Pejuang atau Pecundang, Silang Makna di Tubuh KPK

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 23:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Merah Putih KPK. Foto: Sabir Laluhu.
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Merah Putih KPK. Foto: Sabir Laluhu.
ADVERTISEMENT
GELOMBANG aksi mahasiswa sepanjang September 2019 terjadi di seantero Indonesia. Bukan itu saja, massa aksi juga terdiri atas para aktivis, para buruh, para siswa SMK, hingga masyarakat biasa. Tidak sedikit yang menjadi korban. Ada yang ditangkap dengan di antaranya salah sasaran, ditangkap hingga dibawa ke pengadilan, dan ada pula korban nyawa.
ADVERTISEMENT
Kala itu ada sejumlah isu yang disuarakan. Satu di antaranya menghentikan pembahasan dan revisi atas Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang dilakukan DPR bersama pemerintah. Sorotan kamera dan tulisan para jurnalis mengabadikan setiap momen tanpa celah. Jurnalisme warga pun tidak ketinggalan.
Para wakil rakyat yang terhormat kukuh. Pembahasan rancangan undang-undang (RUU) KPK jalan terus, bahkan disahkan saat rapat paripurna DPR, hanya dalam hitungan hari. Pertemuan beragam kepentingan begitu tampak dalam proses ini. Selasa, 17 September 2019 jelas menjadi pengingat bagi setiap anak negeri. Satu bulan setelahnya, Kamis, 17 Oktober 2019, UU Nomor 19 Tahun 2020 alias UU baru KPK berlaku meski tanda tangan Presiden Joko Widodo tidak dibubuhi.
ADVERTISEMENT
Yang tidak boleh dilupakan, tiga hari sebelum DPR mengesahkan RUU KPK menjadi UU, DPR melalui Komisi III memilih lima orang pimpinan KPK periode 2019-2023. Lima orang tersebut seperti yang kita lihat saat ini. Para wakil rakyat juga tidak bergeming, meski mendapat protes dan kritik dari berbagai kalangan termasuk para guru besar dan tokoh bangsa ihwal calon pimpinan yang memiliki rekam jejak buruk. Semua kritik dan protes seperti angin lalu.
Ilustrasi gedung KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Satu tahun setelah pengesahan UU baru KPK dan pemilihan lima pimpinan KPK oleh DPR, perjalanan lembaga antikorupsi rasanya tidak bagus-bagus amat. Gejolak di internal Komisi juga kian terasa. Ada satu orang pimpinan KPK cenderung lebih dominan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan. Rekrutmen pegawai dan pejabat internal dilakukan secara tertutup, hanya dibuka ketika telah sampai di ujung dan ketika nama-nama telah terpilih. Loyalitas kini seolah ditujukan kepada sosok orang, bukan kepada lembaga, pemberantasan korupsi, rakyat Indonesia yang menggaji mereka, dan merah putih. Padahal, jauh-jauh hari atau sebelum berlakunya UU baru KPK dan terpilihnya lima pimpinan periode 2019-2023, loyalitas setiap insan KPK bukan kepada sosok perorangan. Dan, last but not least, 34 pegawai KPK mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
September dan Oktober seolah menjadi dua bulan 'penanda' bagi internal KPK. Sedikit menyegarkan ingatan ke delapan tahun lalu. Oktober 2012, terjadi 'gesekan' antara KPK dengan Polri karena KPK menangani kasus dugaan korupsi pengadaan simulator kemudi roda dua dan roda empat di Korlantas Mabes Polri tahun anggaran 2010 dan 2011. Ekses dari 'gesekan' ini, belasan penyidik KPK yang dipekerjakan atau berasal dari Polri memilih menanggalkan status sebagai perwira Polri dan memilih menjadi pegawai tetap KPK.
Pemukul Gong
Pekan pertama hingga awal pekan ketiga September 2020 rasanya kondisi KPK biasa-biasa saja jika dilihat dari luar. Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 8 Februari 1983 masih tetap memperbarui unggahan di akun Instagram-nya dan menuangkan isi pikirannya melalui ciutan di akun Twitter-nya. Isinya cenderung puitis. Dalam satu postingan di Instagram, dia memajang foto dan kutipan pernyataan Buya Hamka berlatar hitam. Bunyinya, "Kalau hidup sekadar hidup, BABI DI HUTAN JUGA HIDUP. Kalau bekerja sekadar bekerja, KERA JUGA BEKERJA." Gambar lainnya, dia memajang foto Gedung Merah Putih KPK yang diambil dari kejauhan disertai caption "foto dari seberang..". Netizen dengan nama akun Instagram @giri.suprapdiono berkomentar, "Kalau dari gerakan foto..terkesan menjauh .... meninggalkan."
ADVERTISEMENT
Di akun Twitter-nya, pria kelahiran Padang itu mencuitkan, "Setahun satu hari.. kita jadi saksi.. harapan hendak diinjak mati.." Cuitan ini dilansir pukul 22.44 WIB pada Jumat, 18 September 2020. Dua hari berselang, pukul 11.43 WIB, dia mencuitkan bahwa suratnya sudah selesai tapi remuk redamnya tak kunjung usai, disertai emoticon tertunduk.
"minggu siang berawan menjelang hujan badai kecil memaksa putik-putik buah runtuh menggapai tanah jemuran kering belum suara gemericik air pada batu seperti mendengung basah pada kayu api yang urung menyala..," katanya.
Berikutnya pukul 15.32 WIB pada Rabu, 23 September, dia masih menumpahkan isi pikiran dan hatinya di akun Twitter-nya. Bunyinya, "Tentang kata-kata ** yang dipegang dari manusia adalah kata-katanya.. begitu katanya.. sehingga begitu kita tahu ada yang bahkan tidak menghargai dan mengingat kata-katanya sendiri mungkin tak begitu penting juga bagi kita meletakkannya sebagai kata-kata yang penting diingat."
