adalah Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas), Amanah M. Yusuf Tojiri dan Bendahara Pokmas bernama Jaja. Dari anggaran yang dikuburkan provinsi sebesar Rp 9 miliar, diduga terjadi kerugian negara sekitar Rp 495,5 juta. ‎
4. Peta Bencana Sumatera Utara
BPBD Sumatera Utara (Sumut) menganggarkan sekitar Rp 1,7 miliar hingga Rp 2 miliar untuk pembuatan peta titik rawan bencana di Kabupaten Karo, Dairi, dan Pakpak Bharat tahun anggaran 2012. Anggaran bersumber dari APBD Provinsi Sumut. Untuk penentuan titik dan pembuatan peta tersebut maka diperlukan sekitar 12 ahli.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut mengendus adanya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan tersebut. Kejati lantas menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka yakni Aris Fadillah Acheen selaku Kepala Sub Bidang Kesiapsiagaan BPDB Sumut, Zainal Arifin selaku Kepala Panitia Proyek, dan Direktur Utama PT Argeo Consultant Engineering Pendi Sebayang.
ADVERTISEMENT
Bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2016, majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan memvonis Aris dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan dan Zainal dihukum 1 tahun bulan, dengan masing-masing denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan. Aris juga dijatuhi pidana uang pengganti sekitar Rp 40 juta. Majelis memastikan terjadi kerugian negara lebih Rp 784,448 juta akibat perbuatan Aris dan Zainal beserta yang lainnya.
Sedangkan Pendi pada 9 September 2016 divonis dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan. Di tingkat banding pada Selasa, 22 November 2016, majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Medan menghukum Pendi dengan pidana selama 3 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, pada 4 Februari 2016, Pendi sudah mengembalikan Rp 500 juta uang kerugian negara melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejati Sumut.
Setelah tahun berganti, Aris, Zainal, dan Pendi akhirnya bebas. Saat Musyawarah Provinsi DPD Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) yang dihelat Selasa, 27 Februari 2018, rupanya Pendi terpilih sebagai Ketua DPD Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) Provinsi Sumut periode 2018-2022.
5. Erupsi Gunung Merapi
Erupsi akibat letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah kembali terjadi pada tahun 2010 disusul banjir lahar dingin. Setahun berselang lahar dingin Gunung Merapi meluap dan menerjang desa-desa. Ratusan orang meninggal dunia, ratusan rumah rusak, ratusan ribu jiwa mengungsi, dan nilai kerugian materiil mencapai triliunan rupiah.
ADVERTISEMENT
Wilayah yang terdampak bencana tersebut termasuk Kabupaten Magelang. Pemerintah pusat melalui BNPB kemudian mengucurkan bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca-benca erupsi Gunung Merapi pada tahun 2012. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang melalui BPBD Kabupaten Magelang turut mendapat bantuan dana tersebut berupa pengadaan sarana produksi pertanian.
BPBD Kabupaten Magelang lantas mengadakan lelang untuk pengadaan bibit salak pondoh, pupuk NPK, dan pupuk organik. Proyek pengadaan itu dimenangkan CV Dwi Daya Utama (nominee atau dipinjam nama) dengan anggaran sekitar Rp 2,712 miliar.
Proyek pengadaan ini berujung korupsi. Pada Selasa, 10 Mei 2016, majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan vonis pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti terhadap terdakwa Direktur CV Dwi Daya Utama Sri Sumartini.
ADVERTISEMENT
Majelis memastikan, Sri Sumartini terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Martono selaku Direktur Sido Agung dan Hasan Makruf selaku Direktur CV Cakra Buana. Akibatnya negara merugi lebih Rp 896 juta.
6. Puting Beliung Serang‎
Angin puting beliung menghantam Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada Januari 2012. Dari 200 rumah yang diterjang puting beliung, ada puluhan rumah ambruk, puluhan rumah rusak berat, ratusan rumah rusak ringan, dan satu korban meninggal. Sebelum itu masih di bulan yang sama, banjir juga melanda desa tersebut.
BNPB lantas memberikan dana bantuan Rp 580.750.000 pada tahun 2012 untuk disalurkan ke korban puting beliung. Dana itu lebih dulu melalui BPBD.
Di lapangan, dana tersebut 'disunat' dan dikorup Samsudin Nur selaku Kepala Desa Tengkurak, Hasanudin selaku Sekretaris Daerah, M. Sakam selaku Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Penyaluran Bantuan, dan Saefullah selaku Bendahara Pokja Penyaluran Bantuan Saefullah. Banyak korban bencana tidak mendapatkan dana bantuan.