ADVERTISEMENT
Pria ini tidak lain adalah Febri Diansyah. Mantan juru bicara KPK sekaligus Kepala Biro Humas KPK kala itu. Pemilik akun Instagram @febridiansyah.id dan akun Twitter @febridiansyah. Postingan di akun Instagram dan akun Twitter Febri semakin menambah keyakinan para jurnalis termasuk penulis akan adanya gelombang pengunduran diri para pegawai KPK termasuk yang merupakan pegawai tetap. Jangan lupa pula Febri merupakan pegawai tetap KPK yang masuk sejak Oktober 2013.
Sebenarnya sejak Agustus hingga awal September 2020, para jurnalis yang biasa meliput di gedung KPK memperoleh informasi atas pengunduran sejumlah pegawai KPK. Tapi informasi itu masih samar-samar. Karenanya bagi penulis, Febri ibarat seorang 'pemukul gong'. Tapi, dia bukan pemukul gong biasa seperti di acara-acara atau kegiatan-kegiatan resmi dan seremonial. Musababnya, bunyi yang dihasilkan dari gong yang dipukul Febri adalah informasi awal gelombang mundurnya para pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Sore jelang malam, Kamis, 24 September 2020, Febri Diansyah muncul di lobi Gedung Merah Putih KPK. Terlihat Febri mengenakan kemeja hitam lengan panjang dengan lengan kemeja sedikit digulung, masker hitam, dan celana coklat. Sontak para jurnalis yang masih ada langsung menghampirinya. Febri melempar senyum meski tertutupi masker.
Febri menyatakan, telah melayangkan surat pengunduran diri sebagai pegawai KPK ke Biro SDM. Sebelum memutuskan pengunduran diri dan melayangkan surat tersebut, dia lebih dulu berdiskusi dengan teman-teman di internal maupun eksternal KPK. Isi surat tadi di antaranya alasan dia mengundurkan diri.
"Di surat itu juga saya tuangkan, bagi saya dan beberapa teman yang sudah berdiskusi cukup panjang akhir-akhir ini, kondisi KPK memang sudah berubah," ujar Febri kepada para jurnalis di Gedung Merah Putih KPK.
ADVERTISEMENT
Mantan pegawai fungsional Direktorat Gratifikasi KPK ini menceritakan, dia bersama sejumlah insan KPK tetap memilih bertahan di KPK saat RUU KPK disahkan menjadi UU oleh DPR pada 17 September 2019. 'Kami', begitu Febri membahasakan, tidak langsung meninggalkan KPK saat itu. 'Kami' tetap bertahan dan berupaya untuk bisa berbuat sesuatu agar tetap bisa berkontribusi untuk pemberantasan korupsi.
"Secara pribadi saya melihat rasanya ruang bagi saya untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi akan lebih signifikan kalau saya berada di luar KPK, tetap memperjuangkan dan ikut advokasi pemberantasan korupsi. Karena itu, saya menentukan pilihan ini. Meskipun tidak mudah, meskipun sangat berat, saya ajukan pengunduran diri. Dengan segala kecintaan saya pada KPK, saya pamit," tegasnya.
Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 24 September 2020. Foto: Twitter @febridiansyah.
Sebelum dan sehari setelah Febri menyampaikan keterangan tersebut, surat pengunduran dirinya tertanggal 18 September 2020 beredar di kalangan para jurnalis. Di dalam surat, Febri memohon maaf jika ada perbedaan pendapat atau ketersinggungan selama Febri di KPK. Febri menempatkannya sebagai hubungan pekerjaan yang profesional dan bukan persoalan pribadi.
ADVERTISEMENT
"Kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK. Setelah menjalani situasi baru tersebut selama sekitar sebelas bulan, saya memutuskan jalan ini, memilih untuk mengajukan pengunduran diri dari institusi yang sangat saya cintai, KPK," tutur Febri seperti tertuang dalam salinan suratnya.
Pejuang atau Kapitulasi?
Pernyataan Febri yang dimuat dan diberitakan berbagai media massa memantik beragam reaksi. Tentu bukan hanya dari pihak eksternal tapi juga internal KPK. Penulis mendapatkan informasi, ada beberapa orang internal KPK mencibir Febri dan sejumlah pegawai yang mundur. Di sisi berbeda, ada juga sejumlah pegawai KPK yang memahami sikap Febri dkk dan memberikan dukungan.
Seorang sumber internal KPK menyampaikan kepada penulis, bahwa di level pimpinan KPK terjadi pembelahan sikap. Bahkan cukup signifikan. Apalagi di era pimpinan periode 2019-2023, para pegawai tetap yang berhenti dan mundur dari KPK adalah jumlah yang terbanyak. Awalnya penulis tidak terlalu menggubris. Toh perbedaan sikap seperti itu sering kali terjadi. Tapi belakangan sikap itu menyeruak ke ranah publik setelah diberitakan media massa.
ADVERTISEMENT
"Pegawai tetap yang berhenti atau mundur dari KPK di periode sekarang atau tahun 2020 ini ada sekitar 90 persen dari jumlah total yang mundur. Angka ini paling banyak sepanjang sejarah KPK berdiri. Bahkan kemungkinan masih akan bertambah," ujar sumber tersebut.
Dua hari setelah pernyataan Febri, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mentransmisikan pesan singkat via WhatsApp berisi pernyataan Ghufron yang menjawab sebuah pertanyaan. Pesan ini pun penulis terima langsung dari Ghufron pukul 07.50 WIB pada Sabtu, 26 September 2020. Di awal pesan singkat, Ghufron menyertakan sebuah pertanyaan yang kurang lebih berbunyi bagaimana Ghufron menanggapi banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri? Sepertinya, pertanyaan itu berasal dari seorang jurnalis.
"Kami menyampaikan terima kasih atas dedikasi mereka yang telah menghabiskan waktunya membesarkan KPK. Semoga sukses untuk waktu-waktu ke depan bagi mereka semua, dan tentu kami menghormati keputusan pribadi pegawai KPK," ujar Ghufron.
ADVERTISEMENT
Menurut mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini, atas pengunduran diri sejumlah pegawai KPK maka selanjutnya secara internal pihaknya akan mengevaluasi sistem kepegawaian KPK. Pengunduran diri sejumlah pegawai tersebut, tutur Ghufron, sekaligus juga sebagai ujian. Musababnya ujar Ghufron, dengan apa pun alasannya maka yang perlu diingat KPK bukanlah tempat santai.
"KPK adalah candradimuka bagi para pejuang antikorupsi. Kami tak bangga kepada mereka yang masuk dengan segala kelebihannya. Tapi kami sangat hormat dan berbangga kepada mereka yang bertahan di dalam KPK bersama kami kini dengan segala kekurangan KPK saat ini," paparnya.
Ghufron lantas menyampaikan tamsil seorang pejuang, KPK sebagai kancah perjuangan, cinta, dan seorang pecinta. Dalam pernyataan, Ghufron seolah ingin menggambarkan bahwa seorang pejuang sekaligus pencinta KPK tidak akan meninggalkan KPK. Paling tidak, rasanya pernyataan Ghufron ingin menyindir Febri.
ADVERTISEMENT
"Pejuang itu tak akan meninggalkan gelanggang sebelum kemenangan diraih walau kancah perjuangan antikorupsi kini berubah seperti apa pun. Selamat kepada mereka yang masih mampu setia mencintai KPK sebab perubahan itu adalah kepastian yang tak bisa dihindari. Hanya pecinta sejati yang mampu bertahan dalam perubahan apa pun. Cinta itu bukan saja menikmati kesenangan bersama cinta itu dalam segala adanya," ungkap Ghufron.
Bila dilihat dari pernyataan Ghufron itu, jelas Ghufron ingin menunjukkan bahwa KPK adalah medan perjuangan antikorupsi. Dengan sendirinya, makna pernyataan Ghufron yakni, seseorang yang mundur dari KPK berarti mundur dari perjuangan, serta seorang pejuang tidak akan mundur atau melakukan kapitulasi sebelum kemenangan diraih. Tapi, menurut penulis, menjadikan KPK sebagai satu-satunya palagan perjuangan antikorupsi juga terlalu naif.
ADVERTISEMENT
Apa yang diutarakan sumber internal KPK kepada penulis rupanya terafirmasi dengan sendirinya. Adalah Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang mentransmisikan pesan singkat via WhatsApp ke para jurnalis. Nawawi menanggapi pernyataan Ghufron yang mengomentari pengunduran diri Febri Diansyah dan para pegawai lainnya.
"Dalam kesamaran keremangan ruangan, tak akan nampak jelas bayangan yang beranjak pergi atau tetap bertahan, terlebih membedakan yang mana pejuang dan yang mana pecundang. Jadi mungkin sebaiknya, hargailah yang pergi tanpa harus menyebut yang bertahan sebagai pejuang," ujar Nawawi melalui pesan singkat kepada para jurnalis pada Minggu, 27 September 2020.
Penulis lantas mengembalikan ingatan pada akhir Januari hingga Maret 2015. Gejolak internal KPK pun terjadi kala itu. Tiga peristiwa yang menjadi penunjuk. Ketiganya yaitu penetapan yang dilakukan KPK terhadap seorang jenderal polisi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi, penetapan dua orang pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Polri, dan pengangkatan dua orang (dari total tiga orang) sebagai pelaksana tugas pimpinan KPK. Sepanjang Februari hingga Maret 2015, ada puluhan poster yang tertempel di dinding gedung lama KPK. Poster tersebut sengaja ditempelkan para pegawai. Satu poster di antaranya berisi tulisan “Dari dulu keluarga kita adalah keluarga pejuang”.
ADVERTISEMENT
Sayangnya konteks poster-poster di tahun 2015 itu berbeda bahkan sangat jauh berbeda dengan pernyataan Nurul Ghufron. Berbagai poster di Februari hingga Maret 2015 adalah bentuk dukungan atas langkah penegakan hukum yang dilakukan KPK, dukungan moril kepada dua pimpinan KPK, dan protes atas terpilihnya dua pelaksana tugas pimpinan KPK. Belakangan, poster-poster itu dicopot para pegawai setelah para pegawai melihat dan menilai sendiri sikap dan tindakan dua pelaksana tugas pimpinan KPK.
Salah satu poster (bagian kanan bawah) pada 3 Maret 2015, di atas kain yang ditandatangani. Foto: Liputan6.com/Herman Zakharia.
Pernyataan Febri bahwa KPK telah berubah memang benar adanya. Secara samar-samar dan kasat mata dapat disaksikan dan dirasakan para jurnalis yang biasa meliput di Gedung Merah Putih KPK. Beberapa pegawai pun turut menyampaikan ihwal yang sama ketika berjumpa dan berbincang dengan beberapa jurnalis. Bahkan bisa dilihat publik secara jelas.
ADVERTISEMENT
Satu kasus yang ditangani KPK bisa menjadi contoh gamblang. Kasus itu yakni dugaan suap upaya pengurusan persetujuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk permohonan penggantian antar waktu (PAW) yang diajukan PDIP untuk caleg PDIP Harun Masiku. Siapa pun tentu masih ingat, KPK gagal memasang plang segel di ruangan yang ada di dalam Gedung DPP PDIP pada Kamis pagi, 9 Januari 2020. Upaya itu terjadi usai tim KPK menangkap Wahyu Setiawan selaku komisioner KPU, kader PDIP Saiful Bahri, dkk sehari sebelumnya. Yang harus diingat pula, tim KPK gagal menangkap Harun Masiku meski tim telah berada di sekitaran kompleks PTIK Polri usai mendeteksi lokasi terakhir Harun di situ.