ADVERTISEMENT
Apes bagi Samsudin, Hasanudin, Sakam, dan Saefullah. Mereka kemudian merasakan kursi panas di Pengadilan Tipikor Serang. Pada Senin, 28 Maret 2016, majelis hakim memvonis Samsudin, Hasanudin, Sakam, dan Saefullah dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan. Majelis juga mewajibkan Samsudin dan Hasanudin membayar uang pengganti Rp 15 juta subsider 1 bulan kurungan, sedangkan Sakam Rp 66,36 juta subsider 2 bulan kurungan.
Majelis hakim menilai, akibat perbuatan empat orang tersebut negara mengalami kerugian Rp 207.455.000.
‎7. Pembobolan Dana Bencana Mojokerto
BNPB menyalurkan dana bantuan sebesar Rp 10,7 miliar yang bersumber dari APBN pada tahun anggaran 2013 ke BPBD Kabupaten Mojokerto, Jawa Tengah. Dana tersebut dialokasikan untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana di Kabupaten Mojokerto.
ADVERTISEMENT
Ternyata sepanjang Desember 2013 hingga Maret 2015, Joko Sukartika selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu pada BPBD Kabupaten Mojokerto membobol rekening rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana BPBD. Joko mencairkan dana mencapai total Rp 2.139.565.948. Di antaranya dengan cara memalsukan tanda tangan pejabat pembuat komitmen untuk menggasak uang penanggulangan bencana tersebut.
Perbuatan Joko dibantu Pongky Aries Hermawan selaku staf Administrasi Keuangan BPDB Kabupaten. Joko dan Pongky sebelumnya ditersangkakan dan kasusnya ditangani Kejari Mojokerto. Akibat perbuatan Joko dan Pongky, dua proyek perbaikan jembatan ketika itu tidak bisa dilelang dan dilaksanakan.
Di tahap penyidikan, Joko sempat buron dan tiga kali tiga memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka. Tim Kejari akhirnya berhasil membekuk dan menangkap Joko di rumah istri mudanya pada Minggu, 24 Mei 2015 malam.
ADVERTISEMENT
Hampir setahun berselang dari penangkapan Joko, atau tepatnya Senin, 7 Maret 2016, majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya membacakan putusan atas nama Joko. Majelis memvonis Joko dengan pidana penjara selama 5 tahun, denda sebesar Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan, dan Pidana uang pengganti sejumlah Rp 2.139.565.948.
Dua bulan berselang, Pongky divonis 1 tahun 9 bulan, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 83 juta.
8. Logistik Bencana Kudus
Nekat. Demikian kata yang patut diberikan untuk Nur Kasiyan selaku Bendahara Pengeluaran BPBD Kabupaten Kudus, Jawa Tengah atas dua perbuatan pidana korupsi yang dilakukannya terkait dengan dana bantuan bencana alam. Dan, atas kenekatannya, Kasiyan akhirnya tersungkur dan merasakan dinginnya bilik penjara.
ADVERTISEMENT
Pada Kamis, 9 Juli 2015, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Kasiyan dengan pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 646 juta subsider pidana penjara 2 tahun.
Vonis tersebut dijatuhkan majelis karena Kasiyan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan korupsi atas bantuan bencana alam 2014 dari Tohir Foundation dan Bantuan Gubernur Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 646 juta untuk BPBD Kudus.
Beberapa hari sebelumnya yakni Selasa, 26 Mei 2015, Kasiyan juga divonis dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 50 juta subsider 3 bulan, dan membayar uang pengganti atas kerugian negara Rp 51 juta. Vonis kali ini terkait perkara korupsi pengadaan logistik bencana alam di Kabupaten Kudus pada 2012 dengan anggaran sekitar Rp 193,8 juta.
ADVERTISEMENT
Logistik bencana tersebut di antaranya berupa karung plastik, mie instan, minyak goreng, beras, telur, air mineral, hingga lauk pauk. Laporan pengadaan logistik tersebut dipalsukan seolah-olah pengadaan sudah mencapai 100 persen. Harga logistik yang diadakan ternyata hanya lebih Rp 130,035 juta.