Kasus dan kejadian tersebut beririsan dengan dua sosok. Masing-masing Kompol Rossa Purbo Bekti dan jaksa Yadyn. Rossa adalah penyidik yang ditugaskan atau diperbantukan menangani kasus tersebut saat operasi tangkap tangan (OTT). Yadyn yang bergelar doktor tindak pidana pencucian uang menjadi jaksa peneliti/analisis sejak awal penyelidikan hingga berujungnya OTT.
ADVERTISEMENT
Rossa dan Yadyn menjadi korban atau boleh dibilang tumbal dari OTT tersebut. Rossa sempat dikembalikan ke Mabes Polri oleh pimpinan KPK pada awal Februari 2020. Belakangan KPK kembali mempekerjakan Rossa sebagai penyidik sejak awal Mei 2020. Sedangkan Yadyn ditarik Kejaksaan pada akhir Januari 2020. Sumber internal KPK menyebutkan, kala itu Yadyn bukan ditarik atas inisiatif Kejagung, tapi dikembalikan KPK.
"Ada 'tangan' di dalam KPK yang tidak suka dengan Bang Yadyn atas hasil analisis dan sarannya terkait dengan OTT terhadap Wahyu Setiawan dkk. Jadinya dia dikembalikan ke Kejaksaan," ujar sumber internal KPK kepada penulis awal Februari 2020.
Dalam konteks tulisan ini, penulis tidak ingin terlalu jauh mengulas ihwal pengembalian Rossa maupun Yadyn. Toh bantahan dan pernyataan resmi KPK sudah pernah disampaikan. Penulis lebih ingin menghadirkan kembali kata 'perjuangan'.
ADVERTISEMENT
Secara efektif, masa akhir Yadyn bertugas di KPK yakni Jumat, 31 Januari 2020. Dia mulai aktif di Kejagung pada Senin, 3 Februari 2020. Jumat itu, Yadyn berjumpa dan meluangkan waktu berbincang dengan para jurnalis baik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta maupun di Gedung Merah Putih KPK. Yadyn mengatakan, dia sangat mencintai KPK. Baginya, berada di KPK bukanlah sekadar bekerja sebagai seorang jaksa, tapi juga berjuang untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam aspek pemberantasan korupsi.
"Pada prinsipnya, saya secara pribadi sangat sedih meninggalkan lembaga ini, dengan nilai-nilai perjuangannya KPK yang ada di sini, bagaimana kita membangun nilai-nilai integritas. Di sini kami berjuang. Tapi penting untuk kita kedepankan bahwasanya kita berjuang bukan untuk orang-orang, bukan untuk kepentingan politik, tapi murni untuk kepentingan merah putih," tegas Yadyn.
ADVERTISEMENT
Penulis sempat bertemu dengan Yadyn pada Jumat malam itu, sebelum langkah terakhirnya lenyap bersama bayangannya dari kompleks gedung. Kami berjabat tangan. Penulis sempat menanyakan bagaimana tanggapannya menjadi 'tumbal' dari OTT terhadap Wahyu Setiawan dkk dan kepemimpinan pimpinan KPK periode 2019-2023. Yadyn tersenyum. Dia tampak tetap tegar. Dia mengatakan, di manapun ditugaskan maka semua menjadi ladang perjuangan untuk merah putih, Indonesia. Baginya bekerja dan berjuang tidak perlu berharap pujian dan tepuk tangan orang.
"Kita berbuat saja, biar Allah subhanahu wa ta'ala yang menilai dan membalasnya," ujar Yadyn dengan tersenyum.
Kita kembali ke Febri. Beberapa bulan sebelumnya atau tepat Kamis, 26 Desember 2019, Febri lebih dulu mundur dan menanggalkan jabatannya sebagai Juru Bicara KPK. Kala itu Febri beralasan ingin memilih fokus menjalankan tugasnya sebagai Kepala Biro Humas. Sebagai catatan, keputusan ini diambil Febri setelah enam hari pimpinan KPK periode 2019-2023 resmi bertugas.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, jika seorang juru bicara KPK mundur dari posisinya kemudian juga mundur dari posisi Kepala Biro Humas dan keluar dari KPK, maka benar-benar 'wajah' KPK dari dalam dan luar sangat bopeng. Apalagi, dua posisi itu punya hubungan erat dengan para jurnalis dan media massa. Jauh sebelumnya, penulis mendapatkan berbagai informasi dan cerita dari internal KPK bahwa para insan KPK termasuk Febri sempat berupaya maksimal menjaga rumah kedua, yang disebut sejak lama sebagai 'surau' agar tidak roboh. Tapi, perubahan drastis yang terjadi membuat 'surau' itu seperti 'hancur atau dihancurkan dari dalam'.
Juru Netral
Pengunduran diri para pegawai KPK termasuk Febri Diansyah yang menuai sorotan dan kritik publik serta menimbulkan silang pendapat antara Nurul Ghufron dengan Nawawi Pomolango rupanya menjadi pembahasan di internal KPK selama beberapa hari. Para pimpinan pun menggelar rapat. Rapat juga dihadiri Sekretaris Jenderal KPK dan jajaran Biro SDM. Satu kesimpulan dan keputusan diambil, harus digelar konferensi pers resmi KPK terkait dengan pengunduran diri puluhan pegawai KPK yang disatukan dengan perkembangan pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai aparatur sipil negara (ASN). Nama pimpinan yang disodorkan untuk menyampaikan keterangan adalah Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
ADVERTISEMENT
Konferensi pers dihelat KPK pada Jumat malam, 2 Oktober 2020. Tiga orang hadir dalam ruangan yaitu Alexander Marwata, Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa dan pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri. Ada tiga poin utama yang disampaikan Alexander. Satu di antaranya terkait data kepegawaian KPK dari tahun 2008 hingga 1 Oktober 2020.
"Jumlah pegawai KPK yang telah mengundurkan diri sebanyak 288 pegawai," kata Alexander saat konferensi pers.
Mantan hakim adhoc Pengadilan Tipikor Jakarta ini mengungkapkan, paling banyak pegawai KPK mundur pada tahun 2016 dengan jumlah 46 orang. Angka ini terdiri atas pegawai tetap 16 orang dan pegawai tidak tetap (PTT) 30 orang. Di urutan kedua terbanyak yakni pada tahun 2015 dengan jumlah 37 orang dan urutan ketiga yaitu pada tahun 2020 sejumlah 34 orang.
ADVERTISEMENT
"Tahun 2020, 34 orang. Status kepegawaian 29 orang pegawai tetap, 5 orang pegawai tidak tetap," ujarnya.
Alexander mengungkapkan, jumlah pegawai yang mundur dan keluar dari KPK itu tidak termasuk pimpinan, penasihat, PNS yang dipekerjakan yang kembali ke instansi asal, pensiun, meninggal dunia, dan pegawai yang berhenti tidak dengan hormat. Dia mengatakan, ada beragam alasan para pegawai keluar dari KPK sepanjang tahun 2008 hingga 1 Oktober 2020.
Khusus untuk tahun 2020, Alexander membeberkan, berdasarkan data yang ada berupa surat permohonan pengunduran diri para pegawai ada delapan alasan. Pertama, berakhir masa perjanjian kerja waktu terbatas (PKWT) dan tidak diperpanjang KPK 1 orang. Kedua, terkena kasus berupa etik, disiplin pegawai atau hukum 2 orang. Ketiga, alasan keluarga 3 orang. Keempat, kondisi kurang kondusif karena pandemi COVID-19 ada 1 orang. Kelima, mengelola usaha pribadi 2 orang. Keenam, menikah sesama pegawai KPK 2 orang. Ketujuh, pengembangan karier dan/atau mendapatkan pekerjaan baru di tempat baru 21 orang.
ADVERTISEMENT
"(Alasan) kondisi politik dan hukum KPK 2 orang," ungkapnya.
Dia mengklaim, KPK maupun pimpinan KPK memandang bahwa pegawai adalah aset yang menjadi kekuatan KPK. Meski begitu, pihaknya tentu menghargai pilihan yang dibuat para pegawai untuk keluar dari KPK dengan alasan-alasan yang ada. Di bagian akhir pernyataan, Alexander menyampaikan harapan bagi para alumni KPK tersebut.
"Kami juga mendorong para alumni KPK untuk dapat menjadi agen-agen penebar semangat antikorupsi di tempat baru tersebut sehingga bisa bersama-sama dengan KPK terus berupaya memberantas korupsi di negeri ini," ucap Alexander.
Tampilnya Alexander sebagai penyampai informasi saat konferensi pers ini bisa jadi upaya KPK lebih khusus pimpinan KPK untuk menetralisir keadaan. Ditambah lagi, Alexander adalah pimpinan KPK dua periode dan sudah berinteraksi lama dengan para pegawai KPK yang mundur pada lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin nama Nurul Ghufron atau Nawawi Pomolango yang disorongkan, karena keduanya sempat saling 'berhadap-hadapan' dengan perbedaan pendapat. Tidak mungkin pula Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri yang disodorkan. Apalagi Firli baru saja selesai disidang etik dan putusannya telah dibacakan Dewan Pengawas KPK pada Kamis, 24 September 2020.
Informasi yang penulis peroleh kemudian penulis konfirmasi ke Alexander Marwata. Alexander menyatakan, KPK memiliki alasan pelaksanaan konferensi pers secara khusus tentang kepegawaian KPK termasuk tentang 34 pegawai KPK yang mengundurkan diri dan keluar dari KPK. Maksud pelaksanaannya, kata dia, supaya tidak simpang siur beritanya karena hanya bersumber dari satu arah yang tidak jelas datanya. Di luar KPK, tutur Alexander, berkembang berita seolah-olah banyak pegawai KPK yang keluar akibat dari perubahan UU KPK atau politik hukum pemberantasan korupsi yang berubah.
ADVERTISEMENT
"Ternyata kan banyak alasan pegawai keluar dari KPK. Paling banyak alasan yang disampaikan karena ingin mengembangkan karier di luar. Dan sejak kepemimpinan jilid 4 hampir tiap bulan selalu ada pegawai yang mengajukan pengunduran diri," ujar Alexander saat dihubungi penulis, di Jakarta, pada Senin sore, 5 Oktober 2020.
Dia mengungkapkan, sebelum konferensi pers dilaksanakan memang pimpinan KPK bersama juru bicara melakukan rapat dan membicarakan ihwal materinya. Selain itu, Alexander menuturkan, pimpinan KPK juga meminta Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa untuk menyiapkan data para pegawai yang mengundurkan diri.
"Kenapa saya yang bicara (saat konferensi pers), karena saya yang mengalami periode sebelum dan sesudah perubahan UU KPK. Sebelum UU KPK berubah juga banyak pegawai yang mengundurkan diri," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Alexander menambahkan, pimpinan KPK tetap menghargai keputusan para pegawai KPK mengundurkan diri dan keluar dari KPK termasuk dengan alasan pengembangan karier. KPK, ujar dia, tetap berharap mereka yang telah menjadi alumni KPK untuk menjadi pelaku pemberantasan korupsi.
"Sekali lagi pimpinan menghormati keputusan pegawai untuk mengembangkan karier di luar KPK. Pimpinan berharap mereka dapat menjadi agen pemberantasan korupsi di tempat kerja yang baru," katanya.
Sebenarnya bukan kali ini saja Alexander Marwata tampil sebagai 'juru netral' yang berupaya menetralisasi keadaan dan pernyataan yang berkembang di ruang publik. Paling tidak ada sedikitnya tiga kejadian sebelumnya Alexander tampil menjadi 'juru netral' yang penulis sodorkan.
Pertama, saat Dewan Pengawas (Dewas) KPK masih memeriksa dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri atas penggunaan helikopter milik perusahaan swasta saat Firli melakukan perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja pada Sabtu, 20 Juni 2020. Saat tindakan Firli itu ramai disorot berbagai kalangan, Alexander Marwata menyampaikan pernyataan usai acara pembagian masker di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat pada Jumat, 26 Juni 2020.