Dalam perkara korupsi pengadaan logistik bencana ini, selain Kasiyan ada empat terdakwa lain yang menjalani persidangan. Salah satunya Sudiarso selaku Kepala Pelaksana Harian BPBD Kudus. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Semarang memvonis Sudiarso dengan pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan pada Senin, 18 Mei 2015.
9. Proyek Talud Kolaka
Berpindah ke Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Kendari menggelar sidang pembacaan vonis dua terdakwa perkara korupsi pembangunan talud pemecah ombak pada Selasa, 15 April 2014. Duduk sebagai terdakwa yakni ‎Zulkifli Tahrir selaku Kepala BPBD Kabupaten Kolaka dan Samsul Bahri selaku Kepala Bidang Pengairan sekaligus Pejabat Penanggungjawab Operasional Kegiatan pada Dinas PU Pemerintah Kabupaten Kolaka.
ADVERTISEMENT
Majelis hakim menilai, Zulkifli dan Samsul terbukti melakukan korupsi proyek pembangunan talud pemecah ombak di Kabupaten Kolaka yang bersumber dari APBN 2012 senilai Rp 6 miliar. Lokasi talud tersebut di Desa Babarina dan Desa Iwoimenda.
Majelis menghukum Zulkifli dengan pidana penjara 4 tahun 3 bulan, denda Rp 250 juta subsider kurungan 3 bulan, dan uang pengganti lebih Rp 626,813 juta. Sedangkan Samsul dengan pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 10,6 juta.
10. Penggalangan Dana Tsunami Aceh
Sebuah helikopter dari kapal angkatan laut Prancis Jeanne d'Arc melayang pada tanggal 14 Januari 2005 di atas kota Banda Aceh yang hancur.  (Foto: AFP PHOTO / Joel Saget)
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah helikopter dari kapal angkatan laut Prancis Jeanne d'Arc melayang pada tanggal 14 Januari 2005 di atas kota Banda Aceh yang hancur. (Foto: AFP PHOTO / Joel Saget)
Tsunami yang menerjang Aceh Minggu, 26 Desember 2004 pasti masih lekat dalam ingatan dan benak seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya masyarakat Aceh. Ketika itu tsunami dengan ketinggian sekitar 24 hingga 30 meter memporak-porandakan dan menghancurkan Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebelum tsunami, gempa dahsyat bertipe megathrust dengan kekuatan sekitar 9,1 hingga 9,3 skala richter lebih dulu mengguncang dasar laut di barat daya Sumatera. Ditambah lagi setelah gempa dan tsunami itu, gempa-gempa susulan selalu terjadi.
Pemerintah Indonesia pun menetapkan gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana alam dengan status 'bencana nasional'.
Dampak gempa dan tsunami Aceh tidak hanya dirasakan masyarakat Aceh dan Indonesia, tapi sejumlah negara. Seperti Thailand, Malaysia, Myanmar, Bangladesh, Sri Langka, India, Madagaskar, Somalia, Maladewa, Yaman, hingga Afrika Selatan.
Masyarakat Aceh, pemerintah Indonesia, dan seluruh masyarakat Indonesia, hingga masyarakat dan negara-negara sahabat bahu-membahu membangun kembali Aceh. Tentu dalam tulisan ini mungkin tidak akan cukup menguraikan satu persatu dan secara detail siapa saja dan bagaimana proses membangun kembali Aceh pasca-tsunami.
ADVERTISEMENT
Dalam proses membangkitkan dan membangun kembali Aceh, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri (kini Kementerian Luar Negeri) menghelat konferensi internasional Tsunami Aceh atau 'Special ASEAN Leaders’ Meeting on Aftermath of Earthquake and Tsunami in Aceh (Tsunami Summit). Konferensi ini berlangsung 5 hingga 6 Januari 2005 di Jakarta Convention Center (JCC).
Tsunami Summit adalah konferensi dan pertemuan khusus para Kepala Negara ASEAN, para pimpinan negara-negara lain, dan organisasi-organisasi internasional mengenai penanggulangan bencana akibat gempa bumi dan tsunami Aceh. Mulai dari tanggap darurat, rekonstruksi, rehabilitasi, hingga pencegahan dan mitigasi.
Tsunami Summit yang diikuti sekitar 50 negara pun menghasilkan bantuan USD 5 miliar atau Rp 43 triliun. Bantuan tersebut akhirnya digunakan untuk recovery atau rehabilitasi Aceh pasca-tsunami.