Alexander Marwata saat konferensi pers, Jumat, 2 Oktober 2020. Foto: Humas KPK.
Alexander mengungkapkan, pada Sabtu itu Firli melakukan perjalanan setelah mengambil cuti sehari. Kedatangan Firli kala itu untuk kepentingan ziarah ke makam orang tua Firli. Pimpinan KPK lain, ujar Alexander, telah mengkonfirmasi ke Firli terkait dengan penggunaan helikopter tersebut. Kepada pimpinan lain, Firli mengatakan bahwa Firli tidak mungkin menggunakan jalur darat dengan mobil pulang pergi karena cuti hanya sehari. Selain itu, biaya penyewaan helikopter berasal dari kocek pribadi Firli.
ADVERTISEMENT
"Kalau PP (pergi-pulang) kan lebih sehari, padahal cutinya sehari. Makanya menyewa helikopter itu, bayar kok dia bilang helikopter. Terlepas, ya apa pun pendapat masyarakat, tapi dari sisi efisiensi waktu itu yang dia pertimbangkan, karena cuti cuma satu hari," ungkap Alexander.
Kedua, Alexander 'menengahi' polemik harus mundur atau tidaknya Firli sebagai perwira Polri setelah terpilih dan dilantik sebagai pimpinan KPK. Menurut Alexander, Firli tidak perlu mundur sebagai anggota Polri. Firli, kata Alexander, tentu akan dinonaktifkan sementara sebagai anggota Polri dan tidak memegang jabatan struktural di institusi asal. Pernyataan ini disampaikan Alexander pada Kamis, 28 November 2019.
Ketiga, saat masih berlangsung proses uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK periode 2019-2023 di DPR. Di hadapan para pimpinan dan anggota Komisi III DPR periode 2014-2019, Alexander menyatakan, tindakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Thony Saut Situmorang yang mengumumkan pelanggaran etik Firli Bahuri saat bertugas sebagai Deputi Bidang Penindakan KPK sebagai tindakan yang tidak sah. Konferensi pers dihelat Saut bersama Mohammad Tsani Annafari selaku Penasihat KPK didampingi Febri Diansyah selaku Juru Bicara KPK pada Rabu, 11 September 2019.
ADVERTISEMENT
Menurut Alexander, KPK mengembalikan Firli ke Polri tanpa catatan dan diberhentikan dengan hormat sesuai dengan surat yang ditandatangani lima pimpinan KPK periode 2015-2019. Karenanya Alexander mengaku kaget baru mengetahui konferensi pers dihelat Saut setelah membaca berita media massa. Alexander mengungkapkan, sebelumnya memang ada surat dari Mohammad Tsani Annafari ke pimpinan KPK.
Di dalam surat, kata Alexander, Tsani meminta pimpinan KPK membuka ke publik hasil pengawasan internal bahwa ada pelanggaran etik yang dilakukan Firli. Alexander mengatakan, dia bersama Agus Rahardjo selaku Ketua KPK periode 2015-2019 dan Basaria Panjaitan selaku Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 menyatakan kasus tersebut dihentikan.
"Saya harus bertenggang rasa juga terhadap tindakan pimpinan yang lain. Tapi prinsipnya seperti itu, pengambilan keputusan seperti itu, tiga pimpinan dianggap kolektif kolegial. Kalau tiga menyatakan berhenti dan satu menyatakan terus jalan, ya saya pikir enggak sah juga, menurut pandangan saya," ujar Alexander saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan capim KPK, di ruang rapat Komisi III DPR pada Kamis, 12 September 2019.
ADVERTISEMENT
Memang tidak salah juga jika Alexander menjadi 'juru netral'. Tapi dengan begitu, telah menunjukkan ada yang salah pada pola komunikasi publik pimpinan KPK dan pola komunikasi pimpinan dengan pegawai. Perbedaan pandangan dan sikap pimpinan atas pengunduran diri dan keluarnya para pegawai KPK di era Firli Bahuri dkk pun menjadi pekerjaan rumah bagi para pimpinan untuk memperbaiki komunikasi antar-mereka maupun komunikasi antara pimpinan dengan para pegawai.
Selain itu, perbedaan pandangan juga dapat menunjukkan siapa pimpinan yang dekat dan/atau acap kali diajak berdiskusi oleh para pegawai termasuk para pegawai yang telah mengundurkan diri. Karenanya harmonisasi dan sinergi internal KPK harus diperbaiki pula. Harmonisasi dan sinergi bukan semata diucapkan tapi diwujudkan dalam tindakan. Tindakan dan keputusan pimpinan pun seyogyanya tidak menjadikan KPK seolah-olah sebagai cabang dari lembaga atau institusi tertentu.
ADVERTISEMENT
Reaksi Eksternal
Mantan wakil ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, di masa pimpinan KPK periode 2015-2019 memang ada pegawai KPK yang mengundurkan diri dan keluar dari KPK. Tapi jumlahnya tidak sebanyak tahun 2020 di era pimpinan periode 2019-2023. Pada periode 2015-2019, ujar Syarif, pegawai keluar biasanya hanya diakibatkan oleh empat hal.
"(1) Kembali ke instansi asal (pegawai tidak tetap). (2) Memilih melanjutkan sekolah ke luar negeri. (3) Mendapatkan pekerjaan ditempat yang lain. (4) Alasan keluarga, seperti suami/istri pindah tugas dan lain-lain," kata Syarif kepada penulis, di Jakarta pada Selasa sore, 6 Oktober 2020.
Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform (Kemitraan) in Indonesia ini menceritakan, banyak pegawai yang akan keluar KPK (termasuk di antara 34 pegawai KPK) menghubunginya untuk konsultasi. Di antaranya, ada yang meminta rekomendasi dari Syarif untuk mencari kerja di tempat lain. Di sisi lain, Syarif tidak mau menyampaikan siapa di antara para pegawai yang akan keluar yang menghubungi Syarif
ADVERTISEMENT
"Saya selalu jawab bertahan saja di KPK karena KPK butuh pegawai tetap. KPK tidak bisa kuat kalau didominasi ‘pegawai pinjaman’ dari instansi lain. Semua lembaga antikorupsi di dunia tidak menggantungkan lembaganya pada ‘pegawai pinjaman’ dari instansi lain. Oleh karena itu saya selalu bilang bertahan saja di KPK karena KPK membutuhkan mereka," tuturnya.
Syarif mengungkapkan, selama ini dia belum pernah memberikan rekomendasi kalau ada pegawai KPK yang mau keluar dan mau bekerja ke tempat lain. Kecuali pegawai magang, maka Syarif selalu memberikan rekomendasi, itupun kalau mereka butuh. Dia mengatakan, ada beberapa pegawai KPK yang juga meminta rekomendasi ke Syarif ketika ingin melanjutkan pendidikan.
"Mereka sering juga minta rekomendasi untuk sekolah lanjut master dan doktor. Kalau permintaan seperti ini, saya selalu berikan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dia turut menyoroti perbedaan pendapat dua pimpinan KPK, Nurul Ghufron dengan Nawawi Pomolango menyikapi pengunduran diri dan keluarnya para pegawai KPK. Menurut Syarif, Perbedaan pendapat lumrah, tapi semua pihak juga harus menghargai pilihan pegawai KPK. Jika sang pegawai merasa bahwa kantor tempat kerjanya tidak sesuai lagi dengan cita-cita pengabdiannya, maka wajar bagi pegawai yang bersangkutan untuk meninggalkan KPK, namun hal ini perlu disayangkan.
"Saya berharap pimpinan KPK tetap mempertahankan KPK sebagai institusi negara yang terpercaya dan pegawai dapat mengembangkan diri sesuai dengan cita-cita luhur mereka untuk mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini," tegas Syarif.
Mantan ketua KPK Abraham Samad menilai, ada dua faktor utama yang mengakibatkan 34 pegawai KPK baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap yang keluar dari KPK terhitung hingga 1 Oktober 2020. Pertama, berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU baru KPK) yang merupakan hasil revisi atau perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2020 tentang KPK. Dengan UU baru itu, kata Abraham, menjadi satu di antara berbagai faktor KPK menjadi lumpuh, tidak bisa berbuat banyak dalam menjalankan pemberantasan korupsi, dan KPK kehilangan marwah.
ADVERTISEMENT
"KPK kehilangan marwah sebagai lembaga independen, sebagai lembaga yang mandiri untuk memberantas korupsi. Jadi (dengan UU baru KPK) segala kewenangan yang luar biasa itu diamputasi. Mungkin saya bilang, KPK itu sudah mati. Karena dia (KPK) tidak bisa berbuat apa-apa lagi, maka dia kehilangan marwahnya sebagai lembaga penegak hukum pemberantasan korupsi," tegas Abraham saat dihubungi penulis, di Jakarta pada Selasa siang, 6 Oktober 2020.
Oleh karena itu tutur Abraham, orang-orang yang memiliki idealisme dan merasa pejuang yang dulunya selalu gencar memberantas korupsi telah kehilangan ruang dalam pemberantasan korupsi akibat berlakunya UU baru KPK. Sehingga, orang-orang tersebut kemudian tidak mau bertahan dan tidak mau lagi berada di dalam KPK. Apalagi, keberadaan pimpinan KPK periode 2019-2023 cenderung tidak mendukung penguatan KPK dan pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang ditempuh, dia (pegawai) hengkang, dia keluar dari KPK agar bisa menemukan medan perjuangan lain untuk pemberantasan korupsi," ujarnya.
Faktor kedua, ungkap Abraham, pimpinan KPK periode 2019-2023 tidak mampu menjaga harmonisasi di dalam KPK. Ketidakmampuan itu karena pimpinan KPK tidak memberikan ketauladanan dan contoh serta tidak mampu menjadi role mode bagi seluruh insan KPK. Harusnya pimpinan KPK periode 2019-2023, kata dia, memberikan contoh yang positif berupa perilaku yang menjadi acuan bagi orang-orang di KPK.
"Itu tidak tampak sekarang di pimpinan. Sehingga para pegawai KPK kehilangan tokoh yang harus diteladani. Siapa nih yang harus dicontohi? Mereka (para pegawai) kehilangan itu," imbuhnya.
Abraham mengungkapkan, ada beberapa di antara para pegawai yang akan mengundurkan diri dan keluar dari KPK yang sempat menghubungi Abraham. Pegawai tersebut berkonsultasi dan meminta saran dari Abraham. Disinggung siapa nama beberapa pegawai yang menghubungi, Abraham menolak memberikan informasi. Yang pasti, beberapa pegawai itu menceritakan alasan keluar dari KPK sama seperti dua faktor yang disampaikan Abraham di atas.
ADVERTISEMENT
"Ada banyak yang hubungi saya. Tapi tidak bisa saya sampaikan namanya kan. Mereka sampaikan ya seperti yang saya bilang, terutama kehilangan sosok ketauladanan pimpinan," katanya.
Lebih lanjut, Abraham juga menyoroti perbedaan pendapat di level pimpinan KPK antara Nurul Ghufron dengan Nawawi ihwal pengunduran diri dan keluarnya para pegawai KPK. Menurut Abraham, perbedaan pendapat tersebut terjadi karena para pimpinan KPK tidak mampu menjaga harmonisasi di KPK serta para pimpinan tidak mampu memberikan ketauladanan dan contoh sebagai pimpinan yang punya integritas kuat kepada para pegawai KPK.