ADVERTISEMENT
Untuk penyelenggaraan Tsunami Summit oleh Deplu ditangani Sudjadnan Parnohadiningrat selaku Sekretaris Jenderal sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) periode 2002-2005. Dalam prosesnya, Sudjanan melakukan penunjukan langsung PT Pactoconvex Niagatama sebagai pelaksana kegiatan.
Selepas kegiatan, Sudjanan memerintahkan I Gusti Putu Adnyana selaku Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Setjen Deplu membuat laporan pertanggungjawaban ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) dengan nilai Rp 6.081.568.000. Padaha jumlah riil yang dikeluarkan hanya Rp 3.343.217.892. Karenanya ada selisih yang kemudian menjadi kerugian negara sebesar Rp 2.643.211.686.
ADVERTISEMENT
Kegiatan Tsunami Summit adalah satu dari 12 seminar dan konferensi internasional kurun tahun 2004 hingga tahun 2005 yang diampu Deplu dan menjadi objek korupsi yang dilakukan Sudjanan. Perkara Sudjanan sebelumnya ditangani, didakwakan, dan dituntut JPU pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
‎Rabu, 23 Juli 2014, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Sudjanan selaku Sekjen Deplu sekaligus KPA periode 2002-2005 dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Akibat perbuatan korupsi Sudjanan dalam 12 seminar dan konferensi internasional, negara mengalami kerugian keuangan Rp 11,091 miliar.
Majelis menggariskan, vonis ringan untuk Sudjanan dilandasi beberapa pertimbangan. Di antaranya Sudjanan menyesali perbuatannya dan telah mengembalikan citra positif Indonesia di mata dunia.
ADVERTISEMENT
11. Dana Gempa Nias‎
Gempa di Nias (Foto: Dok. BMKG)
zoom-in-whitePerbesar
Gempa di Nias (Foto: Dok. BMKG)
Belum usai duka akibat tsunami Aceh, masyarakat Indonesia dan dunia kembali mendapat kabar duka dari Pulau Nias. Kali ini gempa berkekuatan sekitar 8,3 skala richter mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara dengan disusul tsunami pada 28 Maret 2005. Seluruh pihak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nias langsung melakukan penanggulangan dampak bencana tersebut.
Binahati Benedictus Baeha selaku Bupati Nias saat itu dan Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tahun 2006 kemudian mengajukan dana Rp 12,28 miliar untuk pemberdayaan masyarakat Nias pasca-gempa dan tsunami. Pengajuan dilakukan Binahati pada 8 Desember 2006 ke Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat melalui surat nomor: 400/8335/SOS.
Pemerintah pusat melalui pelaksana harian Badan Koordinasi Nasional Penggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) menggelontorkan Rp 9,48 miliar sesuai dengan surat tertanggal 1 Februari 2007. Berikutnya Binahati menunjuk Baziduhu Ziliwu selaku Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretariat Daerah Pemkab Nias sebagai pelaksana pengadaan barang.
ADVERTISEMENT
Tepat 9 Februari 2007, dana Rp 9,48 miliar masuk di rekening 'Bencana Alam Tsunami Kabupaten Nias'. Sejak ini juga Binahati rupanya sudah memulai melakukan perbuatan pidana korupsi. Binahati memerintahkan Baziduhu memindahkan dana tersebut ke rekening pribadi Baziduhu secara bertahap. Binahati juga memerintahkan secara lisan agar Baziduhu melakukan penjajakan harga barang dan pembelian secara langsung tanpa melewati proses lelang.
Nilai setiap pembelian item untuk pemberdayaan masyarakat dimanipulasi dan digelembungkan dalam setiap kuitansi. Mulai dari mesin kemasan buah dan kelengkapannya, mesin jahit dan kelengkapannya, meja pingpong dan kelengkapannya, bola voli, tata rias, pakaian seragam SD, hand tractor, mesin 5,5 PK dan kelengkapannya, jaring, rawai dasar, hingga biaya umum operasional kegiatan.
ADVERTISEMENT
Berikutnya Binahati membuat dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban setelah mendapat teguran dari Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan surat laporan tertanggal 29 November 2008. Laporan dibuat seolah-olah dana bantuan Rp 9,48 miliar telah dipergunakan sesuai dengan permohonan awal.