"Bukan soal siapa yang bertahan di dalam (KPK) itu pejuang dan siapa yang keluar itu pecundang. Bukan soal itu. Tapi pimpinan tidak memberikan contoh integritas kuat, tidak mampu memberikan ketauladanan," ungkap Abraham.
Mantan ketua KPK Abraham Samad. Foto: Dok. Sabir Laluhu.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, ICW dapat memahami jika banyak pegawai KPK yang pada akhirnya mengundurkan diri dari KPK. Musababnya, kata dia, kondisi kelembagaan KPK memang tidak seperti sedia kala. Di periode pimpinan KPK sebelumnya, menurut Kurnia, KPK banyak prestasi.
ADVERTISEMENT
Tapi, Kurnia menggariskan, prestasi tersebut berubah menjadi kontroversi sejak Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua KPK. Selain itu ada faktor lain para pegawai KPK mundur dan keluar dari KPK. Faktor tersebut yakni UU KPK yang baru dinilai telah berhasil menghancurkan kewenangan KPK.
“Jika saja orang yang terbukti melanggar kode etik tidak terpilih menjadi Pimpinan KPK dan UU KPK lama masih berlaku, sudah pasti tidak akan ada pegawai KPK yang mengundurkan diri,” ujar Kurnia melalui siaran pers di Jakarta pada Jumat, 25 September 2020, yang juga diterima penulis.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menilai, pengunduran pegawai KPK berjumlah sekitar 37 orang merupakan dinamika biasa dalam organisasi. Menurut dia, Komisi III tidak kaget dengan pengunduran diri tersebut. Di sisi lain, Arsul menyindir unsur masyarakat sipil yang pernah menyampaikan bahwa akan ada ratusan pegawai KPK yang mundur pasca UU baru KPK hasil revisi diberlakukan. Lihat artikel ini.
ADVERTISEMENT
“Dahulu malah ada kalangan masyarakat sipil pernah menyampaikan bahwa pasca UU KPK hasil revisi diberlakukan, maka, akan ada ratusan pegawai KPK yang mundur. Ternyata ini tidak kejadian apa yang digembar-gemborkan elemen masyarakat sipil tersebut,” ujar Arsul kepada jurnalis pada Jumat, 25 September 2020.
Wakil Ketua MPR ini membeberkan, meski begitu dia menghormati keputusan para pegawai KPK yang telah mengundurkan diri. Arsul mengklaim, Komisi III sebagai mitra kerja KPK meyakini bahwa KPK akan tetap mampu menjalankan mandatnya melakukan pemberantasan korupsi. Apalagi, kata Arsul, sebenarnya selama ini di KPK sudah tercipta prinsip no indespensable person atau tidak ada orang yang tidak bisa digantikan.
“Jadi kalau ada yang mundur tentu pimpinan KPK akan bisa mencari pengganti mereka melalui proses rekrutmen seperti yang selama ini sudah dijalankan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dari Fraksi Partai Golkar M Azis Syamsuddin menyatakan, pengunduran diri pegawai tidak semata terjadi di KPK. Pasalnya kata dia, di DPR juga ada banyak pegawai yang mengundurkan diri tapi tidak terpublikasikan. Azis mengaku tidak mengetahui apa alasan para pegawai KPK yang mengundurkan diri dan keluar dari KPK. Di sisi lain, menurut dia, pimpinan KPK harus melakukan evaluasi. Lihat artikel ini dan ini.
"Jadi masalahnya mereka mundur mungkin kan alasannya harus kita tahu, apakah itu karena dia mendapat pekerjaan baru, itu yang kita harus kita lihat. Tapi hal itu menjadi bahan bagi pimpinan KPK untuk melihat kenapa ini bisa terjadi," ungkap Azis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat, 2 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Mantan ketua Komisi III ini tidak mau berspekulasi apakah benar atau tidak pengunduran diri para pegawai KPK merupakan akibat dari disahkannya revisi UU KPK dan berlakunya UU baru KPK. Selain itu Aziz tidak mengomentari tentang bagaimana kinerja KPK saat ini. Azis pun tidak mau menghubungkan antara pengunduran diri itu dengan kinerja KPK. Menurut dia, yang paling mengetahui kinerja KPK adalah KPK secara kelembagaan dan pimpinan KPK.
"Yang tahu persis adalah pimpinan KPK. Saya memberi apresiasi dan memberi waktu kepada pimpinan KPK sekarang untuk melakukan evaluasi kemudian juga melakukan hal-hal untuk kepentingan bangsa dan negara," katanya.
Pengunduran diri dan keluarnya pegawai dari sebuah lembaga memang merupakan hal biasa. Tapi, berbagai kondisi dan peristiwa yang terjadi di dalam lembaga tersebut tidak bisa dinafikan begitu saja. Perubahan di dalam sebuah lembaga termasuk di KPK pun adalah keniscayaan. Meski begitu, perubahan yang ada seharusnya bukan diarahkan untuk ‘menghancurkan’ lembaga dari dalam dan memperburuk keadaan.
ADVERTISEMENT
Ingat pula bahwa palagan pertempuran pemberantasan korupsi bukan semata di Komisi. Hargai dan berikanlah apresiasi bagi siapa pun yang telah dan masih berjuang di dalam KPK untuk pemberantasan korupsi. Bukan malah menyampaikan pernyataan yang tidak terlalu diperlukan. Penghargaan dan apresiasi pun tidak mesti disertai sindiran dan cibiran. Pejuang atau pecundang bukanlah hal elok ketika ditamsilkan pada siapa yang keluar dan siapa yang bertahan.
Lebih dari itu, ketika sebuah lembaga hancur atau dihancurkan oleh “kalian” dari dalam, jangan anggap “kalian” pejuang, tapi kalian adalah penghancur. Suatu saat, tinta yang “kalian” buat akan terbuka. Mungkin sekarang tertawa. Tapi ingatlah, masih ada “sebaik-baiknya pembalas tipu daya”. Segala apa yang dituai sesuai dengan apa yang ditabur.[]
ADVERTISEMENT