Korupsi penggunaan dana untuk pemberdayaan masyarakat Nias pasca-gempa dan tsunami mengantarkan Binahati ke 'meja hijau'. Pada Rabu, 10 Agustus 2011, majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan menjatuhkan vonis pidana penjara selama 5 tahun, denda Rp 100 juta subsider kurungan 2 bulan, dan pidana uang pengganti sebesar Rp 3.144.500.000 subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim menggariskan, uang pengganti tersebut sesuai dengan yang dipergunakan Binahati dan yang diserahkan ke orang lain atas perintah Binahati. Akibat perbuatan Binahati dkk negara mengalami kerugian Rp 3.764.798.238 sebagaimana hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 11 Maret 2011.
ADVERTISEMENT
Perkara korupsi dana bencana Binahati ini disidik, didakwa, dan dituntut KPK. Boleh dibilang, ini-lah perkara pertama yang ditangani KPK terkait dengan dana bencana.‎
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi Medan, rupanya vonis Binahati lebih ringan. Pada Kamis, 27 Oktober 2011, majelis hakim banding 'hanya' menghukum Binahati dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan, denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 2.644.500.000 subsider 2 tahun penjara.
KPK mengajukan kasasi ke MA. Kamis, 22 Maret 2012, majelis kasasi memutuskan dan menghukum Binahati dengan pidana 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan, dan pidana uang pengganti Rp 2.664.500.000 subsider 3 tahun penjara. Putusan ini sebagaimana tertuang dalam salinan putusan atas nama Binahati No.356 K/PID.SUS/2012.
ADVERTISEMENT
Apes bagi Binahati. Polres Nias menetapkan Binahati sebagai tersangka dugaan korupsi penyertaan modal Pemkab Nias sebesar Rp 6 miliar ke PT Riau Airlines pada 2007. Jumat, 9 Maret 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan memvonis Binahati dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.
Pidana Mati Korupsi Bencana, Kapan?‎
Ilustrasi hukuman mati. (Foto: ArtWithTammy via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukuman mati. (Foto: ArtWithTammy via Pixabay)
Sebelum berbicara perkara, kalau melihat berbagai bencana alam di atas, maka hanya ada satu yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai 'bencana alam nasional': gempa dan tsunami Aceh 2004. Status bencana nasional tersebut disematkan berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 112 Tahun 2004 yang ditandatangani Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 27 Desember 2004.
‎Berdasarkan data pemerintah dan BNPB, penetapan bencana nasional tersebut karena beberapa alasan. Di antaranya 180.000 korban jiwa yang tewas dan hilang, kerugian lebih Rp 45 triliun, dampak bencana tidak hanya dirasakan masyarakat Aceh, hingga pemerintah kabupaten/kota/provinsi tidak mampu mengatasi kerusakan dan dampak yang terjadi.
ADVERTISEMENT
‎Para pembaca yang budiman. Contoh putusan perkara korupsi yang saya sebutkan di atas, sebagian besar terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Kita juga bisa melihat keseluruhan yang sudah divonis tersebut tidak ada hukuman pidana mati.
Selain itu sebelumnya, JPU yang menangani setiap perkara pun tidak menuntut pelakunya dengan tuntutan pidana mati.
Hakikatnya ketentuan pidana mati untuk pelaku korupsi sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Bunyinya: 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) itu tertuang bahwa keadaan tertentu untuk pemberatan dengan hukuman mati bagi pelaku korupsi apabila tindak pidana dilakukan dalam empat kondisi. Pertama, pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Kedua, pada waktu terjadi bencana alam nasional. Ketiga, sebagai pengulangan tipikor. Atau, keempat, pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
ADVERTISEMENT
Pada bagian akhir, sebagai penulis saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini sebenarnya ingin memberikan pesan. Agar siapa pun itu tidak melakukan korupsi atau ingin dan mencoba melakukan korupsi dalam delik apapun terkait dengan dana bencana alam, penggunaannya, proyek rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan untuk penggalangan dana bencana. Entah yang berstatus bencana alam daerah maupun nasional.
Toh kalaupun ada yang masih melakukan, maka penegak hukum yang menangani kasus atau perkaranya sebaiknya memberikan tuntutan maksimal. Majelis hakim pun baiknya mempertimbangkan vonis pidana maksimal. Karena perbuatan korupsi terkait bencana alam tersebut, bukan saja merugikan negara dan masyarakat. Tetapi juga melanggar dan merusak nilai kemanusiaan dalam diri pelaku dan korban bencana alam.
ADVERTISEMENT
Seandainya masih tetap ada pelaku korupsi yang melakukan perbuatan khususnya saat terjadi bencana alam nasional, maka pidana mati mestinya (dipertimbangkan untuk) dijatuhkan.